Mohon tunggu...
Moch. Shifaur Rosyidy
Moch. Shifaur Rosyidy Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Cogito Ergo Sum | Memaksakan diri untuk membiasakan menulis setiap waktu | Semoga Bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Theodemokrasi Karya Al-Maududi Lahir Sebagai Kritik Demokrasi Barat

24 Agustus 2024   22:19 Diperbarui: 24 Agustus 2024   22:48 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi [Freepik]

Artikel kali ini penulis sedikit menjabarkan lahirnya theodemokrasi karya Al-Maududi, pemikiran Al-Maududi tersebut tidak terlepas dari latar belakang dia mengenyam pendidikan dan situasi kehidupan pada waktu itu.

Latar Belakangnya Lahir dari Pengaruh Kolonialisme dan Gerakan Kemerdekaan

Abul A'la Maududi lahi pada tahun 1903, Aurangabad, India, seorang ulama, pemikir, dan pemimpin politik dari India yang kemudian menjadi salah satu tokoh terpenting dalam pengembangan ideologi politik Islam modern. Latar belakangnya sangat dipengaruhi oleh konteks sejarah, sosial, dan politik yang ia hadapi selama masa hidupnya, terutama di India dan Pakistan.

Selama masa mudanya, Al-Maududi menyaksikan dominasi kolonial Inggris di India dan bagaimana hal ini mempengaruhi masyarakat Muslim. Pengalaman ini membentuk pandangannya tentang pentingnya menghidupkan kembali ajaran Islam untuk melawan pengaruh Barat dan mengatasi kemunduran umat Islam. Al-Maududi terlibat dalam gerakan kemerdekaan India, namun ia kemudian menjadi kritis terhadap beberapa tokoh nasionalis yang dianggapnya terlalu sekuler.

Kritisannya tersebut dituangkan oleh Al-Maududi dengan mendirikan Jemaat-e-Islami pada tahun 1941, sebuah gerakan Islamis yang bertujuan untuk menegakkan hukum syariah dan membangun negara Islam. Gerakan ini awalnya berpusat di India, tetapi setelah pembentukan Pakistan pada tahun 1947, Jamaat-e-Islami menjadi salah satu partai politik Islam yang paling berpengaruh di Pakistan. Maududi menggunakan Jamaat-e-Islami sebagai platform untuk menyebarkan berbagai idenya tentang negara Islam dan politik Islam. Bersamaan dengan didirikannya gerakan tersebut, Theodemokrasi juga diperkenalkan pelh Al-Maududi, sebagai reaksi terhadap sekularisme yang berkembang di India dan sebagai alternatif terhadap ideologi nasionalisme yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Theodemokrasi

Sebelum Al-Maududi mengkritik demokrasi barat, ide demokrasi barat ialah kedaulatan ada ditangan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat), yang mana semuanya harus berujuknya pada rakyat. Berbeda lagi dengan Al Maududi, menurut Al-Maududi, beliau memandang bahwa konsep demokrasi barat itu banyak mendatangkan keburukan atau mudharat, atau menyalahi aturan Allah, yang mana kedaulatan mutlak hanya dimiliki oleh Allah, dan juga konsep demokrasi barat itu syirik, cenderung ilhad (meniadakan tuhan sama sekali).

Dengan kritikannya terhadap konsep demokrasi barat, Al- Maududi ini melahirkan konsep theodemokrasi miliknya yang menjelaskan bahwa kedaulatan ada di tangan tuhan, konsep theo demokrasi dirasakan paling tepat diimplementasikan di negara islam supaya teori demokrasi atau kedaulatan rakyat yang sudah diimplementasikan tidak berubah menjadi oligarki yang nantinya menimbulkan kesengsaraan rakyat atau tidak terpenuhnya rasa keadilan sosial.

Konsep theodemokrasi ini memliki bebrapa dasar jika diterapkan untuk mendirikan negara islam, Pertama, perundang-undangan Illahi, maksudnya semua aturan negara harus mengikuti tatanan islam atau Syari'ah Islam yang merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kedua, Keadilan, beliau menginginkan bahwa negara tidak boleh adanya permainan Nepotisme yang nantinya akan menghilangkan kepercayaan rakyat dan juga hubungan antara penguasa dengan warganegara sama yaitu keadilan dan kejujuran.

Ketiga, Musyawarah, beliau menjelaskan musyawarah yang dikaitkan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam lembaga kenegaraan yaitu penguasa tidak boleh membatalkan  urusan konstitusi semata-mata atas kepentingan pribadinya tanpa musyawarah dengan rakyat, dan semua rakyat yang mewakili atau orang penting haruslah dimintai pendapat dengan melalui wakil-wakil yang mereka tuju atau percayai, lalu dengan melakukan musyawarah haruslah bersifat ikhlas, bebas, serta adil, kalau ada terjadinya intervensi dalam musyawarah itu tidak diperbolehkan untuk menjadikan pedoman dalam mengambil keputusan. Jadi, konsep Al-Maududi tersebut secara sederhananya lebih memberikan ruang bagi partisipasi rakyat di bawah aturan Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun