Sejak lama saya telah mengenal nama Rangkasbitung di Kabupaten Lebak dan sebagai orang Banten yang berdomisili di Kabupaten Tangerang. Menjadi kebanggaan buat saya jika nama Rangkasbitung di ucapkan secara utuh dan tidak diucapkan sepenggal dengan sebutan Rangkas.Â
Sejak lama saya gemar membaca literasi tentang sejarah beberapa lokasi di Banten yang sarat dengan arti dan makna yang ada dalam pemberian nama tempat yang selalu terkait dengan  sejarah masa itu.
Ada beberapa arti dalam sejarah terbentuknya nama Rangkasbitung yang harus kita pahami bersama. Arti  "Rangkas" adalah berantakkan atau patah dan Arti "Bitung" adalah Bambu. Dapat dimaknai sebagai  "Bambu yang berantakkan atau patah". Dapat kita bisa lihat dalam beberapa sejarah yang menceritakan tentang asal usul nama Rangkasbitung.
Singkat cerita, Festival Seni Multatuli (FSM) 2018 yang diresmikan langsung oleh Bupati Lebak, Iti Octaviani Jayabaya dan juga dihadiri oleh Dirjen Kebudayaaan Kemendikbud, Hilmar Farid yang diselenggarakan pada hari Kamis (6/9) dan berakhir pada hari Minggu, sekitar 4 hari acara berlangsung dari tanggal 6 hingga 9 September 2018 di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten yang berlokasi di sekitar Alun-Alun Timur Rangkasbitung.Â
Pada saat acara pembukaan festival, saya menyempatkan diri  untuk hadir dan selanjutnya pada hari Sabtu kembali hadir untuk kedua kalinya mengikuti simposium yang diselenggarakan di Setda Aula Multatuli.
Ingat ini momen Indonesia masa kini untuk generasi millenial yang tidak boleh dilupakan karena akan terkait dengan berbagai sektor yang akan mengikuti untuk kemajuan Kabupaten Lebak khususnya dan pada umumnya untuk Provinsi Banten dan juga untuk Indonesia sebagai destinasi sejarah yang tak terlupakan oleh dunia.
Pada saat pembukaan Festival Seni Multatuli (FSM) 2018 saya sudah bersiap hadir sejak pagi dengan menggunakan KRL (Kereta Rel Listrik) Rangkasbitung dari Stasiun Pondok Ranji pada jam keberangkatan pertama jam 06.11 WIB dan tiba di Stasiun Rangkasbitung pada jam 07.45 WIB. Setibanya di Stasiun Rangkasbitung dari announcer stasiun memberitahukan tentang acara Festival Seni Multatuli dan pihak penyelenggara menyediakan kendaraan penjemputan yang berada di terminal lama sekitar 100 meter dari stasiun.
Stasiun Rangkasbitung yang sangat bersejarah karena pada tahun 1957 Presiden RI, Ir Soekarno  pernah datang beberapa kali. Namun saat ini di beberapa bagian stasiun terus menerus di tata dan di revitalisasi oleh pemerintah melalui Dirjen Perkeretapian, Kemenhub RI dan juga dikelolah dengan sangat baik oleh operatornya, PT KAI (Kereta Api Indonesia) dan PT KCI (Kereta Commuter Indonesia) agar dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga menjadi stasiun yang dapat melayani masyarakat dengan baik dan menjadi sebuah ikon kemajuan.
Menuju ke Alun-Alun Timur Rangkasbitung dari stasiun, saya terlebih dahulu mengecek GPS (Global Position System) dari Google Mapsyang ada di handphone dan melihat lokasi yang tidak terlalu jauh menurut saya, karena kebiasaan berjalan menjadi hal biasa buat saya.Â
Dengan jarak yang tertera sekitar 1 km saya tempuh dengan berjalan kaki dan menelusuri pasar kaget yang berada di sekitar stasiun. Sempat saya bayangkan sekitar  10 tahun lalu saya terakhir datang ke Rangkasbitung dengan suasana yang tidak berbeda jauh.
Nama Multatuli menjadi nama yang tidak asing lagi bagi warga sekitarnya hal ini juga di dukung keberadaan Museun Multatuli dan Perpustakaan Saijah dan Adinda sebagai perpustakaan terbesar di Provinsi Banten.
Melalui account Instagram @taudaribloggeri.info saya sebagai admin selalu informasikan tentang even festival agar dapat viral dan dikenal oleh banyak orang bahwa Rangkasbitung menjadi sesuatu yang wajib dikunjungi oleh teman-teman blogger sebagai tempat yang bersejarah dimana Eduard Douwes Dekker nama asli dari penulis novel Max Havelaar dengan nama samarannya Multatuli pernah tinggal selama 84 hari di Rangkasbitung sebagai assisten residen di Lebak pada Januari  1856.
Hanya kurang dari 3 bulan, Eduard Douwes Dekker tinggal di Rangkasbitung. Ini menjadi gambaran bahwa kekejaman sistem kolonian  dan keangkuhan pejabat pribumi di Lebak saat itu yang bekerja sama dengan dengan pemerintahan Hindia Belanda melakukan praktik-pratik pemerasaan dan juga kerja rodi. Menyebabkan beliau tidak tahan dan mengundurkan diri dari jabatan assisten residen.
Namun dari jejak-jejak yang masih berbekas di sekitar Rangkabitung inilah yang menyebabkan ada inisiatif dari Bupati Lebak sekarang ini  untuk membuat Museum Multatuli dan Perpustakaan Saijah dan Adinda sebagai gambaran masa lalu yang hingga kini masih berbekas dan mungkin juga masih terjadi. Cerita romantis yang ada dari bagian novel ini juga berkisah tentang dua insan yang harus berpisah karena kondisi masa kolonial yang sangat buruk.
Setelah acara pembukaan Festival Seni Multatuli (FSM) 2018 selanjutnya Bupati Lebak dan Dirjen Kebudayaan serta tamu lainnya dari Kedubes Belanda melakukan keliling area festival juga ada pameran sejarah kopi dan mengunjungi tenda-tenda stand UKM (Usaha Kecil Menengah) yang menjajahkan hasil produk industri kuliiner maupun kerajinan tangan lainnya.
Ada satu yang menarik buat saya ketika menelusuri  jejak rumah Eduard Douwes Dekker yang berada di belakang RSUD Dr Adjidarmo, Rangkasbitung. Cuaca saat itu sangat panas dan cukup terik matahari bersinar. Rombongan Bupati Lebak berjalan semangat sekali memperkenalkan peninggalan  bersejarah ini. Perlukah pihak pemerintah daerah Kabupaten Lebak melakukan renovasi ?  karena terlihat kondisi yang tak terawat. Juga di bagian depan bangunan tertulis "Cagar Budaya Rumah Multatuli".
Selanjutnya rombongan kembali dengan menelusuri Jalan Iko Jatmika 1, Rangkasbitung menuju ke Pendopo Bupati Lebak yang berada di bagian selatan alun-alun. Bangunan yang merupakan rumah dinas Bupati Lebak yang diperkirakan dibangun sekitar pertengahan tahun 1800-an.Â
Rombongan beristirahat sejenak dan selanjutnya makan siang bersama. Ada yang menarik dari kuliner khas Lebak seperti kue jojorong terbuat dari tepung beras dan didalamnya ada gula merah serta berbagai kue khas lainnya yang terbungkus daun pisang. Menarik bangeet...semoga pada kesempatan lain dapat berkunjung ke Pendopo Bupati Lebak.
"Tak kenal maka tak sayang". Inilah sebuah peribahasa kita yang sangat jelas sekali kalau kita tidak kenal maka tidak sayang. Tidaklah dapat kita pahami kalau kita tidak datang langsung ke Rangkasbitung, Lebak mengenal lebih jauh kota ini. Pengalaman di hari pertama festival ini menjadi pengalaman yang terbaik buat saya. Dan selanjutnya hadir kembali di acara simposium kedua pada hari Sabtu sebagai hari ke-3 penyelenggaran FSM 2018. Â Â
Simposium Hari Kedua yang diselenggarakan di Aula Multatuli Setda Lebak. Mengisi hari libur saya bekerja untuk menuju kembali ke Rangkasbitung, Â saya ingin lebih mengenal sejarah tentang tema "Paskakolonial dan Isu-Isu Mukhtahir Lintas Disiplin". Â
Sangat saya appresiasi sekali buat panita FSM 2018 yang terus menerus mempublikasikan kegiatan demi kegiatan yang berlangsung sepanjang acara hingga malam. Ada yang menarik saat saya saksikan pagi ini  adalah seni budaya Suku Baduy seperti pertunjukkan Karinding dan Calempung.  Kesempatan juga akhirnya dapat melihat kesenian khas masyarakat Lebak, Banten.
Pada sesi tanya jawab memang saya tidak memberikan pertanyaan kepada kedua narasumber dari sembilan orang yang diberikan kesempatan hanya saya yang menyanggah ulasan kedua narasumber. Dan memang akhirnya saya harus pahami bahwa sejarah harus kembali melihat kejadian dari sisi kita dan tidak melulu melihat keburukkan dari si penjajah. Â
Pandangan ini tentunya menjadi pemahaman yang harus kita pahami. Penjajahan itu selalu melibatkan posisi bangsa kita sendiri yang turut andil mendukung para penjajah. Dan juga pembangunan infrastruktur pada masa penjajahan dulu menjadi dasar pembangunan yang berkembang hingga masa sekarang. Jadi pandanglah sisi lain yang positif dan tidak selalu berburuk sangka.
Terima kasih saya ucapkan kepada panita Festival Seni Multatuli (FSM) 2018 terutama dukungan dari Bupati Lebak, Provinsi Banten dan  Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud RI serta Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda  atas terselenggaranya acara ini.Â
Kita dapat lebih mengenal sejarah masa kini yang terus kita lestari yang tentunya perlu dikembangkan kebersamaan untuk  berpikir positif  dan semangat untuk maju. Jadi inilah cara masyarakat Lebak, Banten untuk dapat memperkenalkan  kota Rangkasbitung agar di kenal dunia  melalui  Festival Seni Multatuli (FSM) 2018. (MS)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H