Entah sudah berapa banyak oknum yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh KPK, terakhir KPK melakukan OTT terhadap Gubernur Bengkulu dan istri. Sejak KPK dibentuk sampai sekarang boleh dikatakan tidak ada satupun lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif baik pusat maupun daerah yang bersih dari korupsi. Jumlah koruptor yang dijebloskan ke penjara tentu semakin banyak jika ditambah dengan koruptor yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan.
Dalam benak pikiran muncul pertanyaan-pertanyaan :
- Berapa banyak uang negara yang dikorupsi dan berapa banyak yang telah diselamatkan
- Sampai kapan negeri ini benar-benar bersih dari korupsi
- Adakah cara yang lebih efektif agar korupsi bisa dicegah
Hasil googling maupun web resmi KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian tidak diperoleh informasi seberapa banyak uang negara yang dikorupsi dan seberapa banyak uang negara yang telah dikorupsi tersebut bisa diselamatkan baik oleh KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Tahun 1993 selesai presentasi, Begawan ekonomi Indonesia Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo menjawab pers yang memancing Ketua FPP DPR RI Hamzah Haz mengirim surat untuk meminta hearing membicarakan tingkat kebocoran anggaran pembangunan yang disinyalir sudah mencapai 30% dan kemungkinan kini lebih membesar lagi. Sayang melalui suratnya Sumitro menolak dengan alasan sedang sakit. Sumitro menjelaskan bahwa tingkat kebocoran anggaran pembangunan semakin besar disebabkan oleh "Nepotisme di tingkat Pusat telah ditiru oleh Daerah,"
Saat ini kebocoran tidak hanya pada belanja modal saja, kebocoran sudah merambah pada kebocoran belanja pegawai, belanja barang dan belanja lainnya. Masyarakat sudah menganggap lumrah atau tidak berdaya adanya pembelian dengan kwitansi kosong, acara atau kegiatan seremonial saja bahkan SPPD fiktif pun pernah ditangani Kejaksaan.
Prilaku koruptif, suap dan pungli tidak hanya terjadi pada lembaga pemerintahan saja, usaha swasta juga tidak luput dari prilaku tersebut namun sulit terdeteksi karena kepemilikan harta merupakan area privat sehingga pajakpun tidak diperkenankan mengorek asal usul tambahan kekayaan seseorang maupun korporasi
Saat Kepolisian dan Kejaksaan dinilai tidak maksimal menangani persoalan korupsi yang semakin merajalela berdampak timbulnya krisis moneter yang berujung tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998. Dengan semangat reformasi, DPR mengeluarkan dan mengesahkan UU No.30 Tahun 2002 yang mengamanatkan KPK sebagai lembaga antikorupsi. Pemerintahan Megawati membentuk dan mengesahkan KPK sebagai lembaga ad hoc pada Desember 2003
Harapan yang membuncah agar korupsi bisa diberantas dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi alasan utama KPK hanya sebagai lembaga ad hoc dan bubar manakala kasus korupsi tertangani dengan baik oleh kepolisian maupun Kejaksaan. Fakta yang dihadapi KPK bak berada ditengah hutan lebat banyak pohon besar yang harus ditebang agar bisa keluar. Hal ini memunculkan perdebatan tersendiri makna ad hoc baik oleh pihak yang menginginkan KPK diperkuat maupun pihak yang menginginkan KPK diperlemah kemudian dihapus. Kedua belah pihak sama-sama pesimis bahwa jalan panjang terbentang tak berujung sebagai kiasan seolah-olah korupsi tidak dapat diberantas sampai kapanpun.
Seandainya jumlah kebocoran belanja negara sebesar 30 % bisa diminimalisir menjadi 10 % saja dari total belanja negara tahun 2017 sebesar Rp 2.070,5 T , maka sesungguhnya total belanja negara hanyalah sebesar Rp. 1.656,4 dan terdapat surplus penerimaan jika target sebesar Rp 1.737,6 terealisasi. Pembiayaan utang sebesar Rp 389,0 sebagian besar dapat digunakan untuk pembiayaan investasi.
Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan menyatakan bahwa “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun….” maka korupsi bisa dicegah dengan mudah, namun persoalannya adalah :
- Berdasarkan Pasal 23 A UUD 1945 otoritas pajak menjadi wewenang negara. Otoritas pajak menjadi wewenang pemerintah dan ditempatkankan menjadi bagian dari kementerian keuangan menyebabkan span of control terlalu panjang menyebabkan kementrian keuangan lebih memilih menunda atau mengurangi belanja, mengurangi atau menghapus subsidi dan atau menambah pinjaman daripada melakukan pembenahan sistem pengawasan penerimaan dari sektor pajak . Hal terebut disebabkan oleh :
- Masih berlaku paradigma lama bahwa fungsi pajak lebih dominan pada budgeter sehingga fungsi regulern antara lain mencegah korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya terabaikan padahal sejarah membuktikan bahwa kejahatan Al Capone terungkap hanya gara-gara pajak
- Sejarah perpajakan yang teratur diawali oleh kolonial dan pemberontakan umumnya diawali dari pengenaan pajak yang menyulitkan masyarakat menyebabkan pajak menjadi hal yang tidak populer. Masyarakat menilai bahwa pajak merupakan beban padahal seorang petani tidak mungkin panen lagi jika tidak menyisihkan sebagian kecil hasil panennya untuk bibit
- Ketakutan otoritas pajak menjadi lembaga yang memiliki kewenangan yang tak terbatas padahal Indonesia adalah negara hukum dimana dengan sistem pemungutan pajak self assessment menggunakan pasal 24 UUD 1945 sebagai dasar penyusunan UU KUP sehingga kewenangan otoritas pajak warisan kolonial Belanda berupa menetapkan pajak terhutang berikut sanksinya dan menerbitkan Surat Tagihan pajak dicabut dan secara otomatis UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang diadopsi dari Koninklyk Besluit tanggal 3 Juli 1879 (Staatsblad 1879 No. 267) warisan kolonial belanda juga dicabut karena tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
- Walaupun telah dilakukan reformasi perpajakan tahun 1983 dan terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009, namun jiwa kolonial dalam pemungutan pajak belum sepenuhnya hilang dari sistem pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Pajak. Hal ini dibuktikan dengan Otoritas Pajak belum memiliki sistem pengawasan berbasis IT sebagai informasi adanya tambahan kekayaan untuk menguji kepatuhan siapapun dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Beberapa kendalanya antara lain tehnologi komputer baik perangkat lunak maupun perangkat keras belum memadai sehingga belum mampu digunakan untuk mengolah laporan perpajakan maupun data lainnya menjadi data tambahan kekayaan disamping adanya ketentuan yang menghambat misalnya UU Kerahasiaan Nasabah Bank yang menyebabkan laporan pemungutan pajak oleh lembaga keuangan/perbankan disampaikan secara gelondongan sehingga tidak dapat diolah menjadi data tambahan kekayaan. Dengan adanya Perpu No. 1 tahun 2017 diharapkan lembaga keuangan/perbankan dapat melaksanakan pemungutan dan pelaporan pajak yang dipungut dari nasabah sesuai ketentuan perpajakan
Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, penggabungan Otoritas Pajak dan KPK yang mandiri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara merupakan solusi mencegah dan memberantas kejahatan ekonomi khususnya pencegahan korupsi, mengurangi hutang dan meningkatkan penerimaan sektor pajak.
Sistem pengawasan pajak berbasis IT secara cepat diketahui tambahan kekayaan siapapun. Apabila hasil pemeriksaan menyatakan penambahan kekayaan dilakukan dengan cara melawan hukum maka bukti tersebut diteruskan kepada pihak yang berwenang misalnya hasil perdagangan narkoba diteruskan ke BNN, hasil penyelundupan diteruskan ke BC, hasil pemalsuan dll diteruskan ke Kepolisian atau Kejaksaan sesuai kewenangannya sedang hasil korupsi ditangani oleh lembaga ini.
Sistem pengawasan pajak berbasis IT bagi orang pribadi sangat membantu dan mempermudah serta adil karena sesuai kondisi sebenarnya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan daripada orang pribadi harus melakukan pencatatan atau pembukuan dimana apabila tidak dilakukan akan dihitung dengan asumsi atau norma perhitungan yang bisa jadi justru pajak yang harus dibayar lebih besar dari tambahan kekayaan.
Hal yang paling penting adalah pajak tetap dikenakan tentu saja dengan sanksi yang cukup tinggi terhadap mereka bersamaan dengan pengenaan hukuman pidana kurungan atau penjara maupun pidana sehingga saat disorot kamerapun terduga melakukan tidak pidana korupsi tidak lagi tersenyum sambil melambaikan tangan dimana pikirannya berhitung untung rugi hasil korupsi dibandingkan dengan hukuman yang akan dijalani kelak, namun tertuduk malu dan sedih karena perbuatannya sia-sia dan membawa sengsara.
Andaikata terpaksa harus hutang, maka hutang tersebut benar-benar digunakan untuk peningkatan infrastruktur baik fisik maupun sosial serta inftrastruktur lainnya yang returnnya diharapkan selesai sebelum masa jabatan presiden berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H