Mohon tunggu...
Suheri Adi
Suheri Adi Mohon Tunggu... PNS -

Rakyat yang ingin sejahtera

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK: Nonsen Korupsi Dapat Dicegah Tanpa Membentuk Lembaga Penerimaan Negara

6 April 2016   15:57 Diperbarui: 6 April 2016   16:15 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: konfrontasi.com"][/caption]Betapa sulitnya negara memberantas korupsi sehingga dipandang dibentuk lembaga add hoc KPK untuk memberantasnya. Lembaga add hoc dengan dalih korupsi dapat diberantas dalam waktu singkat.  Secara kasat mata dapat dilihat para koruptor menumpuk harta hasil korupsinya namun KPK baru bergerak jika terdapat pengaduan bahkan menunggu sampai koruptor tertangkap tangan menerima uang. Ibarat penyakit yang  sudah amat kronis tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah menyembuhkan penyakit korupsi ini untuk terus menggurita dan menjadi budaya. Kasus terakhir OTT anggota dewan dan dicekalnya pengusaha menunjukan betapa perkasanya penyakit korupsi. 

Solusi yang paling mudah dan biaya murah suatu penyakit tentu dilakukan  mencegah dan mengawasi agar tidak timbul penyakit tersebut dengan pola hidup sehat dan chek up secara berkala. Persoalannya adalah bagaimana dan lembaga apa yang dapat mencegah maupun  mengawasi agar tidak timbul penyakit korupsi ?.  Mungkinkah dengan pajak korupsi dapat dicegah ?

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada salah satu stasiun TV swasta nasional yang bertajuk  KPK Rasa Baru menyatakan kekhawatirannya bahwa OTT hanyalah memuaskan hati pemirsa yang suatu saat OTT tidak menarik lagi untuk dipublikasikan.        

Empati Bangsa Indonesia sangat tinggi terbukti dengan banyaknya lembaga pengumpul sumbangan baik yang permanen maupun bersifat isidentil (terkumpul saat terjadi peristiwa yang membutuhkan pertolongan), mereka juga tidak segan memberi tanpa imbalan apapun kepada para pengemis yang mangkal di terminal, pasar, pusat keramaian maupun lampu lalu lintas,  namun dengan berbagai macam cara berusaha menghindar manakala membayar pajak.

Hal tersebut tercermin dari tabel berikut:
Kepatuhan Penyampaian SPT  Tahunan PPh 2012-2015

                   [Sumber DJP diolah]

Masyarakat tidak memahami bahwa bantuan sosial dan bencana alam berasal dari pajak yang mereka bayar. Hal tersebut sebagai akibat dari tidak disampaikan asal usul bantuan pemerintah, sehingga masyarakat berasumsi bantuan berasal dari pejabat pemberi bantuan yang berdampak tingkat kepatuhan masyarakat membayar pajak rendah.  

Dibandingkan jumlah penduduk yang dirilis BPS tahun 2010 sebanyak  237.641.326 jiwa maka jumlah penduduk  yang terdaftar sebagai WP OP hanya 11.60 %. Rendahnya angka WP OP terdaftar dan rendahnya Ratio WP OP yang melakukan pembayaran membuktikan bahwa kebocoran penerimaan negara yang diprediksi Sdr. Amin Laili dalam tulisan http ://www.pajak.go.id/content/article/saatnya-meng-kpk-kan-djp dapat dikatakan mendekati kebenaran. Perhitungan sederhananya (berdasarkan tax ratio maupun tax ratio gap dengan negara tetangga) angka potensi pajak yang “gagal” menjadi penerimaan hampir sama dengan jumlah hutang negara.

Menyebarnya pajak dan pungutan lain hampir pada semua lembaga\kementerian\instansi\dinas pemerintah pusat maupun daerah menyebabkan sulitnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menguji kebenaran SPT yang disampaikan WP khususnya Orang Pribadi, memetakan warga negara yang belum menyampaikan SPT maupun yang harus terdaftar sebagai WP.  

Definisi pajak yang pada umumnya dibuat para ahli berdasarkan pada negara monarki, oligarki atau koloni yang tentu saja akan berbeda definisinya jika berdasarkan negara demokrasi. Pajak pada negara monarki, oligarki atau koloni merupakan pungutan yang bersifat memaksa tanpa mendapat imbalan yang dapat ditunjuk yang menyebabkan paradigma "pajak sebagai upeti" bagi masyarakat sulit dihilangkan dan turut berperan mempengaruhi rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak padahal Negara merupakan institusi yang dibentuk oleh kumpulan orang-orang yang hidup dalam wilayah tertentu dengan tujuan sama yang terikat dan taat terhadap perundang-undangan serta memiliki pemerintahan sendiri. Negara dibentuk atas dasar kesepakatan bersama yang bertujuan untuk mengatur kehidupan anggotanya dalam memperoleh hidup dan memenuhi kebutuhan mereka dimana pajak merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut

Cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum pada alenia 4 Pembukaan UUD 1945 mustahil bisa terwujud manakala masyarakat justru enggan membayar pajak . Pajak pada negara demokrasi berfungsi budgeter dan regulern  

Fungsi regulern pajak menyentuh hampir semua sendi kehidupan termasuk mencegah korupsi. Koruptor tentu saja tidak akan melaporkan penghasilannya dari hasil korupsi, namun (DJP) dapat mengendus penambahan harta para koruptor. Persoalannya adalah pemerintah hanya memberi peran DJP hanya  fungsi budgeter (memenuhi target penerimaan) saja.

UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan melibatkan segenap warga negara sesuai kedudukan dan profesinya memiliki peranan penting untuk menunaikan kewajiban dalam pembelaan negara dari ancaman atau gangguan bersifat non tradisional yang dilakukan oleh oknum atau perorangan misalnya teror, perompakan, pembajakan, penyelundupan, perdagangan illegal, korupsi dan economic crimes lainnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa korupsi dan tidak membayar pajak merupakan ancaman atau gangguan dalam negeri yang berdasarkan bentuknya berupa ancaman atau gangguan non militer. Kebocoran baik penerimaan maupun pengeluaran negara yang tidak ditangani dengan serius tak ubahnya membiarkan virus hepatitis yang pelan namun pasti membunuh siapa saja yang diserangnya.

Hal terpenting agar masyarakat sukarela membayar pajak adalah negara mengembalikan pajak untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara artinya setiap warga negara dijamin mendapat tunjangan untuk pelayanan pendidikan, mendapat tunjangan untuk pelayanan kesehatan dan tunjangan sosial bagi warga negara yang kurang mampu agar mereka hidup layak.

Pemberian tunjangan tidak dalam bentuk raskin, dana bos atau bantuan sosial lain yang rawan penyalahgunaan, namun langsung diterima masyarakat sebagai insentif telah membayar pajak dan pungutan lain yang berlaku karena pada dasarnya seluruh lapisan masyarakat secara tidak langsung telah membayar pajak namun belum tentu disetorkan ke kas negara oleh Wajib Pajak. Contoh sederhana misalnya fulan bekerja pada pabrik dimana gaji/upahnya dipotong pajak, sehingga seolah-olah fulan sebagai pembayar pajak. Kemudian pabrik membebankan gaji fulan untuk menghitung harga pokok barang atau jasa dan menambahkan keuntungan untuk menentukan harga jual barang atau jasa. Pabrik membayar pajak atas keuntungan yang seolah-olah pabrik sebagai pembayar pajak. Masyarakat membayar harga barang/jasa untuk memenuhi kebutuhannya dimana dalam harga terdapat unsur keuntungan dan pajak atas nama pabrik dan unsur gaji/upah dan pajak atas nama fulan, namun masyarakat tidak dinyatakan sebagai pembayar pajak.      

Pemberian tunjangan dimaksudkan untuk menumbuhkan budaya balas budi, sehingga warga negara yang terbantu akan merasa malu jika tidak membalas budi membantu warga negara lain. Tradisi gotong royong dan saling membantu yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan modal dasar yang harus dijaga dan ditumbuhkembangkan.

Pemerintah harus menumbuhkan trust  bahwa uang pajak dan pungutan lain digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintah tidak lagi membohongi masyarakat misalnya Pemerintah menyesuaikan harga BBM dengan menyatakan subsidi BBM tidak tepat sasaran yang dampaknya harga kebutuhan juga ikut terderek naik, padahal kondisi sebenarnya adalah Pemerintah berusaha mengurangi belanja  akibat defisit anggaran mendekati angka maksimal yang diperbolehkan UU 17/ 2003 tentang Keuangan Negara.

Benar apa yang disampaikan oleh Yustinus Prastowo pada acara Economic Challenges Metro TV dengan tajuk “Memburu Wajib Pajak” (dikoreksi Dirjen Pajak dengan gotong royong) bersama Dirjen Pajak, Ketua Kadin dan Perbanas yang menyatakan bahwa sudah saatnya DJP menjadi lembaga yang mandiri. Kondisi ekonomi yang kurang bagus merupakan saat yang tepat untuk melakukan pembenahan DJP menjadi lembaga yang kredibel. Peranan pajak yang demikian besar untuk merealisasikan cita-cita berdirinya negara Indonesia tentu kurang tepat jika lembaga pemungut pajak  menjadi bagian dari pemerintahan apalagi menjadi bagian dari kementrian.                  

Jangan pernah bermimpi korupsi bisa dicegah, Indonesia mandiri dan hutang negara terkikis menjadi sirna, jika tidak dilakukan amandemen Pasal 23A UUD 1945.  Amandemen Pasal 23A UUD 1945 dengan membentuk Lembaga Penerimaan Negara berfungsi mengumpulkan segala bentuk pajak dan pungutan lain di Indonesia yang berserakan hampir pada semua lembaga\kementerian\instansi\dinas pemerintah pusat maupun daerah agar tujuan berdirinya Negara Indonesia dapat segera diwujudkan. Hal ini selaras dengan negara welfare state(negara kesejahteraan) dimana masyarakat berparsipasi aktif (bergotong-royong) mewujudkan welfare statedan disisi lain negara memiliki sarana untuk mengamankan kekayaan negara dari tikus-tikus pengerat kekayaan negara baik tikus pengemplang pajak, tikus koruptor, tikus kejahatan kerah putih maupun tikus lainnya yang mengerat penerimaan maupun belanja negara.

Lembaga Penerimaan Negara merupakan Lembaga Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden dalam kapasitas sebagai Kepala Negara tentu saja tidak tunduk pada UU No.39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun