Mohon tunggu...
Suheri Adi
Suheri Adi Mohon Tunggu... PNS -

Rakyat yang ingin sejahtera

Selanjutnya

Tutup

Politik

MKD : Mahkamah Konco Dhewe

8 Desember 2015   11:32 Diperbarui: 8 Desember 2015   12:08 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sengaja melihat tayangan salah satu stasiun TV swasta yang mempertontonkan amarah Presiden Joko Widodo yang begitu meluap. Wajahnya menegang dan beberapa kali suaranya meninggi sambil menggerakkan tangan.

Dibagian akhir beliau sempat meninggikan suara sambil menggerakan tangannya " Proses yang berjalan di MKD harus kita hormati. Tetapi, tidak boleh yang namanya lembaga itu dipermain-mainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara yang lain. Saya nggak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden syaraf, presiden koppig, ndak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Nggak bisa ! Ini masalah kepatutan, masalah kepantasan, masalah etika, masalah moralitas, dan itu masalah wibawa negara ". 

Mengapa Presiden Joko Widodo sampai begitu marah ?

Persoalannya adalah ketidak konsistennya MKD melakukan sidang. Janji mahkamah yang akan melakukan sidang terbuka saat menghadirkan Ketua DPR hanya isapan jempol belaka. Sidang dilakukan secara tertutup.

Perlakuan MKD terhadap pelapor maupun saksi pelapor yang berbeda dengan terlapor menunjukan bahwa MKD tidak lagi sebagi pemutus perkara yang adil.

Pelapor maupun saksi pelapor diperlakukan bak pesakitan yang dicecar berbagai pertanyaan yang tidak ada korelasinya dengan pokok masalah "pelanggaran etika" sampai berjam-jam sementara terhadap terlapor MKD justru melakukan sidang tertutup sehingga publik tidak mengetahui apakah MDK juga mencecar berbagai pertanyaan yang menyudutkan terlapor sehingga terlapor mengakui bahwa perbuatannya tersebut termasuk kategori pelanggaran etika ?.

Dalih bahwa sidang tertutup dilakukan oleh MKD disebabkan atas permintaan terlapor dan MKD tidak dapat menolak menunjukan betapa kuatnya pengaruh Ketua DPR. Penolakan semua pertanyaaan terkait rekaman hendaklah tidak ditanggapi dengan "Kami tidak memaksa, kalau beliau tidak menjawab itu hak beliau" tapi dimaknai sebagai budaya jawa "diam berarti setuju atau membenarkan".    

Acara persidangan berlangsung tertutup dan tidak ada bantahan yang disampaikan oleh Ketua DPR kepada publik menunjukan bahwa Ketua DPR secara tidak langsung telah mengakui telah melakukan perbuatan yang secara etika kurang elok dilakukan oleh seorang Ketua DPR, namun Ketua DPR berusaha menutupi kesalahannya dengan dalih apa yang dilakukan saksi pelapor merupakan perbuatan melawan hukum, tanpa izin dan tanpa hak.

Mosok mau mengungkap kejahatan dengan cara merekam untuk dijadikan barang bukti harus minta izin dulu dengan penjahatnya ? . hehehe  

Kalau saja Ketua DPR meniru prilaku Pak Sigit Dirjen Pajak dengan mengumumkan kepada publik secara kesatria mengakui perbuatannya, memohon maaf atas kehilafannya, mungkin Presiden Joko Widodo tidak akan semarah itu. MKD pun tidak dipersalahkan oleh publik apabila memutus Ketua DPR hanya mendapat sanksi yang sangat ringan sekali. 

Politikus Golkar hendaknya harus bijak dalam melakukan pembelaan terhadap kadernya. Hal yang harus diingat politikus Golkar adalah slogan "Suara Rakyat, Suara Golkar", jika suara rakyat sudah tidak didengarkan politikus Golkar apakah Golkar masih mendapat suara rakyat ?.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun