Mohon tunggu...
Suheri Adi
Suheri Adi Mohon Tunggu... PNS -

Rakyat yang ingin sejahtera

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Target Ndak Tercapai, Jangan Salahkan Dirjen Pajak Dong

3 Desember 2015   18:53 Diperbarui: 4 Desember 2015   12:23 1343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - Masyarakat dan pegawai negeri sipil di lingkungan Kantor Wali Kota Jakarta Pusat menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan mereka ke petugas pelayanan pajak yang membuka layanan di kantor tersebut, beberapa waktu lalu. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)

Selama ini terjadi kerancuan pemahaman antara pembayar pajak dengan wajib pajak yang berdampak otoritas pajak tidak disukai namun dibutuhkan oleh semua pihak. Para perintis (pendiri) negara memahami betul bahwa hanya pajak yang mampu mewujudkan cita-cita berdirinya NKRI sebagaimana tersebut dalam alenia empat Pembukaan UUD 1945, sehingga mereka merasa perlu membuat pasal tersendiri yang mengatur tentang pajak, namun tidak ada kejelasan UU yang mengatur susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensi otoritas pajak, menyebabkan otoritas pajak kurang diberdayakan. Berbeda dengan bank sentral yang semula merupakan bagian lembaga eksekutif di bidang keuangan sesuai amandemen ketiga UUD 1945 menjadi lembaga independen.

Terkuaknya kasus “Papa minta Saham” pada sidang MKD, banyaknya “Wakil rakyat yang terhormat” dan penyelenggara negara berurusan dengan KPK dapatlah dipahami mengapa otoritas pajak dikebiri. “Wakil rakyat yang terhormat” tentu tidak akan mungkin membuat aturan yang akan mempersulit dirinya. Apa jadinya kalau hasil “Papa minta saham” harus dilaporkan dalam SPT Tahunan dan diketahui oleh otoritas pajak? Hehehehe....

Kerancuan pemahaman dan tidak adanya aturan tentang otoritas pajak menyebabkan otoritas pajak menjadi kurang diberdayakan walaupun di era demokrasi terpimpin pernah menjadi bagian dari Kementerian Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan di bawah Wakil Menteri Pertama/Koordinator Keuangan pada Kabinet Kerja III dan IV. Kabinet Dwikora I dan II menempatkan otoritas pajak menjadi bagian Kementerian Iuran Negara di bawah kompartemen/Menteri Koordinator Keuangan. Akan tetapi trauma belasting di mana masyarakat diperlakukan semena-mena oleh pemungut pajak, kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah menyebabkan Kementerian Iuran Negara kurang optimal memasukkan penerimaan ke pundi-pundi kas negara. Kondisi ini diperparah dengan mudahnya pemerintah mencetak uang dan bank-bank juga memberikan kredit dalam jumlah besar kepada perusahaan dan yayasan pemerintah. Dampaknya inflasi terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai puncaknya pada 1966 dengan inflasi sebesar 635,5 persen. 

Dampaknya adalah Kementrian Iuran Negara tidak lagi dibentuk sejak Kabinet Dwikora III dan Keputusan Presidium Kabinet No. 75/U/KEP/11/1966 tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Departemen-Departemen menempatkan Otoritas pajak menjadi bagian Kementrian Keuangan pada Kabinet Ampera I . Kondisi tersebut tidak berubah sampai dengan dibentuk Kabinet Indonesia Bersatu II. 

Pemanfaatan sumber energi baru berupa minyak membuat Pertamina sebagai pemasok terbesar penerimaan Negara dan menyebabkan otoritas pajak semakin kurang diperhatikan. Penerimaan Negara dari sektor minyak terus-menerus meningkat sampai pada masa kejayaan minyak mencapai puncaknya pada tahun 1977. Hal tersebut wajar karena alat transportasi dan industri yang menggunakan BBM masih sedikit. 

Kondisi tersebut semakin memperkecil peran otoritas pajak, namun seiring dengan semakin meredupnya peran minyak maka sejak tahun 1984 Negara mulai melirik otoritas pajak, hanya saja masih malu-malu kucing dan takut gagal sebagaimana Kementrian Iuran Negara sehingga tetap menempatkan otoritas pajak menjadi bagian dari Departemen Keuangan.

Kerancuan ini semakin menjadi benang kusut yang sulit terurai manakala diterbitkan UU Keuangan Negara di mana kebijakan fiskal menjadi tugas Menteri Keuangan dan UU Pengadilan Pajak di mana Pengadilan Pajak merupakan bagian dari Peradilan Tata Usaha yang tidak memungkinkan Pengadilan Pajak dapat memutus perkara tindak pidana di bidang perpajakan.

Memutuskan perkara tindak pidana perpajakan ke Pengadilan Umum yang tunduk pada Hukum Acara Pidana justru tidak menguntungkan otoritas pajak karena pengemplang pajak hanya dikenai hukuman kurungan atau penjara. Kalau ada hukuman berupa denda dapat dipastikan diganti (subsider) dengan hukuman penjara, padahal sesuai fungsi otoritas pajak yaitu mengisi pundi-pundi kas negara sesuai target yang direncanakan seharusnya uang pajak yang dikemplang dikembalikan/disetor ke kas negara. Berita terkait dengan pengemplangan pajak. Bagaimana mungkin target penerimaan bisa direalisasikan jika pengungkapan kasus pengemplang pajak ternyata justru tidak mendukung upaya otoritas pajak untuk memenuhi target penerimaan?

Bagaimana otoritas pajak memperlakukan Wajib Pajak yang tidak melaporkan pajaknya atau melaporkan pajaknya namun tidak benar? Insya Alloh akan penulis sampaikan dalam “Siapa bilang ndak bayar pajak?”.

Itulah sebabnya Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan menghendaki pemilik rekening gendut tidak perlu dihukum pidana, cukup membayar pajak saja. Usul bagus... Apalagi kalau asal-usul rekening gendut berasal dari korupsi atau penyalahgunaan wewenang/jabatan dikenakan sanksi kenaikan empat kali dari pajak terhutang. Hehehehe... dijamin tidak ada koruptor lagi di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun