Mohon tunggu...
Suheri Adi
Suheri Adi Mohon Tunggu... PNS -

Rakyat yang ingin sejahtera

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mesa'ke Presidenku

25 November 2015   10:18 Diperbarui: 25 November 2015   10:21 2004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum membahas kenapa kok kasihan dengan Presiden, mari kita lihat dan cermati format dan struktur APBN dibawah ini :

Ada yang aneh ndak dengan penyusunan anggaran tersebut ?. yaa betul, penyusunan anggaran negara dilakukan seperti orang yang penghasilannya tidak menentu dimana untuk keperluan sehari-hari ngutang dulu di warung kelontongan dan baru dibayar jika mendapat penghasilan lebih. Apabila ternyata penghasilan tidak mencukupi, maka untuk keperluan hari esok ngutang lagi.

Apabila penyusunan anggaran seperti itu maka tidaklah aneh walaupun sudah 70 tahun Indonesia merdeka hutangnya bukan berkurang tapi malah bertambah (http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150817083854-78-72603/70-tahun-merdeka-indonesia-semakin-terjerat-belenggu-utang/)

Bahkan tahun 2016 akan datang defisit anggaran diperkirakan membengkak menjadi 2,1 % yang bakal ditutup dengan hutang lagi dari penarikan pembiayaan sebesar Rp. 273,17 triliun, yang terdiri dari pembiayaan dalam negeri sebesar Rp.271,98 triliun dan pembiayaan luar negeri Rp. 1,19 triliun (http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/ 20150814141702-78-72193/belanja-2016-tembus-rp2-ribu-t-defisit-bengkak-jadi-21-pdb)

Kondisi defisit anggaran sejak tahun 2008 sampai sekarang tergambar sebagai berikut :

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara_Indonesia

Ada pos yang penulis tidak mengerti yaitu Pos Pendapatan Hibah dan Pos Belanja Hibah. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2011 Tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah yang dimaksud Pendapatan Hibah adalah setiap penerimaan Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri, yang atas pendapatan hibah tersebut, pemerintah mendapat manfaat secara langsung yang digunakan untuk mendukung tugas dan fungsi K/L, atau diteruskan kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah, sedangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.02/2011 Tentang Klasifikasi Anggaran menyatakan yang dimaksud Belanja Hibah merupakan belanja pemerintah pusat dalam bentuk bentuk transfer uang/barang kepada pemerintah negara lain, organisasi internasional, BUMN/D, dan pemerintah daerah yang bersifat sukarela, tidak wajib, tidak mengikat, dan tidak perlu dibayar kembali serta tidak terus menerus dan dilakukan dengan naskah perjanjian antara pemberi hibah dan penerima hibah dengan pengalihan hak dalam bentuk uang, barang, atau jasa. Termasuk dalam belanja hibah adalah pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang diterushibahkan ke daerah.

Orang awam menilai pos pendapatan hibah dan pos belanja hibah tidak ubahnya pinjam meminjam tanpa bunga karena tidak ada makan siang gratis.

Bagaimana dengan realisasinya ?

Dari tabel tersebut di atas tergambar bahwa realisasi penerimaan dalam negeri surplus pada tahun 2008, 2010,2011 dan 2012 sedangkan tahun lainnya mengalami defisit, namun jika dibandingkan dengan realisasi pengeluaran maka dapat dikatakan tiap tahun mengalami defisit dimana defisit tersebut ditutup dengan utang (baca : Pembiayaan)

Bagaimana dengan penerimaan pajak ?

Penulis belum mendapatkan data rencana dan realisasi penerimaan pajak, namun sesuai tulisan Widi Haryoprabu terungkap bahwa sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2014, target Penerimaan Pajak yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak hanya tercapai sebanyak 1 kali yaitu tahun 2008 . Selebihnya penerimaan pajak selalu meleset dari target. Pencapaian Tahun 2008 pun masih dipertanyakan keabsyahannya. Selengkapnya http://www.kompasiana.com/widiharyoprabu/gagal-terus-bubarkan-pajak_564e7ee5f59273fc0427e392

Bahkan rencana penerimaan pajak tahun 2015 memperkirakan hanya sanggup dikumpulkan sekitar Rp 1.099 triliun atau 85 persen dari target Rp 1.294 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Dengan begitu, kekurangan (shortfall) penerimaan pajak ditaksir sekitar Rp 195 triliun. http://bisnis.liputan6.com/read/2365058/kekurangan-penerimaan-pajak-2015-diperkirakan-rp-195-triliun

Dampak sistem anggaran yang nyeleneh ini adalah nilai mata uang rupiah terdepresiasi ketika dibutuhkan banyak dolar untuk melunasi utang luar negeri, Presiden selalu disalah-salahin jika utang negara bertambah banyak. Presiden Soeharto harus membayar mahal dipaksa lengser keprabon, Presiden Jokowipun ditantang untuk menyebutkan jumlah utang Indonesia (http://fajar.co.id/headline/2015/07/31/jokowi-ditantang-sebut-jumlah-utang-indonesia-selama-dia-memimpin.html). Target penerimaan pajak tidak tercapai ada yang menyarankan Presiden minta maaf (http://news.merahputih.com/keuangan/2015/09/26/target-pajak-tidak-tercapai-jokowi-harus-minta-maaf-kepada-rakyat/27658/).

Apa solusinya ?

Apabila diperhatikan tabel Ringkasan Anggaran Negara dan Realisasinya (miliar rupiah), 2007 – 2014 maka terlihat realisasi penerimaan mengalami pertumbuhan jika dibanding realisasi penerimaan tahun sebelumnya. Kalau penyusunan anggaran berdasarkan realisasi penerimaan tahun sebelum anggaran disusun, pada tahun berjalan dilakukan perubahan anggaran sebesar pertumbuhan realisasi penerimaan tahun penyusunan anggaran.

Contoh : 

RAPBN 2016 yang disusun tahun 2015 dibuat berdasarkan realisasi penerimaan tahun 2014 dan pada tahun 2016 dilakukan APBNP 2016 sebesar pertumbuhan penerimaan tahun 2015. Apabila penerimaan tahun 2016 mengalami pertumbuhan maka terdapat surplus yang untuk saat ini dapat digunakan melunasi utang. Surplus digunakan untuk investasi manakala utang sudah lunas.

Defisit pada sistem penyusunan anggaran tersebut terjadi manakala penerimaan tidak mengalami pertumbuhan.

Jumlah penduduk 250 juta orang, sementara yang terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak hanya 28 juta orang atau sedikit di atas 10 persen. WP yang menyampaikan SPT rutin hanya 10 juta WP, dimana yang membayar penuh sesuai ketentuan cuma 900 ribu orang. Kondisi internal selengkapnya http://www.kompasiana.com/metik/perlukah-kita-belajar-penerimaan-pajak-ke-as_564bfe4e917e61d00413a39e dan minimnya kontribusi Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi http://finance.detik.com/read/2015/04/09/123352/2882388/4/setoran-pajak-tak-pernah-capai-target-sejak-2009-ini-penjelasan-darmin-nasution menginformasikan kepada kita bahwa masih banyak ceruk potensi yang bisa dikonversi menjadi penerimaan, sehingga negara ini tidak perlu bersusah payah mencari pinjaman maupun mencari investor asing untuk melaksanakan amanah alenia 4 Pembukaan UUD 1945 memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa apabila Otoritas Pajak ditempatkan pada posisinya dalam melaksanakan amanah Pasal 23A UUD 1945.

Fisosofi pajak sebagai “kewajiban” yang menimbulkan paradigma masyarakat “Pajak sebagai Upeti” yang boleh digunakan sesuka hati penyelenggara negara hendaklah dirubah pajak sebagai “kebutuhan”, masyarakat butuh pajak untuk penyelenggaran pemerintahan, butuh pajak untuk mendapat perlindungan keamanan, butuh pajak untuk memajukan kesejahteraan umum, butuh pajak untuk meningkatkan kecerdasan anak bangsa dan butuh pajak untuk ikut serta menjaga ketertiban dunia, sehingga penyelenggara negara sangat berhati-hati dalam memanfaatkan uang pajak dan penerimaan negara lainnya.

Otoritas pajak tak ubahnya seperti bapak yang bertugas mencari nafkah dan Presiden beserta penyelengara pemerintahan seperti ibu yang bijak membelanjakan nafkah untuk kesejahteraan keluarga.

Salam untuk Indonesia yang lebih baik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun