Mohon tunggu...
Muhammad Irsyad Suardi
Muhammad Irsyad Suardi Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Andalas

Lahir di Padang, Sumatera Barat, 19 Desember 1996. adalah seorang sarjana sosial yang mulai aktif menulis opini dimedia massa lokal dan nasional. baik media cetak maupun media online. tamat dari Sosiologi Universitas Andalas tahun 2020 dan melanjutkan pendidikan ke jenjang magister dengan jurusan yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Sunyi Kepahlawanan Achmad Mochtar

14 November 2020   17:45 Diperbarui: 14 November 2020   17:48 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak banyak yang mengenal tokoh pejuang sebelum kemerdekaan ini, yaa Achmad Mochtar. Tokoh sentral yang berjasa dibidang kedokteran dan ahli bakteri ini telah membawa perubahan yang tidak sedikit bagi perkembangan penelitian medis di Indonesia, terkhusus Sumatera Barat.

Saking kuat pengaruh dan jasa AM dibidang kedokteran, sehingga, Gubernur Sumbar Azwar Anas memberi nama Rumah Sakit Umum Kelas C Bukittinggi menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi yang sekarang kita kenal.

Bukan hanya sebagai seorang dokter, jasa dan perjuangan yang dilalui Prof. AM telah memberi inspirasi bagi dunia penelitian untuk terus menggali informasi walaupun dalam tekanan dan intervensi kekuasaan. Jepang saat itu berkuasa membudak para dokter, peneliti untuk mencari berbagai informasi penting terkait penyebab penyakit tetanus Ketika itu.

Terbukti, AM adalah direktur Lembaga Eijkman pertama di Indonesia, sebuah Lembaga nasional dibawah Kemenristekdikti RI. Lembaga yang bergerak dibidang sains untuk mencari akurasi data mengenai yang diteliti.

Sebelumnya, mari replay dulu kisah hidup seorang Achmad Mochtar di kampung tempat dia dibesarkan Bersama ayah dan ibunya. Bahwa, ibu AM berdarah Minang sedangkan ayahnya berasal dari Mandahiling, Sumatera Utara.

Ibu achmad mochtar sendiri merupakan asli Minangkabau, Bonjol, Pasaman. Dari sebuah artikel, diceritakan perjuangan AM yang ingin sekolah kedokteran di Belanda. Namun usahanya tidak berjalan mulus, terkendala keuangan dan akhirnya AM bertemu dengan seorang peneliti belanda bernama Schuffner membantunya untuk dapat kuliah di Belanda.

Tuduhan Jepang

Selama menjadi direktur Lembaga Eijkman pertama, AM telah mendedikasikan hidup sebagai seorang dokter sekaligus peneliti. Dalam disertasinya, AM berhasil menempatkan penyakit kuning sebagai penyakit yang disebabkan bukan oleh leptospira (penyakit yang disebabkan kontaminasi air seni hewan) sehingga semua berita tidak benar tentang penyakit kuning berhasil diluruskan oleh AM. 

Selama mengabdi di Lembaga Eijkman, AM dituduh oleh Pemerintahan Jepang telah memberi racun ke vaksin, untuk disuntikkan kepada semua romusha (pekerja paksa jepang) dengan tuduhan telah menyalahi prosedur penelitian sehingga berdampak kematian terhadap suntikkan vaksin yang diberikan. Dengan taruhan, AM bersedia dihukum tapi dengan syarat membebaskan semua staf dan pegawai Eijkman pada tanggal 3 Juli 1945.

Berdasarkan catatan yang baru diketahui, AM dieksekusi tanggal 3 Juli 1945 dan dikuburkan massal Bersama dokter lainnya yang telah tewas di dalam penjara. Dalam penelusuran Sangkot Marzuki dan J.K Baird, seorang asisten AM sebenarnya telah menemukan makam AM akhir tahun 1976. Tertulis, dalam sebuah memoar yang menjelaskan lokasi pemakaman AM dalam arsip milik Institut Dokumentasi Perang yang ada di Amsterdam (detik.com 03/07/2010). Tepatnya di makam Everald, tempat pemakaman Belanda di Kawasan Ancol, Jakarta.

Jalan sunyi yang ditempuh AM selama hidup begitu pahit, sebab, selama mengabdi di Eijkman segala gerak-gerik dibatasi tentara Jepang. Bukan itu saja, semua staf AM juga di intervensi agar mau melaksanakan semua apa yang diperintah Jepang. Wajar, Ketika itu Indonesia masih dibayang-bayang kolonialis yang tidak mengenal maaf terhadap rakyat Indonesia. Setelah beberapa tahun, datang sekutu untuk membantu menolong kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebut saja, Amerika Serikat, datang atas perintah negara-negara dunia untuk berpartisipasi ikut membantu perdamaian dunia yang didasarkan atas kebebasan berserikat yang telah mendapat pengakuan dimata Internasional.

Sebagai laki-laki Minang, AM tidak akan menyerah sampai cita-cita luhurnya dirasakan banyak orang. Terbukti, tahun 1937 ia bergabung dalam Lembaga peneliti Eijkman yang setelah dilakukan musyawarah terpilih menjadi ketua Eijkman pertama di Indonesia. Nafas Panjang dan kehadiran AM telah mewarnai corak kerja dan disiplin kerja yang jarang mengenal surut. Walaupun masih dikendalikan secara kelembagaan oleh Jepang, namun dalam sanubari AM sanggat tidak senang terhadap berbagai intervensi yang dilakukan tentara Jepang.

Pahlawan 

Tidak akan ditemui dalam lembaran mata pelajaran sejarah siswa-mahasiswa sekarang perjuangan AM. Mungkin hanya ada dalam lembaran sejarah arsip Lembaga Eijkman sekarang. Dan itu tidak untuk disebarluaskan.

Dengan mengenang dan mempelajari sejarah menjadi satu moment kepada generasi sekarang, untuk meneladani sifat seorang AM yang Tangguh berjuang walaupun dalam bayangan Jepang saat itu. Bahkan, AM rela mengorbankan nyawa demi menyelamatkan semua rekan staf dibawah pengawasannya Ketika itu.

Untuk itu, tidak elok rasanya nama seorang Achmad Mochtar hanya dikenang begitu saja sebagai tulisan berhiaskan di dinding rumah sakit di Bukittinggi. Untuk lebih menghormati jasa tanda dan jasa perjuangan beliau supaya kita warga Sumatera Barat mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk menjadikan beliau salah seorang pahlawan nasional. Sehingga, Sumatera Barat setidaknya dapat menebus atau memberikan ruang besar kepada beliau atas jasa dan keteladanan beliau selama hidup.

Usulan, untuk menambah di catatan mata pelajaran sejarah, agar dicantumkan dan diberi biografi lengkap kisah perjuangan seorang Achmad Mochtar yang bisa diteladani bagi generasi sekarang. Karena, Bung Karno pernah berpidato "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya". "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!" ujar Bung Karno di Pidato 17 Agustus 1966 saat itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun