"Negara Indonesia adalah negara Hukum", begitulah bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 (konstitusi). Sebagaimana negara hukum maka supremasi hukum harus ditegakkan dan dijalankan sesuai dengan amanat konstitusi. Tetapi tugas tersebut tampaknya sanggatlah sulit dan penuh tantangan.
  Negara hukum yang tertulis di dalam konstitusi hanya menjadi penghias dan pemanis saja, hukum tidak lagi menjadi panglima tertinggi di negeri ini, karena saat ini hukum diperjual belikan sebagaimana barang dagangan bahkan dilelang, siapa yang menawar dan membeli dengan harga tinggi maka ialah yang akan mendapatkan keadilan.
   Hiruk pikuk perdagangan hukum di negara Hukum ini (Indonesia) terjadi di semua lini para aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa dan hakim. Bahkan slogan "Fiat Justitia ruat caelum" Tidak bermakna apa-apa bagi mereka para pelaku perdagangan hukum (mafia hukum). Â
  Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak tahun 2015 hingga tahun 2020, sebanyak 22 orang Jaksa tersandung kasus korupsi. Berdasarkan data tersebut tentu akan timbul persepsi di tengah masyarakat bahwa hukum itu bisa diperjualbelikan dan tetap menampakkan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.
  Menurut ICW terdapat 3 permasalahan utama penyebab Jaksa tersandung kasus korupsi, pertama faktor integritas personal Jaksa, yang kedua sistem pengawasan dan penindakan yang lemah, dan yang ketiga setiap Jaksa yang bermasalah sering kali hanya diselesaikan di internal saja.
   Padahal permasalahan tersebut seharusnya diumumkan ke publik agar terciptanya kejaksaan yang bersifat akuntabilitas dan transparan dalam penindakan mafia hukum.
   Tidak jauh berbeda dari kejaksaan, kasus mafia hukum juga ditemui dan terjadi di aparat pengadilan (Hakim). Menurut ICW dari tahun 2012-2019 tercatat 20 hakim tersandung kasus korupsi. Berdasarkan data ini tentu menambah catatan buruk  hukum di Indonesia.
   Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2019-2020 tercatat sudah ada 20 perkara korupsi yang mendapat diskon hukuman oleh Mahkamah Agung. Sebagai masyarakat awam pastinya kita bertanya-tanya, apakah pengurangan vonis ini oleh hakim MA mengindikasikan telah terjadi jual-beli hukum di perkara tersebut?.
   Tentunya kita berharap semua itu tidak lah benar, karena besar harapan kita kepada hakim di Mahkamah Agung untuk menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi di Republik ini.