Mohon tunggu...
M Sakti Garwan
M Sakti Garwan Mohon Tunggu... Human Resources - Indonesia, Maluku Utara, Ternate

Mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Urgensi Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini

12 Maret 2020   06:26 Diperbarui: 12 Maret 2020   07:19 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegiatan diskusi IKMP yakni FND (Friday Night Discussion) kembali digelar pada tanggal 6/03/2020. Tema yang dibahas mengenai "Urgensi Pendidikan Seks Terhadap Anak Usia Dini", dengan menjadikan Ihwan Fauzi, magister Manajemen Pendidikan Islam sebagai pemantik dan Alis Muklis Presiden IKMP, sebagai moderator diskusi tersebut. Tema ini diangkat dengan landasan maraknya kasus seks yang terjadi pada anak atau menjadikan anak usia dini sebagai objek seksual bahkan dalam bentuk kekerasan antar sesama maupun dilakukan oleh orang dewasa sangatlah penting untuk didiskusikan, contohnya beberapa kasus beberapa waktu kemarin terjadi di salah satu sekolah di Jakarta International School (JIS).

Ihwan juga menyampaikan bahwa wacana tentang pendidikan seks kepada anak usia dini (pada usia 0-7 tahun) dinilai sangat penting, terutama dari segi etis yakni, mengenalkan kepada anak tentang jenis kelamin, berpakaian yang rapi, menutup aurat, juga hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika bertemu dengan lawan jenis, terlebih lagi ketika diajak kepada hal yang dianggap menyimpang oleh orang lain, selain orang tuanya. Wacana ini diharuskan untuk dibumikan agar hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Alis Muklis menyampaikan, saat ini, pendidikan seks kurang diperhatikan orang tua, mereka lebih menyerahkan semua pendidikan anak kepada sekolah termasuk pendidikan seks. Padahal yang bertanggung jawab akan pendidikan seks pada anak usia dini adalah orang tua, sedangkan sekolah hanya sebagai pelengkap dan di sekolah tidak ada kurikulum tentang pendidikan seks sehingga pendidikan seks pada anak usia dini kadang terabaikan. 

Hal ini pun disambung oleh Zaiful Anas, yang mengatakan bahwa masalah seks sendiri masih dianggap tabu di kalangan masyarakat dan dibicarakan di depan anak-anak, apalagi untuk mengajarkannya kepada anak-anak. Hal ini dikarenakan konteks masyarakat kita, masih beranggapan bahwa pendidikan seks belum pantas diberikan kepada anak kecil. Inilah yang menjadi titik pro dan kontra ketika wacana ini diterapkan. Walaupun pendidikan seks yang diberikan sejak dini sangat berpengaruh dalam kehidupan anak ketika dia memasuki masa remaja.

Berdasar pada argumentasi tersebut, Dwiki selaku anggota bidang KOMINFO menyatakan, pendidikan seks sewajarnya tidak dapat diberikan kepada anak, melainkan diberikan pengendalian atau semacam proses refleksi kepada masyarakat luas, dalam hal ini kalangan orang dewasa agar dapat berpikir jernih agar tidak melakukan aktivitas seksualnya kepada anak usia dini. Langkah ini dapat dikatakan penting, dikarenakan sikap anak usia dini yang masih polos dan lugu ketika diajak kepada hal yang mana di belum tahu benar atau salah. Maka, sudah seharusnya yang diberikan pendidikan adalah para orang dewasa, bukan untuk anak usia dini.

Sahrul Hidayatullah menambahkan, jikalau yang dimaksud adalah pendidikan seperti yang dijelaskan oleh Ihwan yang menyatakan, pengajaran tersebut meliputi menjaga malu dengan sesama lawan jenis, berpakaian yang rapi dan menutup aurat, juga hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika bertemu dengan lawan jenis, adalah sebuah bentuk pendidikan moral, bukan pendidikan seks. 

Indonesia dengan kategori anak usia dini berada pada usia 0-6 tahun, sesuai dengan batasan yang ada pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 14.  Usia tersebut seyogyanya diberikan pendidikan yang berbau moral bukanlah seks. Dikarenakan pendidikan seks harusnya dilakukan setelah dia berusia remaja.

Alis Muklis juga menyinggung soal pendidikan yang merupakan suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan dan cara mendidik agaknya perlu untuk di dapati ruang lingkupnya dalam hal seks kepada anak usia dini.  Di Indonesia sendiri banyak anak-anak tidak mendapatkan pendidikan seks yang benar dan cukup. Mereka justru mendapat informasi tentang seks dari teman sebaya, internet, dan majalah, yang nayatanya sumber informasi tersebut belum tentu benar dan dapat dipertanggung jawabkan.

Zaiful Anas mengatakan, pemberian pendidikan atau informasi mengenai masalah seks masih menjadi pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Dari beberapa data dan kasus kekerasan seksual anak yang terjadi, dikarenakan anak tidak tahu dan tidak menyadari bahwa perlakuan orang dewasa yang menyentuh bagian pribadi adalah perlakuan yang salah. Hal ini terjadi karena anak-anak belum pernah diajarkan mengenal bagian tubuhnya terutama alat kelaminnya. Anak tidak dikenalkan bagian pribadi mana yang boleh dan tidak boleh disentuh. Anak tidak mengetahui mana sentuhan yang aman dan tidak aman, serta tidak mengetahui bagaimana mem-pertahankan diri bila mengalami perlakuan tersebut.

Febrina Mato, menanggapi soal pendidikan seks ini dengan mempertanyakan, apakah pendidikan seks hanya diberikan kepada orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan atau tidak, dan juga apakah orang tua yang berlatar pendidikan sudah tentu anak terhindar dari perlakuan seks yang tidak sepantasnya. Dari pertanyaan inilah setidaknya menjadi bahan refleksi bahwa pemberian pendidikan seks masih sangat diperlukan dan diinttensifkan pada semua pihak, dilingkungan orang tua maupun sekolah, baik anak maupun orang dewasa, agar kekeliruan semacam kasus-kasus yang lalu tidak terjadi.

M. Sakti Garwan menjelaskan bahwa seks sendiri perlu didefinisikan dengan baik, dan dibedakan dengan seksualitas. Seks sendiri berarti jenis kelamin (pria dan wanita), seksualitas sudah menyangkut dengan nafsu, akal, juga keingingan. Anak usia dini yang berusia 0-7 tahun dapat diajarkan pendidikan seks untuk membedakan jenis kelaminnya, sekaligus pendidikan moral. Namun ketika sudah berusia 8-15 bahkan seterusnya barulah dia dapat diajarkan perihal seksualitas, bagaimana mengontrol dan menyalurkan seksualitas sesuai dengan aturannya, dikarenakan anak sudah turun langsung pada kehidupan sosial.

Perihal seksualitas sendiri perlu untuk tekankan, dikarenakan masih banyaknya perilaku seksualitas yang disalurkan tidak pada tempatnya, semisal perilaku homoseksual (menyukai sesama jenis), walaupun hal ini dianggap beberapa kalangan sebagai penyakit, maka sudah seharusnya untuk dicegah sedari awal. Untuk seksualitas sendiri dijelaskan oleh Foucault, filsof Prancis dalam pemikirannya tentang "Seksualitas", terbagi dalam beberapa klasifikasi dalam setiap zamannya; 

(1) Zaman Greco-Roman: Ars Erotica, setiap orang diberi kebebasan untuk memaknai kehidupan seksnya dengan tetap berpegang tegung pada prinsip kewaspadaan. 

(2) Zaman Otoritarianisme Gereja: Dipandang sebagai tabu (sakral), tidak boleh dbicarakan di tempat umum, direpresi, sehingga malah memicu hasrat rasa ingin tahu. 

(3) Zaman Modern: Sciential Sexualis: Analisa teoritis terhadap setiap gejala seksual yang muncul dalam diri manusia, seks mulai dibebaskan dari "jeruji" kontrol yang represif dan bergerak menuju suatu ruang klinis yang sarat dengan rumusan-rumusan teori yang baku. 

(4) Zaman Kontemporer: Komoditas yang mengutamakan keuntungan bagi para pemilik modal dan kepuasan hasrat bagi para pembeli, penikmat dan sebagainya.

Dapat dilihat dari segi zaman kontemporer, seksualitas sudah menjadi komoditas yang mengutamakan keuntungan bagi para pemilik modal dan kepuasan hasrat bagi para pembeli, penikmat dan sebagainya, hal ini dapat dilihat oleh fakta tentang maraknya tempat prostiusi, baik offline maupun online. Maka, sudah sewajarnya pendidikan seks kepada anak usia dini dianggap sangat penting untuk menjadi pencegahan dini dan berlanjut pada pendidikan seksualitas agar anak pada masa perkembangannya sampai masa remaja dan dewasa tidak terjerumus ke hal-hal yang salah terkait seks itu sendiri.

Dalam hal fakta masyarakat tentang kemunculan wacana pendidikan seks itu sendiri, pada kenyataannya sudah dilakukan, walaupun perlu adanya upaya pengawasan lebih lanjut, apalagi untuk orang tua yang memiliki kesibukan di luar rumah dan kurang mempunyai waktu dengan anak. Hadirnya wacana ini pula dapat menjadi penyadaran dan counter terhadap fenomena yang terjadi dan semakin melunjak dari waktu ke waktu, sehingga dapat diintensifkan kembali dan membutuhkan kerjasama antara sesama di kalangan masyarakat umum maupun di ruang lingkup pendidikan (baca: sekolah).

Azizah Kumalasari memberikan pertanyaan tentang bagaimana proses atau metode pendidikan seks ketika diberikan kepada anak. Hal ini dinilai penting agar tidak menjadi salah pemahaman oleh anak. Kebutuhan atas strategi pendidikan seks, sebagaimana pendidikan dengan materi apapun, tentu juga harus disesuaikan dengan tujuan, tingkat kedalaman materi, dan usia anak. Pendidikan seks kepada anak ini dapat lebih dirujuk atau diberikan kepada orang tua, agar hendaknya mempersiapkan diri dengan menambah pengetahuan untuk menghadapi pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan anak, sehingga anak dapat memperoleh jawaban yang memuaskan dan rasional menurut mereka.

Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Dwiki dengan memberikan visualisasi yang pernah ditunjukan oleh seorang psikolog Amerika, yakni menggunakan media mainan anak seperti boneka untuk dibuat ilustrasi agar anak dapat cepat mengerti dan paham. Karena anak tentu dia dapat memahami dengan cepat ketika pembelajaran yang dipakai sesuai dengan pola dan tingkatan usianya. Semakin dini diperkenalkan akan semakin baik. Tidak perlu khawatir anak tidak mampu menangkap karena otak anak bagaikan jendela yang terbuka dan selalu siap menerima meski tidak langsung dimanfaatkan atau dipahami. Wacana ini sebaiknya juga berlanjut ke ranah seminar atau pembiasaan di kalangan lembaga swadaya masyarakat agar dapat melangsungkan dan membimbing generasi yang terdidik, terutama dalam hal seks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun