Mohon tunggu...
M Sakti Garwan
M Sakti Garwan Mohon Tunggu... Human Resources - Indonesia, Maluku Utara, Ternate

Mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pro dan Kontra Dauroh Poligami Indonesia, "Sebuah Kewajaran atau Sunnah yang Berlebihan?"

1 Maret 2020   14:34 Diperbarui: 1 Maret 2020   16:06 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ikatan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar kegiatan Friday Night Discussion (FND) perdana pada tanggal 28/02/2018 bertempat di Kebun Lawas. Agenda ini menjadikan Alis Muklis (Presiden IKMP) sebagai pemantik diskusi dengan mengangkat tema "Pro dan Kontra Dauroh Poligami, Apakah Sebuah Kewajaran atau Sunnah Yang Berlebihan?". Tema ini diangkat dengan tujuan menganalisis kemunculan kelompok atau organisasi "Dauroh Poligami" sendiri yang dinilai cukup eksis dan banyak menarik minat para umat Muslim serta menarik untuk diperbincangkan.

Alis Muklis menyampaikan bahwa gerakan Dauroh Poligami telah muncul sekitar 2017 dan kemudian tidak terdengan lagi sampai pada beberapa waktu lalu muncul kembali dengan mengadakan seminar dengan biaya yang dinilai sangat besar. Terlebih lagi, viralnya video seorang istri yang mengantarkan suaminya untuk menikah lagi (melakukan poligami). Gerakan ini juga menggunakan legitimasi ayat maupun hadis sebagai langkah menarik minat kaum Muslim. Sehingga ada yang mengatakan ini sebagai salah satu industri kreatif atau bahkan sebuah langkah komersialisasi agama.

Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa Dauroh Poligami Indonesia (DPI), sebuah lembaga yang menjadi pusat edukasi dan konsultasi pernikahan poligami. DPI melakukan perlindungan dan pendampingan kepada keluarga poligami dalam menjalankan syari'at poligami dengan baik dan benar, serta membantu bagi pelaku poligami yang poligaminya masih serampangan agar mal praktik poligami di masyarakat bisa berkurang.

Dapat dikatakan bahwa, persoalan poligami merupakan sebuah kajian yang dikatakan "jadul" mengingat term ini telah diperbincangkan sejak awal turunnya ayat suci al-Qur'an dan telah berlangsung sampai saat ini. Para ulama maupun cendikiawan juga memiliki penafsiran tersendiri yang kemudian dianut oleh beberapa kalangan bahkan negara-negara tertentu. Kehadiran DPI sendiri merupakan bentuk pembumian poligami gaya baru yang muncul lewat gerakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat muslim dengan landasan ayat maupun hadis nabi Muhammad SAW.

Adapun beberapa pandangan DPI tentang poligami, diantaranya; monogami menjadi solusi terakhir ketika seseorang sadar tidak mampu, DPI lebih menggunakan logika atau pemahaman para praktisi DPI itu sendiri. Dari segi aplikatif, poligami syar'i berasal dari pengalaman para praktisi DPI. Selain itu, landasan teologis dilegalitaskannya poligami DPI tidak banyak membahas. Menurut DPI dalam al-Qur'an maupun hadis tentang poligami cukup jelas dan tidak boleh diungkit-ungkit lagi. Lebih lanjut, pelaku yang melakukan poligami harus syar'i terlebih dahulu; dalam arti dia sudah menjalankan seluruh kewajiban dan sunnah sebagai seorang muslim.

Sahrul Hidayattullah, salah satu anggota IKMP mengatakan, poligami sendiri dalam pembahasan agama, banyak dikatakan sebagai sunnah, namun hal ini perlu diketengahkan. Mengingat polgami sendiri dalam kitab-kitab fiqh tidak disebut secara jelas bahwa itu merupakan sunnah melainkan para ulama mengatakan "boleh saja" (mubah). Dalam hal ini poligami dipandang sebagai sebuah tradisi pada suatu tempat, yang kemudian pada kondisi yang sama dipraktikkan oleh Rasulullah, namun dalam tujuan yang tentu berbeda. Poligami dalam konteks ayat lebih dipandang sebagai solusi bukan perintah dikarenakan keterbatasan dari manusia itu sendiri (laki-laki).

Dalam perspektif golongan poligami sebagai mubah, Ihwan Fauzi mengatakan bahwa, hal ini kembali menjadi problem mengingat poligami sendiri memiliki legitimasi dari al-Qur'an dan Hadis. Sehingga polgami dapat kembali disebut sebagai sunnah. Dikarenakan poligami sendiri dapat dilaksanakan dalam beberapa situasi, seperti ketika sang istri memiliki kekurangan atau kondisi lain. Sebagaimana Sunnah yang diartikan ketika melakukan mendapat pahala dan ketika tidak juga tidak mendapatkan dosa.

Sakti Garwan atau penulis tulisan ini mengungkapkan poligami sendiri dapat dipilah pada beberapa aspek, dikarenakan poligami adalah perihal yang tidak hanya berangkat dari ranah teologi. Semisal dari aspek ekonomis yang landasannya pada naluri/insting seorang laki-laki untuk melakukan poligami. Apabila dari segi ekonomis laki-laki tersebut tergolong mampu, maka dapatlah dia melakukan poligami, namun terlebih dahulu membicarakan keinginan tersebut dengan istri sampai mendapat persetujuan yang layak. Dalam memandang gerakan yang dilakukan oleh DPI sendiri dengan menggunakan legitimasi ayat al-Qur'an dan hadis sebagai komersiliasai sangatlah tidak etis.

Misbah mengutarakan pada Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan Agama akan memberikan izin kepada seorang suami untuk berpoligami apabila terbukti bahwa (a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri (b) Istri mendapat cacat badan atau tidak dapat disembuhkan (c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Maka, dapat dipandang bahwa UU di Indonesia tidak secara jelas melarang poligami ini.

Namun dengan beberapa persyaratan dan kategori yang dibuat, menandakan bahwa sangatlah berat poligami ini dilakukan jika hanya mengandalkan kemauan semata atau dilakukan ketika istri tidak mengalami beberapa bukti di atas. Disodorkan oleh Devi Vionita, mahasiswa magister PIAUD memaparkan bahwa, poligami juga memiliki dampak negatif dan positif dalam persoalan ini tertuju pada pola perkembangan dan pemikiran anak. Apabila dia mellihat ayahnya beristri dua tentu ada semacam pemikiran yang aneh pada anak, di sisi lain kalau anak dapat mengerti pun dia dapat menjadikan itu sebagai contoh bagi dirinya sendiri.

Zaiful Anas menegaskan kembali pada persoalan ekonomi. Poligami yang dibincangkan dalam ranah ekonomi dapat dikatakan boleh-boleh saja apabila memiliki kemampuan lebih ditambah kesepakatan dari pihak istri. Tetapi apabila, kedua jalan itu tidak disetujui maka disarankan untuk jangan, dikarenakan memiliki nilai-nilai kegagalan dalam hubungan poligami nantinya. Karena yang dituju dari poligami adalah keadilan yang merupakan perilaku yang demikian berat seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an.

Di sambung dari pandangan Anas. Sakti Garwan menjelaskan bahwa, kehadiran DPI masih dirasa perlu, dikarenakan polgami sendiri yang merupakan pilihan, maka kehadiran gerakan atau kelompok ini hanya sebatas membimbing dan wadah edukasi bagi orang yang ingin berpoligami akan tetapi bukan untuk mengajak orang untuk berpoligami. Seperti halnya teori yang diutarakan oleh kalangan mereka yang mengatakan bahwa asas pernikahan dalam Islam sebenarnya adalah poligami.

Lebih lanjut, Poligami juga pada akhirnya tidak mendapat larangan secara ekaplisit oleh agama bahkan negara. Keduanya memberikan atau mengajukan gambaran abstrak yang seharusnya ditafsirkan secara berbeda oleh pikiran manusia dan kemudian diberikan pilihan, melakukan atau tidak melakukan. Semua itu kembali pada pribadi masing-masing orang dengan menaruh "kemampuan" sebagai landasan dan "keadilan" sebagai tujuan. Di sisi lain memperhatikan esensi dari pernikahan itu sendiri untuk menghadrikan suasana keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun