Mohon tunggu...
M. Sadli Umasangaji
M. Sadli Umasangaji Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger - celotehide.com

Menulis beberapa karya diantaranya “Dalam Sebuah Pencarian” (Novel Memoar) (Merah Saga, 2016), Ideasi Gerakan KAMMI (Gaza Library, 2021), Serpihan Identitas (Gaza Library, 2022). Ia juga mengampu website celotehide.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Natsir sebagai Muslim Negarawan

22 Mei 2023   09:19 Diperbarui: 27 Mei 2023   09:18 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Natsir Sebagai Muslim Negarawan

M. Sadli Umasangaji

(Peserta Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute Angkatan IX 2021)

Kolaborasi Gagasan Natsir Sebagai Peran Islam dalam Negara

Secara umum Natsir memberi asumsi bahwa kehidupan pribadi, kehidupan bersama, juga kehidupan bernegara hendaklah mencerminkan ajaran Islam. Natsir dengan asumsi bahwa seorang muslim, hidup di dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dalam arti yang sesungguhnya, yang berasaskan Al-Quran dan sunnah. Asas berarti rumusan cita-cita dan motivasi tempat bertolak, sumber inspirasi dan kekuatan. Dunia dan akhirat tidak mungkin dipisahkan bagi kaum muslimin dengan ideologinya (Tedy, A, 2016).

Natsir  tidak melihat  Islam  sebagai Ad-din Wa-daulah (agama dan Negara) secara sekaligus, menurutnya Negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan sebagai lembaga keagamaan. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan  negara  sebagai sebuah  institusi yang paling penting menurut Natsir adalah dalam rangka penegakan syariah, keyakinan Natsir ini tampaknya didasarkan pada rumusan Konseptual bahwa Undang-Undang hanya dapat dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum yakni melalui  institusi negara. 

Sedangkan proses berdirinya negara  tersebut menurut Natsir adalah karena adanya keinginan dari kaum Muslimin untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Dengan berdirinya sebuah Negara  tersebut yang bercorak  Islam  dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan yang dapat menerapkan tujuan dari kehidupan bersama. 

Jadi kehidupan bernegara menurut Natsir adalah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat guna mewujudkan keteraturan dan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam masyarakat, karena dengan adanya negara beserta alat-alat kenegaraan mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama pula (Badri, A, 2020).

Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi kontroversial karena hasil interaksi Mohammad Natsir dengan Iingkungan sosio-historis yang melingkupi kehidupannya. Sementara itu, dalam konsep Negara Islam, Natsir berpendapat bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik dalam teori maupun praktiknya sehingga bagi Natsir negara berfungsi sebagai alat atau perkakas bagi berlakunya hukum Islam. 

Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Namun pandangan Natsir ini ternyata sangat kontradiktif dengan sikap Natsir yang bersikeras men]adikan Islam sebagai dasar negara. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. 

Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal (Gufron, 2016).

Natsir menginginkan Islam sebagai dasar Negara, golongan sekuler memberikan petanyaan bagaimana mungkin Islam dapat mengatur negara modern seperti saat ini. Al-Quran memberikan petunjuk-petunjuk untuk merancangkan Anggaran Belanja Negara. Menurut Natsir itu semua memang tidaklah ada dan memang tidak perlu diatur dengan wahyu  Ilahi  yang bersifat kekal, sebab hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan selalu bertukar dan berubah menurut tempat, zaman dan keadaannya. Islam hanya mengatur dasar dan pokok-pokok mengatur  masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluaannya selama manusia itu masih bersifat manusia. 

Islam ditetapkan untuk keselamatan masyarakat manusia, contohnya Islam memiliki kriteria atau ukuran ketika ingin melantik seorang pemimpin atau menjadi seorang kepala Negara maupun kepala daerah adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang suatu amanah.

Natsir juga memberi asumsi tentang kemestian pendirian sebuah negara dengan yang memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan. Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Agama harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu Negara karena agama bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Asumsi lain melengkapi itu, bahwa Natsir menyatakan menyusun suatu undang-undang dasar bagi negara kita ini dan untuk mencapai hasil yang memuaskaan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni bahwa undang-undang dasar bagi negara harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negara kita. Undang-undang dasar itu harus berurat berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negara (Tedy, A, 2016).

 

Natsir Sebagai Muslim Negarawan

Natsir merupakan tokoh yang mempunyai reputasi Nasional maupun Internasiona, memiliki wawasan yang luas tentang ajaran Islam. Natsir merupaka ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi (Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia), partai Islam terbesar di masa konsituante, dan turut memperjuangkan Islam sebagai dasar negara bersama kelompok nasional Islam lainnya.

Natsir cukup aktif dalam aktivitas politik sejak masa muda sampai usia senja. Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945-1946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia dari tahun 1946-1949. Ia menjadi Menteri Penerangan selama 4 periode: dalam Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946  --  12 Maret 1946), kemudian dalam kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946  --  2 Oktober 1946), berikutnya dalam kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946  --  3 Juli 1947), selanjutnya dalam kabinet Hatta  I (29 Januari 1948  --  4 Agustus 1949). Mulai tahun 1949 sampai 1958 Natsir menjadi Ketua Umum partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) (Tedy, A, 2016).

Hasan al-Banna mengaitkan antara akidah dan aktivitas politik. Ia berkata, "Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika dia menjadi seorang politisi, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya." Selanjutnya Hasan al-Banna mengatakan, "Sesungguhnya kami adalah politisi dalam arti bahwa kami memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa kami, dan kami bekerja dalam rangka mewujudkan kebebasan seutuhnya".

Muslim Negarawan sebagai sosok yang memiliki keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya. Tiga hal itu adalah (1) mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi (quwwah al-munashomat), (2) semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan (3) kompetensi yang tajam (Sudarsono, A. 2010). Dan konteksi ini ada dalam adalah Natsir.

Natsir menghendaki model pemerintahan demokratis yang mengedepankan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa membedakan agama, ras, dan suku bangsa. Natsir menekankan persatuan agama dan nergara dalam pemerintahan; ia juga menyatakan bahwa demokrasi itu sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, ia juga melihat bahwa demokrasi sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang berlandaskan kedaulatan rakyat (Muslimah, H, 2008).

Natsir seringkali memiliki pandangan politik yang sangat berlawanan dengan pandangan Sukarno. Meski demikian, ketika revolusi fisik terjadi (Agustus 1945-desember 1949), Natsir berdiri di belakang dwi tunggal Sukarno Hatta. Natsir adalah seorang partisipan yang aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi bersama dwitunggal. 

Peranan Natsir menjadi sangat penting terutama menyelamatkan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan,dengan menyerukan persatuan bangsa dan kesatuan negara tanpa memandang suku, agama, dan ras. Hal ini dijalani Natsir dengan mosi integralnya yang selanjutnya membawanya kejenjang kedudukan sebagai perdana mentri pertama NKRI pada tahun 1950 (Setyaningsih, E, 2016).

Natsir adalah sosok yang lebih condong mewujudkan gagasannya tentang negara Islam melalui jalan legal konstitusional. Beliau lebih memilih cara yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang tengah berlaku. Hal ini tentunya memudahkan beliau dalam menyampaikan pemikirannya dan menghindari pertentangan-pertentangan yang serius dengan berbagai komponen bangsa lainnya (Iskandar, I, 2015). Natsir betapa di awal kemerdekaan semua bapak bangsa berjuang tulus mempertahankan Republik yang masih bayi. "Ketulusan di antara kami amat tinggi dan perbedaan tidak ditonjolkan" (Tempo, 2016).

Sentimen ideologis Islam versus Pancasila cenderung terjadi. Natsir memberikan asumsi yang menarik bahwa tidak selalu menegasikan antara  keduanya secara diametral. Natsir mengisyaratkan kesesuaian Pancasila dengan Islam. Pada 1982, ketika teks buku Pendidikan Moral Pancasila yang kontroversial itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan, ia mengatakan, "Pancasila akan hidup subur dalam pangkuan ajaran Islam". Rasa-rasanya Natsir memang merupakan patronase dari nilai-nilai pancasila sebagaimana diungkap Yudi Latief dalam Sekolah Pemikiran Bapak Bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

 

Badri, A, 2020. Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara. Ri'ayah, Vol. 5, No. 02, Juli-Desember 2020.

Gufron, 2016. Negara Islam: Studi Terhadap Pemikiran Politik Mohammad Natsir.

Iskandar, I, 2015. Pemikiran Politik Muhammad Natsir Tentang Hubungan Islam dan Negara. Jurnal Transnasional, Vol. 6, No. 2, Februari 2015.

Muslimah, H, 2008. Muhammad Natsir dan Pemikirannya Tentang Demokrasi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Raspati, HI, 2012. Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Islam dan Dasar Negara. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta  

Setyaningsih, E, 2016. Perjuangan dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir (1907-1993). Jurnal TAPIs Vol.12 No.2 Juli-Desember 2016.

Silvia, G, 2015. Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Islam dan Politik di Indonesia 1927-1993.

Sudarsono, A. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Muda Cendekia

Tedy, A, 2016. Pemikiran Politik Islam Mohammad Natsir. El-Afkar Vol. 5 Nomor II, Juli- Desember 2016.

Tempo, 2016. Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim. Penerbit KPG.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun