Sekali Lagi Tentang Narasi Sosialisme Religius?
M. Sadli Umasangaji
Mengapa berbicara mengenai sosialisme? Kita bisa bertanya. Bagaimanapun, 'sosialisme' punya pengertian sampingan yang negative sejak kejatuhan di Uni Soviet dan Negara-negara di Eropa Timur lainnya. Kembali, mengapa berbicara mengenai sosialisme? Ada alasan sangat kuat untuknya. Disini saya (Martha Harnecker, 2015), mengutip Wakil Presiden Bolivia Alvaro Garcia Linera, yang menggunakan kata-kata sangat sederhana, pada 8 Februari 2010, Menyebut apa yang dinamakan 'sosialisme komunitas', dia mengatakan:
"Kita berbicara mengenai pokok soal ini hanya karena satu alasan, dan ini karena masyarakat yang saat ini ada di dunia, masyarakat yang hari ini kita miliki di seluruh dunia adalah masyarakat dengan terlalu banyak ketidakadilan, masyarakat dengan terlalu banyak ketimpangan. Hari ini, di dunia kapitalis dalam mana kita hidup ini, sebelas juta anak-anak meninggal dunia setiap tahun karena kekurangan gizi, karena pelayanan kesehatan yang buruk, karena tidak ada dukungan untuk mengobati penyakit-penyakit yang bisa disembuhkan. Sebanyak seluruh penduduk Bolivia mati setiap tahun dan setiap tahun lagi.
Masyarakat kapitalis ini, yang mendominasi dunia, yang memberi kita penerbangan ke angkasa luar, yang memberi kita internet, memungkinkan delapan ratus juta manusia tidur setiap malam dalam keadaan lapar. Sekitar dua milyar orang di bumi ini tidak mendapatkan pelayanan dasar. Kita punya mobil-mobil, kita punya kapal-kapal terbang, sekarang kita berpikir untuk pergi ke planet Mars, betapa indahnya! Tetapi disini di atas bumi ada orang-orang yang tidak mendapatkan pelayanan dasar, ada orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan, dan kalau ini tidak cukup, ini adalah masyarakat yang secara permanen dan berulang-ulang menimbulkan krisis, dan krisis menimbulkan pengangguran, memaksa perusahaan-perusahaan untuk tutup. Ada begitu banyak kekayaan, tetapi terpusat di tangan sedikit orang. Dan ada banyak orang yang tidak punya kekayaan dan tidak bisa menikmati apa yang ada. Sekarang ini ada dua ratus juta orang menganggur di dunia ini.
Itulah masalahnya, ini adalah masyarakat yang menimbulkan begitu banyak kontradiksi, yang menghasilkan pengetahuan, ilmu, dan kekayaan, tetapi yang sekaligus menimbulkan begitu banyak kemiskinan, begitu banyak pengabaian, dan pada puncaknya, tidak puas menghancurkan umat manusia saja dan melanjutkan menghancurkan alam. Ribuan jenis binatang dan tumbuhan telah dihancurkan dalam masa 400-500 tahun terakhir sejak dimulainya kapitalisme. Hutan menjadi semakin sempit dan sempit saja, lapisan ozone sedang dipertipis, kita mengalami perubahan iklim, gunung-gunung bertopi salju abadi sekarang sedang dalam proses kepunahan.
Ketika kita berbicara tentang sosialisme, kita sedang berbicara mengenai sesuatu yang sangat berbeda dari yang sedang kita alami. Kita bisa memberinya nama yang lain. Kalau orang tidak suka kata sosialisme, mereka bisa menyebutnya komunitarianisme, mereka bisa menamakan 'hidup baik', tidak masalah, kita tidak berjuang untuk nama-nama."
Dari perkataan itu, kita akan patut berpikir bahwa apapun namanya di masa-masa kini kita menjadi butuh terhadap suatu gerakan yang memenuhi nilai-nilai tentang pembelaan terhadap keharusan kehidupan bersama dengan menanamkan dengan kesejahteraan yang merata dan hidup yang semakin membaik.
Kaum Marxis, sebagaimana dituliskan (Engineer, 2009) perlu mengembangkan sebuah pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang menyeluruh yang berakar pada etos masyarakat setempat. Marxisme juga tidak bisa mengesampingkan agama, apalagi mencampakkanya. Marxisme sangat perlu memikirkan masalah ini secara mendalam. Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan membuangnya merupakan pendekatan yang sunguh-sungguh dangkal. Harus diingat bahwa agama adalah instrumen yang penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideologi yang revolusioner.
Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat itu di dalam maupun di luar Arab. Agama tidak boleh hanya berhenti sampai pada urusan akhirat, namun juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan masalah duniawi, agama harus dapat menjaga relevansinya. Sayang sekarang ini teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak memiliki ruh untuk menyentuh kepentingan kaum tertindas dan kaum miskin.