Sayyid Qutbh menuliskan, "Akan tetapi apabila persamaan itu disandarkan atas kebebasan jiwa yang dalam, sebagaimana halnya penyandarannya atas syariat dan pelaksanaannya, maka segi ini akan menjadi penopang paling kuat baik dalam lapisan orang-orang yang memliki kemampuan kuat maupun yang lemah. Ia berusaha meningkatkan yang lemah, dan membuat yang kuat bersikap tawadhu (tidak sombong). Persamaan itu akan bertemu dalam jiwa pada keyakinan terhadap Allah, dalam kesatuan ummat dan kerjasamanya, bahkan dalam kesatuan peri kemanusiaan dan jaminannya. Inilah yang menjadi tujuan Islam ketika ia memberikan kebebasan jiwa secara mutlak dan penuh".
Atau kiritk yang dilakukan oleh Abu Dzar. Bahkan walau baru namanya saja yang terdengar, bagaikan terbang ke setiap wilayah Islam, dan menimbulkan rasa takut dan ngeri di hati pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang. Sebab, semboyan yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan yang selalu diingat oleh jiwa dari dirinya bagai sebuah lagu perjuangan, ialah kalimat; "Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, yang menyeterikan kening dan pinggang mereka pada hari kiamat".
Abu Dzar melepaskan pandangan menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumunan. Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Kemudian, pandangannya beralih ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana. Tampak olehnya gedung-gedung dan kemewahan yang berlebihan. Ia pun menyeru kepada orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya, "Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, mengapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya?"
Abu Dzar mengajarkan kepada orang-orang itu bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan gigi-gigi sisir. Artinya mereka semua berserikat dalam rezeki bahwa tidak ada kelebihan seseorang daripada orang lain kecuali karena ketakwaan dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan harus menjadi orang pertama yang menderita kelaparan sebelum rakyatnya dan yang paling belakangan menikmati kekenyangan setelah mereka. (Khalid, 2012).
Roy Murtadho, pencetus ide-ide Islam Progresif dari kalangan Nahdhatul Ulama Muda kemudian membagi gagasan, "Bahkan lebih dari itu, kesadaran historis umat Islam mesti berhenti untuk secara terus menerus membicarakan Barat dan mengoposisikannya dengan kebudayaan Islam. Dan mulai memikirkan agenda politik rakyat dari berbagai identitas etnis dan agama dalam menumbangkan kapitalisme. Maka di tengah kekosongan gagasan dan gerakan Islam yang memberi alternatif pada agenda politik rakyat inilah, Islam Progresif seharusnya mampu memberi sumbangsih bagi gerakan rakyat di dua level sekaligus, yakni pandangan keagamaan yang terbuka dan berpihak, serta menjadi bagian dari pembangunan prasyarat-prasyarat material menumbangkan kapitalisme. Sebab berbeda dengan Kiri Islam Hanafi yang hanya berhenti sebatas gerakan intelektual, Islam Progresif adalah sebuah proyeksi Islam untuk aksi, yakni sebuah praksis pembebasan. Dengan demikian, Islam Progresif harus mulai merumuskan agenda aksi kaum muslim dan rakyat luas menghadapi mesin kapitalisme yang beroperasi melalui berbagai paket kebijakan ekonomi"
Akhirnya, apapun namanya, semua harusnya terakumulasi pada pandangan bahwa keimanan yang kiri bertumpu pada harapan Teologi Qur'ani dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan. Al-Quran juga menegaskan janji Allah; "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)" (Q.S Al-Qashash : 28 :5).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H