Mohon tunggu...
M. Sadli Umasangaji
M. Sadli Umasangaji Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger - celotehide.com

Menulis beberapa karya diantaranya “Dalam Sebuah Pencarian” (Novel Memoar) (Merah Saga, 2016), Ideasi Gerakan KAMMI (Gaza Library, 2021), Serpihan Identitas (Gaza Library, 2022). Ia juga mengampu website celotehide.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Realita Sosial dalam Kasus Gizi Buruk

9 Mei 2023   13:00 Diperbarui: 27 Mei 2023   09:30 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Paradigma Gizi dalam Kesehatan

Realita Sosial dalam Kasus Gizi Buruk

M. Sadli Umasangaji

Beberapa orang yang menggunakan seragam berwarna krem, keki, berbaju dinas, tanda sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Terlebih jauh ternyata petugas kesehatan dari salah satu Puskesmas X yang turun pelacakan di Desa B. Di saat pelacakan menarik orang-orang yang memakai baju seragam ini menemukan seorang anak yang dengan badan berbungkus kulit, bermuka “kelihatan tua”, berambut kusam, tipis dan jarang, sang bayi pun terlihat rewel dan cengeng, sering-sering menangis. Nafsu makan sang bayi juga berkurang. (Lihat Supariasa, 2002 tentang tanda-tanda klinis marasmus).

Pandangan lebih jauh ternyata sang bayi memiliki orang tua yang masih muda, sang ibu ternyata sedang melanjutkan studi pendidikan. Sang ayah ternyata telah pergi meninggalkan mereka, tak lagi bersedia bertanggung jawab. Betapa mirisnya. Kemungkinan keluarga ini menikah karena married by accident. Sang bayi harus dirawat neneknya. Neneknya sudah tua. Sang bayi bahkan kadang diberi hanya air. Alasan keluarganya karena tak mampu membeli gula, apalagi susu.

Setelah itu karena kejadian demikian sang petugas kesehatan meminta keluarga kasus untuk dirujuk ke rumah sakit X terdekat. Bahkan sang petugas bersedia membantu keluarga kasus untuk bersama-sama merujuk ke rumah sakit terdekat. Sang keluarga kasus menolak dengan halus dengan berbagai alasan, tak ada biaya, anak masih tidur, tidak ada yang jaga nanti, mau ke kebun dan alasan lainnya. Keesokkan petugas datang lagi untuk meminta sang anak dirujuk agar diberikan perawatan. Dengan menjelaskan akan membantu, bahkan pelayanan kesehatan di daerah X gratis, tanpa biaya. Sang keluarga masih menolak. Petugas memberikan dua opsi, pertama, tetap rujuk, rawat inap. Kedua, rawat jalan dengan pemberian susu.

Berselang kejadian itu, mirisnya media X yang harus menjadi sumber informasi positif bagi masyarakat mulai mencari berita. “Mungkin” tujuan sebagai “lahan” berita. Sang wartawan memandang ini sebagai “kasus” untuk “menggugat” Sang Pimpinan Dinas X terkait. Sang pimpinan kelabakan dengan media, khawatir. Tanpa pandang bulu kinerja petugas atau staf dibawahnya. Marah menjadi jalan solusi. Sang Bupati tahu, marah-marah pada sang kadis. Sang kadis marah lagi pada sang petugas. Sang “pencari berita” juga tak melihat skema diatas, hanya yang penting beritakan bahwa sang petugas tak becus bekerja. Titik. Itu yang diberitakan. Siapakah yang patut disalahkan? Begitulah realita. Kinerja?

Hampir semua kasus yang terjadi identik dalam tiga ranah, gizi sangat kurang, pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua. Semisal dalam beberapa kasus, pendidikan orang tua anak berpendidikan SD, dan pekerjaan orang tua sebagai “petani”. Perlu diketahui ada tiga indikator dalam melihat status gizi balita, diantaranya yang utama BB/U (Berat Badan menurut Umur), PB atau TB/U (Panjang atau Tinggi Badan menurut Umur), dan BB/PB atau TB (Berat Badan menurut Panjang atau Tinggi Badan) ditambah IMT /U (Indeks Massa Tubuh menurut Umur). Empat indikator ini yang akan menjadi rujukan untuk melihat status gizi balita.

Faktor Berpengaruh

Menurut Suhardjo (2003) dalam buku Perencanaan Pangan dan Gizi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi masalah gizi, diantaranya, faktor ekonomi, budaya, dan fisiologi. Pertama, faktor ekonomi, kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya. Kedua, faktor budaya. Faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan, kebiasaan hidup yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Semisal bahan-bahan makanan tertentu oleh sesuatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu. (Suhardjo, 2003).

Ketiga, faktor fisiologi dan infeksi. Faktor fisiologi dalam kebutuhan gizi atau kemampuan dalam metabolisme zat gizi merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam pemanfaatan pangan oleh tubuh. Ibu hamil atau menyusui yang mengalami kurang gizi akan mempengaruhi janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya. Berikutnya antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanismenya.

Keterpaduan Political Will dan Kesadaran Sosial

Realita mendasar, sang petugas kesehatan (sebagai staf) telah berusaha menangani masalah gizi buruk, karena tidak maksimal, sang wartawan meliput sebagai berita, atau sebagai “lahan memungut” sang kadis. Sang kadis takut karena berita dan citra, terhadap berita media. Sang bupati yang baca berita di media marah sang kadis. Sang kadis marah sang petugas. Nestapa bagi sang petugas.

Memandang anggaran dalam kesejahteraan petugas. Anggaran dalam menangani masalah ini masih berbasis dalam satu mata anggaran yakni BOK, Bantuan Operasional Kesehatan. Padahal dalam realita anggaran dalam BOK hanya dibayarkan transportasi petugas. Dan bila kalau desanya kecil maka yang terbayar hanyalah kurang lebih hanya Rp. 20.000-50.000 (untuk petugas puskesmas). Inipun masih untung kalau sang kepala puskesmas tak makan anggaran itu sekian. Bandingkan dengan biaya perjalanan dinas seorang anggota dewan.

Realita kemauan politik mendasar adalah anggaran baik untuk pencegahan dan pemulihan gizi anak tapi juga kesejahteraan petugas. Dalam kemauan politik baik legislatif dan eksekutif, tentu sudah menyadari, bahwa masalah gizi yang tidak kunjung dapat diatasi selama ini mungkin disebabkan oleh rendahnya anggaran atau kurang cermatnya menyusun program gizi. Kita sibuk ketika muncul berita gizi buruk di mana-mana. Program gizi bukan sekedar menghitung berapa jumlah penderita gizi buruk dikalikan sumbangan yang akan dianggarkan. Pembiayaan untuk mengatasi masalah gizi adalah merupakan investasi jangka panjang. Dampak perbaikan gizi tidak akan muncul secara instan. Hilangnya identitas gizi dalam pembangunan harus dicegah yaitu dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Perlu ada komitmen dari eksekutif (Bupati dan Gubernur) dan politisi sehingga pembiayaan program-program pembangunan di bidang gizi mempunyai nilai yang signifikan dan dijamin keberlanjutannya. Program mendasar bukan hanya dalam anggaran seperti BOK tapi perlu penganggaran dalam APBD misalnya, seperti pemulihan gizi buruk, PMT untuk gizi kurang, 2T, BGM, gizi kurus. Atau program mendasar dan membutuhkan anggaran semisal menyediakan susu kotak atau susu sachet atau pengadaan makanan lokal untuk balita (1-5 tahun).

Ditambah kerja-kerja birokrasi dalam perencanaan, serta pelaporan dan administrasi menjadi poin sekunder yang penting. Semisal bila ada anggaran untuk gizi kurang, 2T dan BGM bukan hanya temporal sekali pemberian, langsung selesai, tapi bagaimana mengatur hingga memenuhi HMA (Hari Makan Anak) selama 90 hari untuk PMT-nya. Bagaimana melihat monitoring dan evaluasinya hingga pengukuran antropometri balita untuk indikator status gizinya. Ditambah partisipasi kesadaran masyarakat. Ini sisi pengetahuan dan sosial. Penyuluhan gizi menjadi salah satu lahan. Atau sosialisasi gizi. Sebagai contoh, potret bayi-bayi dari Chili dapat membuktikan pengaruhnya terhadap keberhasilan penyuluhan, potret tersebut menimbulkan berbagai penelitian dilakukan dan dapat meyakinkan masyarakat serta pembuat kebijakan akan akibat dari kekurangan gizi kronis pada bayi. (Suhardjo, 2003).

Selain karena realitas sosial seperti kemiskinan tentu membutuhkan penanganan dinas terkait. Semisal dana bansos untuk keluarga miskin. Dan tentu jaminan kesehatan. Yang paling terpenting pula kesadaran ibu-ibu balita untuk mendatang anak saat penimbangan di posyandu. Ini sebagai deteksi awal dalam pertumbuhan anak.

Semua ini harus berbasis pada kebijakan dan kemauan politik. Menurut Suhardjo (2003), pengetahuan yang paling mutakhir menyatakan bahwa kebijakan pangan dan gizi sangat penting untuk memecahkan masalah gizi kurang dalam jangka panjang.

Ditambah advokasi sebagai lahan memantau dan mengevaluasi kinerja birokrasi. Baik LSM berbasis bidang kesehatan ataupun organisasi profesi, atau organisasi kepemudaan dengan bidang kesehatan.

Tentu semuanya saling keterkaitan, media sebagai pembawa berita “positif” untuk watch dog, pengawas kinerja pemerintah, pengambil kebijakan baik legislatif dan eksekutif sebagai kemauan politik dalam anggaran, dan petugas sebagai pelaksana, dan keinginan partisipasi masyarakat. Kuatnya negara pada gilirannya dibuktikan oleh kuatnya masyarakat sebagai penopang negara itu sendiri. Semua dalam partisipasi yang berbasis kepada kejujuran.

Referensi:

Suhardjo, 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Penerbit Bumi Aksara

Kementerian Kesehatan, 2012. Panduan Penyelenggaraan PMT Pemulihan Bagi Balita Gizi Kurang dan Ibu Hamil KEK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun