Keterpaduan Political Will dan Kesadaran Sosial
Realita mendasar, sang petugas kesehatan (sebagai staf) telah berusaha menangani masalah gizi buruk, karena tidak maksimal, sang wartawan meliput sebagai berita, atau sebagai “lahan memungut” sang kadis. Sang kadis takut karena berita dan citra, terhadap berita media. Sang bupati yang baca berita di media marah sang kadis. Sang kadis marah sang petugas. Nestapa bagi sang petugas.
Memandang anggaran dalam kesejahteraan petugas. Anggaran dalam menangani masalah ini masih berbasis dalam satu mata anggaran yakni BOK, Bantuan Operasional Kesehatan. Padahal dalam realita anggaran dalam BOK hanya dibayarkan transportasi petugas. Dan bila kalau desanya kecil maka yang terbayar hanyalah kurang lebih hanya Rp. 20.000-50.000 (untuk petugas puskesmas). Inipun masih untung kalau sang kepala puskesmas tak makan anggaran itu sekian. Bandingkan dengan biaya perjalanan dinas seorang anggota dewan.
Realita kemauan politik mendasar adalah anggaran baik untuk pencegahan dan pemulihan gizi anak tapi juga kesejahteraan petugas. Dalam kemauan politik baik legislatif dan eksekutif, tentu sudah menyadari, bahwa masalah gizi yang tidak kunjung dapat diatasi selama ini mungkin disebabkan oleh rendahnya anggaran atau kurang cermatnya menyusun program gizi. Kita sibuk ketika muncul berita gizi buruk di mana-mana. Program gizi bukan sekedar menghitung berapa jumlah penderita gizi buruk dikalikan sumbangan yang akan dianggarkan. Pembiayaan untuk mengatasi masalah gizi adalah merupakan investasi jangka panjang. Dampak perbaikan gizi tidak akan muncul secara instan. Hilangnya identitas gizi dalam pembangunan harus dicegah yaitu dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Perlu ada komitmen dari eksekutif (Bupati dan Gubernur) dan politisi sehingga pembiayaan program-program pembangunan di bidang gizi mempunyai nilai yang signifikan dan dijamin keberlanjutannya. Program mendasar bukan hanya dalam anggaran seperti BOK tapi perlu penganggaran dalam APBD misalnya, seperti pemulihan gizi buruk, PMT untuk gizi kurang, 2T, BGM, gizi kurus. Atau program mendasar dan membutuhkan anggaran semisal menyediakan susu kotak atau susu sachet atau pengadaan makanan lokal untuk balita (1-5 tahun).
Ditambah kerja-kerja birokrasi dalam perencanaan, serta pelaporan dan administrasi menjadi poin sekunder yang penting. Semisal bila ada anggaran untuk gizi kurang, 2T dan BGM bukan hanya temporal sekali pemberian, langsung selesai, tapi bagaimana mengatur hingga memenuhi HMA (Hari Makan Anak) selama 90 hari untuk PMT-nya. Bagaimana melihat monitoring dan evaluasinya hingga pengukuran antropometri balita untuk indikator status gizinya. Ditambah partisipasi kesadaran masyarakat. Ini sisi pengetahuan dan sosial. Penyuluhan gizi menjadi salah satu lahan. Atau sosialisasi gizi. Sebagai contoh, potret bayi-bayi dari Chili dapat membuktikan pengaruhnya terhadap keberhasilan penyuluhan, potret tersebut menimbulkan berbagai penelitian dilakukan dan dapat meyakinkan masyarakat serta pembuat kebijakan akan akibat dari kekurangan gizi kronis pada bayi. (Suhardjo, 2003).
Selain karena realitas sosial seperti kemiskinan tentu membutuhkan penanganan dinas terkait. Semisal dana bansos untuk keluarga miskin. Dan tentu jaminan kesehatan. Yang paling terpenting pula kesadaran ibu-ibu balita untuk mendatang anak saat penimbangan di posyandu. Ini sebagai deteksi awal dalam pertumbuhan anak.
Semua ini harus berbasis pada kebijakan dan kemauan politik. Menurut Suhardjo (2003), pengetahuan yang paling mutakhir menyatakan bahwa kebijakan pangan dan gizi sangat penting untuk memecahkan masalah gizi kurang dalam jangka panjang.
Ditambah advokasi sebagai lahan memantau dan mengevaluasi kinerja birokrasi. Baik LSM berbasis bidang kesehatan ataupun organisasi profesi, atau organisasi kepemudaan dengan bidang kesehatan.
Tentu semuanya saling keterkaitan, media sebagai pembawa berita “positif” untuk watch dog, pengawas kinerja pemerintah, pengambil kebijakan baik legislatif dan eksekutif sebagai kemauan politik dalam anggaran, dan petugas sebagai pelaksana, dan keinginan partisipasi masyarakat. Kuatnya negara pada gilirannya dibuktikan oleh kuatnya masyarakat sebagai penopang negara itu sendiri. Semua dalam partisipasi yang berbasis kepada kejujuran.
Referensi:
Suhardjo, 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Penerbit Bumi Aksara