Berikut saya mencoba menguraikan perbedaan antara pendidikan formal dengan pendidikan informal sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan formal memiliki jati diri  sendiri yang bukan sekedar pelengkap, penambah atau pengganti pendidikan formal. Pendidikan nonformal memiliki ciri khas yang unik dan tujuan yang berbeda. Pertama, pendidikan nonformal menekankan fleksibilitas dalam mencapai tujuan pembelajaran. Program-program ini tidak terbatas pada pencapaian gelar formal, melainkan memberikan ruang bagi peserta untuk mengembangkan keterampilan spesifik sesuai kebutuhan mereka sedangkan pendidikan formal mengajarkan semua mata pelajaran yang sudah terstruktur dalam kurikulum satuan pendidikan untuk menamatkan suatu jenjang agar bisa ke jenjang berikutnya.Â
edua, pendidikan nonformal mengakui konsep pembelajaran seumur hidup, memungkinkan individu untuk terus-menerus memperoleh pengetahuan dan keterampilan sepanjang hidup mereka tanpa mengikuti struktur waktu dan kurikulum formal sedangkan pendidikan formal dalam tiap jenjang sudah dibatasi oleh usia tertentu dalam tiap jenjang yang sedang ditempuh. Selain itu, pendidikan nonformal memberikan aksesibilitas yang lebih luas dan inklusif. Program-program ini mampu mencakup kelompok masyarakat yang mungkin tidak dapat mengakses pendidikan formal, seperti orang dewasa yang telah keluar dari sekolah, kelompok etnis minoritas, atau masyarakat pedesaan yang terisolasi sedangkan pendidikan formal hanya dapat diakses oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan administrasi untuk masuk pada sebuah jenjang, dalam suatu kelas tidak ada ketimpangan atau perbedaan signifikann dari segi umur dan latar belakang sosial ekonomi.Â
Selain itu, pendidikan nonformal menunjukkan respons yang lebih cepat terhadap kebutuhan lokal dan global. Program-program ini dapat dirancang untuk secara langsung menanggapi tantangan dan peluang yang ada di masyarakat, tanpa harus terikat pada struktur kurikulum formal yang mungkin tidak sesuai dengan konteks setempat. Pendidikan nonformal berfokus pada kebutuhan masyarakat dengan tujuan pemberdayaan sedangkan pendidikan formal berfokus pada nilai, pencapaian tinggi sesuai standard kurikulum yang disusun satuan pendidikan. Pendidikan formal bisa ada dan hadir di semua wilayah tetapi belum tentu bisa menjangkau dan merangkul semua usia, golongan dan tanggap pada kearifan lokal seperti yang dilakukan oleh pendidikan nonformal.
Dari penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal terpisah dari pendidikan nonformal. Keduanya berdiri dengan tujuan dan sifat yang berbeda. Tanpa pendidikan formal, pendidikan informal mampu mencapai tujuannya. Saya beri contoh di Kecamatan Siberut Selaran, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, angka buta aksara dan angka putus sekolah sangat tinggi tetapi lembaga pendidikan formal dan nonformal di sana cukup banyak. Untuk pendidikan nonformal sudah disediakan oleh pemerintah PKBM dan Lembaga Pelatihan Keterampilan dan Kursus oleh Kementerian Ketenagakerjaan.Â
Faktanya keberadaan Lembaga nonformal tersebut tidak berfungsi sama sekali karena Masyarakat tidak menyadari dan tidak disadarkan bahwa Lembaga tersebut juga merupakan Lembaga pendidikan. Justru yang lebih menjawab kebutuhan masyarakat di sana adalah kehadiran NGO atau LSM dengan program-program pemberdayaan untuk pertanian, pendampingan nelayan, kepemudaan, dan pendidikan yang mengadopsi bahasa daerah, sumber daya alam di sana dan memanfaatkan potensi lokal sehingga masyarakat bahagia melaksanakan pembelajaran/pelatihan keterampilan dan kedepannya mampu memberdayakan yang lainnya. Yang dilakukan oleh NGO atau LSM tersebut merupakan pendidikan nonformal.Â
Bukan soal berapa Lembaga pendidikan nonformal oleh pemerintah yang sudah ada, tetapi siapa saja bisa menjadi pelaku pendidikan nonformal untuk tujuan inklusifitas  pendidikan. Maka jelas bahwa tantangan pertama yang harus dieksekusi oleh pendidikan nonformal adalah penyadaran dengan meleburkan diri supaya kita paham apa yang dirasakan, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lalu membuat suatu tindakan atau program.
Teori Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan nonformal yang melebihi peran sebagai pelengkap, penambah, atau pengganti pendidikan formal. Freire mengembangkan konsep pendidikan pembebasan (education for liberation) yang menekankan pentingnya memberdayakan individu yang tertindas untuk memahami dan mengatasi realitas sosial mereka.Â
Pertama, teori Freire menekankan pemberdayaan dan kesadaran kritis sebagai elemen utama pendidikan pembebasan. Dalam konteks pendidikan nonformal, ini berarti memberdayakan individu dari kelompok tertindas dengan memberikan akses untuk mengembangkan pemahaman kritis terhadap realitas sosial dan ekonomi yang mereka hadapi. Kedua, partisipasi aktif dan dialog dianggap sebagai elemen kunci oleh Freire. Proses pendidikan nonformal, sejalan dengan teori ini, mendorong partisipasi aktif dan pembelajaran berbasis dialog, di mana peserta dapat berkontribusi pada proses pembelajaran dan membahas isu-isu yang relevan dengan pengalaman mereka. Selanjutnya, teori Freire mengkritik struktur hierarki dalam pendidikan dan mendorong terbentuknya hubungan yang lebih demokratis antara pendidik dan peserta didik. Dalam pendidikan nonformal, hal ini tercermin dalam upaya menciptakan hubungan yang lebih horizontal dan kolaboratif antara fasilitator dan peserta, di mana pengetahuan dan pengalaman bersifat saling menguntungkan.Â
Freire juga menyoroti pentingnya memahami dan merespons konteks lokal dan realitas hidup peserta didik. Pendekatan ini sesuai dengan pendidikan nonformal, yang dapat merespons kebutuhan lokal dan mengakomodasi realitas hidup peserta dengan menyediakan program yang relevan dan bermakna sesuai dengan kebutuhan dan tantangan masyarakat tertentu. Terakhir, teori Freire menekankan bahwa pendidikan seharusnya mendorong tindakan konkret untuk perubahan sosial dan keadilan. Pendekatan ini diterjemahkan ke dalam pendidikan nonformal dengan memberikan kesempatan untuk pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang dapat membantu individu dari kelompok tertindas untuk berkontribusi pada perubahan sosial, seperti melalui program pelatihan keterampilan atau proyek pengembangan masyarakat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip teori Freire dalam konteks pendidikan nonformal, menciptakan lingkungan pendidikan yang memberdayakan individu, meningkatkan kesadaran kritis mereka terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan, serta merangsang partisipasi aktif dalam perubahan sosial. Dengan demikian, pendidikan nonformal menjadi lebih dari sekadar pelengkap, penambah, atau pengganti pendidikan formal, melainkan alat untuk membebaskan dan memberdayakan mereka yang tertindas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H