Mohon tunggu...
mr.x
mr.x Mohon Tunggu... Freelancer - -

Blogspot resmi: https://mrxkomp.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengaruh Work From Home Secara Sosial

10 Juni 2020   07:44 Diperbarui: 10 Juni 2020   07:41 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Work From Home atau Bekerja di dalam rumah atau Remote Work( dalam katakana) merupakan sistem yang membuat seseorang bekerja di dalam rumah. Masa Work From Home di Indonesia memang dikenal dengan sebutan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB yang berawal 19 Maret 2020 dan untuk Jakarta sendiri berakhir pada 22 Mei tahun 2020. Pemerintah sendiri akan menjalankan kebijakan pemulihan pasca COVID-19(Corona-Virus Disease-2019) pada 1 Juni 2020, dengan mal mulai boleh dibuka namun masih dengan standar kesehatan yang ketat.

Masa PSBB yang secara umumnya merupakan masa pandemi COVID-19 atau disebut penulis sebagai PVK-19(Penyakit Virus Korona-2019) ini tentu meninggalkan banyak perubahan dalam interaksi. Di dalam artikel ini penulis akan membahas perubahan interaksi atau perubahan sosial yang terjadi di Indonesia dengan perubahan gaya salamnya, Jepang dan Tiongkok dengan peningkatan kasus perceraian, serta Amerika dengan kasus Sinophobia mereka selama Masa COVID-19 atau Work From Home ini.

Pembahasan terhadap Indonesia dimulai bagian ini dengan berita mengenai Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia pada masa jabatan 2019-2024 melakukan salam sikut dan menolak jabatan tangan dalam acara pelantikan pejabat eselon II dan III di Lingkungan Kementerian Keuangan. "Saya seharusnya kalau batuk tidak di ruangan seperti ini, mohon maaf. Nanti kita nggak pake salam-salaman ya, mohon maaf. Ini bentuk supaya tidak terjadi adanya penyebaran virus," kata Sri Mulyani di Gedung Djuanda I Kemenkeu pada Senin, 9 Maret 2020.

Kasus diatas merupakan contoh perubahan budaya yang terjadi pada masa Work From Home yang dilakukan sekarang karena pandemi COVID-19. Salah satunya adalah dengan membuyarnya budaya salaman dikarenakan ketakutan terhadap virus COVID-19. Ini hanya satu dari sekian contoh dari apa yang berubah selama masa COVID-19 dan Work From Home sebagai akibat dari kemunculan virus ini.

Salam menggunakan sikut memang sekarang menjadi sebuah cara baru dalam bersalam. Bukan hanya dengan melakukan salam sikut saja. Berbagai cara menyalam yang dipakai selain dari salam sikut adalah: Salam "Namaste", Salam dengan melambaikan tangan, salam dengan menaruh tangan kanan di dada kiri(sebagai salam hati), dan salam-salam lainnya. Hal ini dilakukan karena kontak langsung akan membuat virus dapat menyebar dengan mudah.

Hal ini secara teoritis tentu membuat sebuah ambiguitas dalam tata krama, selama ini masyarakat dibangun dengan tata krama yang mengharuskan masyarakat harus bersalaman ketika menyapa seseorang. Salah satu bagian dari tata krama tersebut mewajibkan seorang individu untuk "bersalim" pada lawan bicaranya yang lebih tua, yang mengharuskan individu membungkukkan badan dan menaruh tangan lawan bersalam masyarakat di kening kita.

Menjabat tangan dan menaruh kening di punggung tangan lawan bicara adalah hal yang tidak bisa dilakukan untuk sementara waktu dalam keadaan sekarang. Memang disatu sisi ini memberikan kesan kalau orang tersebut sedang menjadi orang yang tidak sopan terhadap lawan bicaranya, namun jika merekatetap bersikukuh untuk melakukan salam berjabat tangan dan "salim", mereka bisa saja terjangkit COVID-19 dan menyebarkannya kepada orang lain.

Jepang dan Tiongkok memiliki sebuah tren bernama Corona Divorce sebagai akibat dari Work From Home. Dilansir dari JapanToday, Tagar #CoronaDivorce(atau # (Romaji: Korona Rikon)) sempat menjadi sebuah tagar yang ramai dipakai di Jepang pada April 2020. Perceraian di Jepang meningkat drastis ketika masa pandemi Korona terjadi, apalagi didukung dengan fakta kalau Orang Jepang lebih mendahulukan kebahagiaan mereka dibandingkan dengan hubungan pernikahan mereka.

Peneliti di Jepang yang meneliti tentang perceraian, Atsuko Okano mengatakan bahwa hubungan yang stabil pada fase sebelumnya dapat berkembang ke arah yang tidak pernah diduga ketika sedang terjadi sebuah masalah sosial. Emilia Mustary dalam artikelnya yang berjudul Pandemi Global COVID-19 dan Ketahanan Keluarga menyatakan bahwa keadaan perubahan masyarakat dari mobilitas tinggi ke hanya dirumah saja ini tentunya menuntut penyesuaian yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan.

Dari urusan pekerjaan yang dilakukan di rumah, urusan pendidikan yang sebelumnya didelegasikan ke sekolah menjadi urusan orangtua kembali, urusan domestik rumah tangga, bahkan urusan interaksi dengan anggota keluarga yang semakin intens.

Dagun(2002) dalam bukunya yang berjudul "Psikologi Keluarga" mengatakan jika keseringan kontak antara orangtua dan anak tidaklah menjadi ukuran dan jaminan keharmonisan keluarga, tetapi apa yang menjadi aktivitas dan bagaimana anggota keluarga tersebut menjalankan aktivitasnya. Kalimat ini memberikan sedikit gambaran kenapa Corona Divorce di Jepang dan di Tiongkok bisa dikatakan cukup tinggi, sampai-sampai sebuah salah satu kantor di Tiongkok membatasi angka perceraian tersebut.

Corona Divorce merupakan hasil dari pertengkaran yang sering terjadi sebagai bentuk interaksi beberapa masyarakat setempat selama Work From Home terjadi. Alasan mereka bercerai ada berbagai macam, entah karena rasa tidak suka antar pasangan, entah karena masalah "waktu privasi", dan berbagai macam masalah lainnya. Bahkan ada yang mengatakan kalau mereka kerepotan mengurus anak ataupun ada pandangan umum bagi pria di Jepang kalau wanita itu adalah budak namun, wanita disana tidak menerima hal itu dengan mudah.

Hal ini tidak jauh dari perbedaan cara pandang dari masing-masing individu. Ada yang menganggap kalau wanita ada untuk dapur, sumur, dan kasur namun, para wanita (terutama di Jepang) menganggap kalau mereka tidak serendah itu.  

Mustary(2020) mengatakan, "kurang efektifnya komunikasi yang terjalin antar anggota keluarga akan membuat mengedepankan ego masing-masing sehingga hilanglah kesempatan untuk mencari solusi bersama serta penetapan tujuan perjalanan secara bersama pula." Ego mereka tentunya didasari dengan prespektif atau cara mereka memandang masalah tersebut dan juga akan menentukan cara mereka menyelesaikan masalah dengan cara yang mereka suka(dalam konteks ini adalah bercerai).

Hal ini sependapat dengan Hoebel dalam Samovar(2007:119) yang menyatakan, "Dalam memilih kebiasaan hidup sehari-hari, bahkan dalam hal terkecil sekalipun, masyarakat akan memilih cara yang sesuai dengan pemikiran dan kesukaannya -- cara yang sesuai dengan aturan dasar sesuatu serta apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan.

Banyak orang Amerika keturunan Asia(atau selanjutnya disebut Asian-American) di Amerika mengalami isu penyerangan, ujaran kebencian, dan kekerasan berbasis ras. Pada masa Work From Home banyak terjadi stigmasi terhadap kelompok Asian-American.  Salah satu berita di ABC menyatakan kalau sekarang banyak orang Asian-American yang membeli senjata  api di toko-toko terdekat, salah satu penjual disana mengakui jika jumlah penjualan senjata mereka hampir dua kali lipat dari biasanya.

Annika Stechemesser dan kelompoknya dalam artikel mereka yang berjudul "Corona crisis fuels racially profiled hate in social media networks" menemukan fakta yang cukup mengejutkan mengenai ujaran kebencian di Twitter. Mereka menemukan Sinophobe Tweets(Cuitan Twitter yang bersifat menyerang China) ada sekitar 10000 cuitan di akhir Januari dalam database mereka, sempat mendingin di bulan Febuari.

Ujaran kebencian terhadap Tiongkok di twiiter meningkat kembali dengan tajam pada akhir Februari sebagai akibat dari pernyataan WHO yang menyatakan COVID-19 sebagai sebuah pandemi. Jumlah cuitan itu meningkat sekitar lebih dari 1000% begitu masuk ke bulan Maret dan pada akhir Maret tercatat ada sekitar 2500 cuitan per hari yang tercuit di twitter. Cuitan-cuitan ini biasanya menyerang bagaimana orang Tiongkok makan, bagaimana standar kebersihan mereka, dan budaya mereka secara umum.

Cuitan-cuitan tersebut memberikan kesan kalau masyarakat di dunia ini menyalahkan Tiongkok atas terjadinya Pandemi COVID-19. Hal ini berimbas pada banyaknya kasus kekerasan, diskriminasi, dan kebencian terhadap Asian-American. Kasus kebencian terhadap Asian-American juga meningkat dan ada 14 kasus kebencian yang terhubung dengan COVID-19 yang memakan korban 15 orang Asian-American dan sudah ada 11 penahanan terhadap kasus tersebut menurut data dari NYPD yang dilansir ABC7NY.

Prasangka dan kesan mengkambing hitamkan Tiongkok yang berimbas pada meningkatnya kasus kekerasan terhadap Asian-American di Amerika itu memang dilatarbelakangi dengan dipilihnya Asian-American sebagai kambing hitam di dalam kasus ini. Dalam bentuk kebencian di twitter, kasus kekerasan terhadap Asian-American, hingga ada satu video di ABC News yang membahas kekerasan dan diskriminasi di tengah COVID-19.  Bahkan Donald Trump sempat mengatakan kalau COVID-19 adalah "Chinese Virus". Akan menjadi sangat mudah untuk menyalahkan kelompok Asian-American mengingat mereka adalah minoritas dan fakta menunjukkan COVID-19 berasal dari Tiongkok.

Jika ditelaah dari penelitian Allport dalam Samovar(2007:208-210) aktivitas prasangka berbasis rasisme terhadap Asian-American ini memenuhi beberapa pernyataan uyang ada di dalamnya. Pernyataan pertama yang berujung pada antilokusi dalam wujud cuitan yang diskriminatif terhadap kelompok Asian-American. Pernyataan kedua yang memang berujung pada aktivitas menghindari ada dalam wujudkosongnya beberapa bisnis Asian-American.

Pernyataan ketiga yang berujung pada diskriminasi dalam wujud kasus Walter Reed Middle School yang terlihat dengan jelas kalau guru di kelas dari si korban menyuruh dia ke ruangan UKS hanya karena tersedak air dan masih banyak kasus diskriminasi yang belum diketahui. Pernyataan keempat dalam bentuk kasus kekerasan yang terjadi pada Asian-American di seluruh Amerika, ada yang disemprot, dikeroyok, bahkan dihina setiap harinya. Namun, masih belum menuju ke pernyataan kelima yang berujung pada pembasmian karena Asian-American masih bisa beraktivitas dengan normal.

Masa Work From Home atau COVID-19 pada akhirnya tentunya menghasilkan banyak perubahan yang mengubah orang dengan cara berinteraksi mereka. Untuk memperjelas apa yang ditulis selama ini perubahan interaksi yang terjadi di Indonesia adalah dengan bentuk perubahan gaya bersalaman, Jepang dan China dengan perceraian mereka sebagai akibat dari interaksi mereka yang dipenuhi dengan pertengkaran dan ego mereka ketika Work From Home, dan Amerika dengan kasus-kasus kekerasan, kebencian, dan diskriminasi mereka yang sekarang

Daftar Pustaka

Buku:
Samovar, Larry A., Richard E. Porter & Edwin McDaniel, (2007). Communication Between Culture. Australia, Brazil, Canada: Thomson-Wadsworth
Abdullah, Muhammad Q. dkk, (2020). Coronalogy: Varian Analisis & Konstruksi Opini . Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press

Jurnal:
Arnout, Boshra A. dkk, (2020). The Effects of Corona Virus (COVID-19) Outbreak on the Individuals' Mental Health and on the Decision Makers: A Comparative Epidemiological Study. International Journal of Medical Research & Health Sciences
Stechemesser, Annika. Leonie W., dan Anders L. (2020) Corona crisis fuels racially profiled hate in social media networks, EClinicalMedicine

Internet:
CNBC (Diakses pada 11 Mei 2020)

Japantoday (Diakses pada 12 Mei 2020)

Artikel 1 (Diakses pada 12 Mei 2020)

Artikel 2 (Diakses pada 12 Mei 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun