Mohon tunggu...
Syifa Fauziah
Syifa Fauziah Mohon Tunggu... Tutor - Blog Pribadi

Pembina Komunitas Keluarga Kita, Pendiri Bimbingan Belajar dan Taman Baca Generasi Inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Pesan untuk Pelakor

26 Mei 2020   11:58 Diperbarui: 26 Mei 2020   11:55 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia terduduk kikuk di ruang tamu. Disampingnya sang suami tenang mendampingi. Sedangkan di hadapannya dua orang yang harus ia sebut paman dan bibi duduk sama kikuknya dengannya.


"Nenek sudah 40 hari lalu meninggal.." Suara pamannya memulai percakapan.
"Maaf ga ada yang kabarin" Bibi menambahkan.
Mereka adalah kedua orang adik dari orang yang harus ia sebut, Ayah.
"Ayah jadi ga kesini?"
Ia berusaha mempersingkat urusan. Karena memang sesuai janjinya, ia hanya ingin bertemu ayah dan neneknya. Meski, keduanya tak pernah menganggap ia ada.
"Ga, tadi udah video call aja. Katanya lagi lock down"

Ia menatap suaminya, memberi kode untuk segera mengajaknya pulang.
"Ibu kamu masih suka bikin kue papais?" Sang paman berusaha menahannya.
"Masih, kadang"
"Dulu, ibu sering bawakan kue kesini. Dan Ayah kalau sedang disini, pasti langsung ingin pulang ke tempatmu".
Nada, gaya, dan mimik orang itu berbicara sempurna membuat perempuan muda itu ingin membuka pintu kemana saja milik Doraemon atau memakai jubah ajaib milik Harry Potter. Ia tak ingin mendengar apapun tentang masa lalu yang terjadi antara keluarga itu dengan ibunya. Ia kesini hanya untuk berdamai dengan masa lalunya. Tidak lebih.
Kalimat yang ia dengar barusan, justru membuat hatinya berderak kembali. Seolah, pulangnya sang Ayah bersama lagi dengannya dan ibunya adalah sebuah kesalahan bagi keluarga ini.

Sekilas, ia memperhatikan gerakan lembut dari sang bibi.
"Sudah lah a, jangan bahas masa lalu. Si Eneng ga tahu apa-apa". Bisik si bibi ke kakaknya.

Omongkosong.  Tentu saja perempuan itu tahu. Ia tahu bagaiman rupa puluhan tahun hidup tanpa ayah. Menjadi yatim sebelum sang ayah meninggal dunia. Ia juga ingat bagaimana saat ia pernah ditolak keluarga lain menjadi menantu karena tak jelas kemana rimbanya si ayah berada. Dan tentu saja ia juga tahu bagaimana mereka semua tak peduli dengan hidupnya. Lapar dan kenyangnya, terik dan hujannya, tawa dan tangisnya. 

"Nenek sakit, mang?" Affifa, perempuan itu mencoba pembicaraan lain.
"Udah tua aja, ga sakit"
"Mamang mau main ke rumahmu, tapi suka lupa jalannya". Ia menambahkan dengan wajah ceria.  

Pantas berpuluh tahun ia tak dijenguk. Ternyata mereka ga tahu cara pakai googlemap. Umpatnya.

"Mang,Bi kami pamit. Maaf ga bisa lama-lama, karena masih ada janji yang lain" Sang suami menyelamatkan suasana. Sebelum suasana Iedul Fitri berubah jadi pertempuran berdarah di hati istrinya.

*  * *

"Kamu baik-baik saja, Bin?" Sang suami bertanya setibanya di kendaraan.
"Aku pikir, aku telah sembuh. Aku pikir, aku sudah bisa memaafkan mereka. Aku pikir, aku sudah lupa dengan apa yang mereka lakukan. Tapi ternyata, dadaku masih sesak. Setiap kalimat yang mereka ucapkan justru mengingatkanku pada hari-hari berat puluhan tahun yang lalu"
"Kamu sudah berusaha, Bin... Setidaknya, mereka juga menerima kita dengan baik."
"Ya, CUKUP baik. Tapi apa akan tetap seperti itu kalau kita kesana dengan berjalan kaki?" Affifa mulai kehilangan kendali. Ia ingat, gadis kecil berpanas-panasan di depan sebuah gedung pabrik berjam-jam. Menunggu seseorang yang disebut Ayah keluar untuk menemuinya hanya beberapa menit. Ingatan lain seperti rekaman film butut juga melintas. Saat seorang perempuan membawa seorang anak laki-laki datang ke rumahnya, memperingatkan gadis itu untuk tak mendekati suaminya. Karena si suami sudah punya keluarga baru. Padahal si gadis kecil hanya menuntut apa yang harusnya juga menjadi miliknya.
"Jangan ajak aku kesana lagi. Jangan nasihati aku soal berbakti kepada mereka di saat lebaran. Baktiku aku cukupkan diatas sajadah. Mendoakan mereka. Sampai aku siap bertemu mereka kembali!"
"Iya.." Lelaki itu mengelus lembut punggung sang istri yang sedang tergugu. 

Ia tahu, ini berat. Setahun lalu, ia mencoba mengajak istrinya kesini. Tapi Affifa enggan. Di benak istrinya, keluarga ini memiliki andil besar saat ayahnya menikah lagi dan keluarga ini tak memberikan dukungan sedikitpun pada ibunya. Dan yang paling membekas bagi istrinya adalah jarak dari rumah keluarga ayah ke rumahnya tidak lah jauh. Kesimpulan yang berakar di benak istrinya adalah ia bukan cucu yang diharapkan.

Dan ia tahu, Affifa berusaha keras mempersiapkan hari ini. Ia berjanji akan datang di lebaran kali ini. Meski Ia melihat 10 hari terakhir sebelum Iedul Fitri, sang istri sering mimpi buruk. Terbangun dengan wajah sembab dan berurai air mata. Ia tak pernah tahu, seberapa dalam luka itu ada dalam jiwa istrinya, tapi ia sadar, kewajibannya lah untuk membantu sang istri sembuh dari luka masa lalu itu.

* *  *


Selepas salam, Affifa kembali tergugu di hadapan Rabbnya. Ia memilih menggelar sajadah. Mengadu kepada Sang Pemilik Hati. Padahal ia ingin sekali bertemu Ayah dan ibu sambungnya. Tapi jangankan bertemu ibu sambung, sekedar merasa baik-baik saja setelah bertemu keluarga besar ayahnya saja, ia tak sanggup.

"Rabb, jauhkan hidup kami dari kejahatan makhlukMu. Jauhkan hati kami dari rasa dendam dan dengki. Izinkan kami memiliki istana yang Engkau janjikan untuk mereka yang pemaaf. Aamiin" Sepotong doa yang ia panjatkan.

"Aku tahu,Bin.. ini berat untukmu. Tapi, aku yakin kamu bisa belajar dari kehidupan mereka."
"Ya, aku tahu aku bisa belajar apa dari mereka.  Kalau mau jadi pelakor harus mikir sepanjang jarak matahari ke bumi ke matahari lagi." Ucap Affifa mulai bercanda.
"Kok?"
"Sekali jadi pelakor, resiko dibenci seumur hidup harus ditanggung. Menjadi pelakor bukan hanya menghancurkan orang lain, tetapi juga diri sendiri"
"Sssttt, ga boleh gitu. Becandamu ga lucu"
"Aku baru ngeh, ada efek jangka panjang saat seseorang menjadi perusak sebuah keluarga. Bukan hanya untuk anak yang orangtuanya direbut, tapi juga untuk anak dan keturunan yang ia lahirkan bersama orang yang ia rebut"
"Lebih jelasnya?"
"Cap anak pelakor itu akan ada seumur hidup"
"Apa itu adil?"
"Untuk anaknya sih ga adil menurutku. Tapi mengingat fakta sang pelakor menghancurkan banyak jiwa dan sebagai pelajaran bahwa perempuan harus berhati-hati sebelum jatuh hati sih, menurutku cukup fair."
Mereka terdiam.
"Aku tahu, jiwamu akan sembuh, Bin.."
"Sampai kapan?"
"Secepat yang kamu mau."

Tangerang, 3 Syawal 1441 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun