Selepas salam, Affifa kembali tergugu di hadapan Rabbnya. Ia memilih menggelar sajadah. Mengadu kepada Sang Pemilik Hati. Padahal ia ingin sekali bertemu Ayah dan ibu sambungnya. Tapi jangankan bertemu ibu sambung, sekedar merasa baik-baik saja setelah bertemu keluarga besar ayahnya saja, ia tak sanggup.
"Rabb, jauhkan hidup kami dari kejahatan makhlukMu. Jauhkan hati kami dari rasa dendam dan dengki. Izinkan kami memiliki istana yang Engkau janjikan untuk mereka yang pemaaf. Aamiin" Sepotong doa yang ia panjatkan.
"Aku tahu,Bin.. ini berat untukmu. Tapi, aku yakin kamu bisa belajar dari kehidupan mereka."
"Ya, aku tahu aku bisa belajar apa dari mereka. Â Kalau mau jadi pelakor harus mikir sepanjang jarak matahari ke bumi ke matahari lagi." Ucap Affifa mulai bercanda.
"Kok?"
"Sekali jadi pelakor, resiko dibenci seumur hidup harus ditanggung. Menjadi pelakor bukan hanya menghancurkan orang lain, tetapi juga diri sendiri"
"Sssttt, ga boleh gitu. Becandamu ga lucu"
"Aku baru ngeh, ada efek jangka panjang saat seseorang menjadi perusak sebuah keluarga. Bukan hanya untuk anak yang orangtuanya direbut, tapi juga untuk anak dan keturunan yang ia lahirkan bersama orang yang ia rebut"
"Lebih jelasnya?"
"Cap anak pelakor itu akan ada seumur hidup"
"Apa itu adil?"
"Untuk anaknya sih ga adil menurutku. Tapi mengingat fakta sang pelakor menghancurkan banyak jiwa dan sebagai pelajaran bahwa perempuan harus berhati-hati sebelum jatuh hati sih, menurutku cukup fair."
Mereka terdiam.
"Aku tahu, jiwamu akan sembuh, Bin.."
"Sampai kapan?"
"Secepat yang kamu mau."
Tangerang, 3 Syawal 1441 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H