MENGUKUR BAJU
Seorang wanita berkata pada suaminya "Ayah kok gak kayak suaminya si Fulan. Dia sayang banget lho sama istrinya. Kemana istrinya pergi selalu dianterin. Romantis banget lho mereka." Sang suami hanya tersenyum dan menjawab "lho kok mamah tidak menikah saja dengan dia?'. Si wanita tersenyum kecut sembari mendongkol mendengar jawaban suaminya.
Pada lain kesempatan si Wanita berkata lain lagi tentang si Fulan. "Bagaimana sih itu suaminya, si Fulan berbuat ini-ini bla bla.... Kok suaminya diam saja. Bagaimana sih jadi orang, gak bisa banget ngatur istri." Lagi-lagi suami si Wanita tersenyum. Bagaimana tidak, hanya beda hari istrinya berpandangan 180 derajat dengan awalnya akan si Fulan dan suaminya.
Kisah di atas banyak saya dengar dari teman dan orang-orang. Kalau kita cermati sesungguhnya apa yang nampak di mata kita belum tentu hal sebenarnya. Seringkali kita melihat kehidupan orang lain begitu tampak harmonis, bahagia, dan sempurna. Sampai terkadang kita iri dengan kondisi mereka. Kita berharap bisa sama seperti mereka.
Namun jangan salah, orang lain yang kita kagumi tersebut justru berpikir sebaliknya. Kehidupan mereka jauh lebih menderita daripada kelihatannya. Mereka malah iri dengan kehidupan kita, padahal kita beranggapan kalau kehidupan mereka jauh lebih baik dan sempurna. Kita iri dengan kehidupan mereka, tetapi mereka malah mengagumi kehidupan kita.
Pepatah Jawa mengatakan "Wang sinawang". Pepatah Indonesia menyatakan "Jangan mengukur baju orang lain di badan sendiri". Kita tidak tahu ukuran kebahagian orang lain, sebaliknya juga dengan orang lain. Naluri dasar kita adalah memperbandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan kita.
Maka seringkali kita menjadi "sakit" karena hanya memandang kebahagian, kesuksesan, kesempurnaan orang lain dengan keterbatasan kita sendiri. Kita memandang kebun orang lain sangat hijau dan subur, sementara kebun kita sendiri selalu dipandang kering dan tandus. Terlebih kita melakukan cherry picking, menyampaikan potongan-potongan fakta untuk mendukung pendapat atau opini seseorang, tanpa memberikan keseluruhan informasi yang terkait pada fakta tersebut.
Dahulu banyak keluarga yang mendambakan kehidupan seperti sepasang suami istri yang keduanya berprofesi sebagai penyanyi papan atas Indonesia. Keduanya terlihat sempurna dan sangat bahagia. Tak segan mereka mengumbar keromantisan di depan umum. Si suami menciptakan lagu-lagu romantis, yang dinyanyikan dengan sangat indah oleh istrinya. Tak jarang juga mereka berduet.
Namun perjalanan hidup berkata lain. Prahara rumah tangga datang menerpa. Kehidupan perkawinan sepasang suami istri tersebut berakhir di pengadilan agama. Keduanya sepakat bercerai, dan sekarang telah kembali berbahagia dengan pasangan barunya masing-masing.
Tidak semua kehidupan orang lain yang tampak adalah sesuatu yang sebenarnya. Banyak orang menyembunyikan kesedihan, kepedihan, kesengsaraannya di muka umum. Mereka senantiasa menampakan raut bahagia, kehidupan yang harmonis di depan khalayak. Dan celakanya yang kita lihat adalah "halaman depan" mereka bukan "dapurnya".