Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Langkah Pertama

19 Januari 2023   10:43 Diperbarui: 19 Januari 2023   10:55 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan ini aktivitas kami sedikit bergeser dan berubah bentuk. Kalau sebelumnya waktu libur atau selepas kerja masih bisa digunakan untuk jalan-jalan naik motor atau bepergian bersama keluarga, sekarang momen-momen tersebut agak berkurang frekuensinya. Sekarang ini waktu senggang yang ada lebih banyak untuk mengantarkan dan menemani anak bungsu bermain dan berlatih inline skate (sepatu roda) di klubnya. Kebetulan di deket rumah ada track sepatu roda sekaligus klub untuk tempat anak-anak berlatih.

Dalam seminggu, ada empat kali jadwal latihan (Selasa, Jumat, Sabtu, Minggu) si bungsu berlatih sepatu roda. Sekali berlatih memakan waktu 4 (empat) jam, dari jam 4 sore hingga 8 malam. Selama empat jam biasanya kami para orang tua menunggu di tribun atau pinggir lapangan sembari memberikan semangat pada anak-anak yang berlatih.

Sampai pada suatu titik dalam rutinitas baru tersebut saya berpikir, sepertinya bermain sepatu roda asyik juga, kelihatan gampang. Padahal selama ini saya melihat banyak juga anak-anak yang jatuh ketika sedang berlatih dengan kecepatan yang lumayan, banyak yang menangis menahan sakit. Bagaimana kalau saya jatuh, patah tulang, dan sakit? Maklum namanya tulang sudah tua, bukan muda lagi mengingat kepala empat usianya.

Meskipun banyak pertimbangan jikalau jatuh dan celaka serta faktor usia, pada akhirnya saya memutuskan untuk membeli sebuah sepatu roda dari sebuah toko online. Tiga faktor utama yang menjadi pertimbangan adalah: pertama, dahulu pernah bisa bermain saat masih muda meskipun sepatu rodanya bukan jenis inline skate, sehingga mestinya bisa lebih cepat menguasai. 

Kedua, selama periode empat jam menunggu anak berlatih, lebih baik dimanfaatkan untuk berolahraga dan pilihan yang masuk akal adalah sepatu roda. Ketiga, menyemangati anak agar giat berlatih dan memunculkan jiwa kompetisi. Kalau ayahnya saja bisa dan berani mengajak balapan masa anak saya tidak tertantang dan semangat berlatih.

Singkat cerita, sepatu roda tersebut datang dan kemudian saya berusaha menjinakkannya. Awal-awal saya coba berlatih di dalam rumah bermodal melihat latihan si Bungsu serta melihat video-video Latihan untuk pemula di youtube. Ketika berlatih di rumah, seringkali si Bungsu ikut-ikutan pakai sepatu roda dan kasih instruksi sana sini kayak pelatih. Ketika saat senggang saya ajak si Bungsu untuk bermain sepatu roda di track tempat dia berlatih, saat tidak ada jadwal Latihan.

Walhasil butuh dua minggu untuk bisa meluncur memakai inline skate dengan predikat lumayan. Terjatuh dan ditertawakan anak, "diejek" oleh karena gerakannya yang tidak bener seperti "penguin" kata anak saya, menjadi menu sehari-hari ketika berlatih bareng si Bungsu. 

Sebuah proses yang saya nikmati karena berdampak baik buat saya dan si Bungsu. Memang berat pada awalnya mau bermain sepatu roda menemani anak, banyak pertimbangan, namun ketika sudah memutuskan dan menceburkan diri pada akhirnya bisa berjalan juga.

Sejenak memori saya berputar pada satu dasawarsa lalu. Ketika itu baru sekitar lima tahunan bekerja di perusahaan tempat saya bekerja saat ini. Pada saat itu saya berkeingan atau bercita-cita nanti di umur 36 tahun akan punya usaha sendiri dan tidak bekerja pada perusahaan atau orang lain.

Namun sudah tujuh tahun dari usia 36 tahun, saya masih berada di perusahaan yang sama dan belum juga memulai apalagi mempunyai usaha sendiri. Ternyata dalam perjalanan satu dasawarsa tersebut banyak dinamika dan pertimbangan yang menyebabkan saya tidak berani melangkahkan kaki pertama kalinya menuju apa yang diinginkan.

Walhasil sampai hari ini cita-cita menjadi pengusaha di umur 36 tahun sudah terkubur dengan waktu dan mereorientasi ulang dengan harapan akan pencapaian-pencapaian yang diinginkan lainnya. Saya anggap ini bagian episode hidup yang harus dijalani karena tidak berani melangkah menuju cita-cita semula. Padahal seandainya melangkah bisa saja saya gagal, ataupun sukses menjadi seorang usahawan.

Mungkin perbandingan dari kedua cerita diatas yaitu  tentang keberhasilan bermain sepatu roda, dan kegagalan menjadi pengusaha di usia 36 tahun  tidak terlalu setara atau apple to apple. Namun poinnya selalu sama, kita berbicara tentang "Langkah Pertama" yang selalu berat dijalankan dan seringkali tidak satupun Langkah yang terjadi. "Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah" begitu kata Lao Tse, seorang filosof Cina yang mashyur. Dan kunci dari perjalanan mencapai tujuan adalah langkah pertama.

Jadi nasehat saya untuk diri sendiri dan orang lain, apabila kita punya niat baik, apa yang menjadi keinginan atau cita-cita kita adalah sesuatu yang baik,benar, terhormat, mulia maka segera melangkahlah sebelum kegelisahan, kebimbangan, ketakutan, dan kemalasan datang menjelang. Gagal itu biasa, namun saat sudah melangkah kita akan punya seribu cara untuk bangkit dari kegagalan.

Saya contohkan beratnya langkah pertama. Sholat berjamaah di Masjid menjadi suatu keutamaan bagi seorang muslim apalagi sholat Subuh. Seringkali ketika panggilan adzan berlangsung, kita malas bergerak, lebih suka di kasur di bawah selimut. Sekali kita melangkah turun dari tempat tidur, mengambil air membasuh muka dan berwudlu, seketika kita sudah memecahkan beratnya langkah pertama. 

Selanjutnya langkah berikutnya menuju ke Masjid baik naik motor, mobil atau berjalan kaki menjadi lebih mudah.

Hidup dan kehidupan kita selalu dipenuhi oleh harapan, keinginan, cita-cita dan tujuan hidup itu sendiri. Semuanya bisa dicapai mungkin dengan puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan langkah. Tapi semuanya hanya akan terjadi ketika manusia berani "melangkahkan kaki" seberat apapun itu. Beranikah kita melangkah?

MRR, Jkt-19/01/2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun