Padamnya listrik PLN dari hari kemarin telah membuka mata kita bahwa ternyata ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap PLN sangat tinggi. Saat pembangkit PLN trip dan mengalami gangguan, ratusan mega watt daya listrik gagal memasuki sistem interkoneksi Jawa Bali. Hal ini mengakibatkan putusnya aliran listrik ke jutaan pelanggan.
Banyak dampakanya? Ya pasti sangat banyak. Dari rumah yang gelap gulita, AC tidak menyala, sinyal handphone yang tiba-tiba menghilang, internet yang mati, air PAM yang berhenti menyala, transportasi massal seperti MRT dan kereta api yang terganggu, itu semua tentu sangat merepotkan bagi kita semua.Â
Kita sudah terlanjur terbiasa menjalani hidup dengan fasilitas tersebut di atas sehingga akan butuh waktu untuk menerima kenyataan bahwa fasilitas itu semua mendadak tidak berfungsi.
Jadi biasanya dalam keadaan susah karena blackout PLN seperti ini masih saja ada nasehat dari orang-orang sok bijak yang mengatakan "ya ilah, dulu kita juga biasa pakai minyak tanah dan sebelumnya juga tidak pakai listrik juga tidak apa-apa. Gelap bukan masalah, toh kita masih bisa makan".Â
Model perbandingan seperti ini tentu tidak aple to aple, lha wong mereka membicarakan masa lampau ketika listrik belum menguasai semua aktivitas kehidupan dan teknologi yang ada seperti saat ini. Tentu bisa saja orang menerima keadaan seperti jaman dulu, namun itu butuh proses, persiapan dan tidak mendadak. Terlebih itu bisa bermakna bahwa kita kembali ke jaman batu, meninggalkan semua kemajuan teknologi yang ada saat ini, apa ada orang yang mau?
Hari ini begitu kita berbicara listrik maka PLN lah yang akan muncul dalam pembicaraan tersebut. Sebagaimana TVRI, PLN adalah alat pemersatu bangsa, dari Sabang sampai Merauke. Melalui perusahaan negara inilah rumah-rumah rakyat tersambung dengan listrik dan kemudian bisa tersambung dengan dunia luar melalui televisi, telephone dan internet.Â
Tarif PLN dari ujung barat sampai timur akan seragam, tergantung golongan pelanggannya. Maka ketika berbicara PLN maka kita sedang berbicara persatuan Indonesia, sehingga jangan heran negara kerap kali hadir untuk mengintervensi PLN.Â
Beban PLN tentu sangat berat, sudah ditekan secara politik, harus mengakomodir kepentingan pemerintah sebagai wakil negara, harus membuat dirinya tampak berkinerja baik sehingga investor tidak segan mengucurkan pinjaman, kalau terjadi blackout dikomplain jutaan peanggan, namun kalau "salah-salah" menjalankan perusahaan direksinya bisa masuk penjara.
Kemandirian energi rumah tangga
Mengingat sebegitu dalamnya ketergantungan kita pada yang namanya listrik dimana bisa dikatakan juga bahwa kita mempunyai ketergantungan sangat tinggi pada PLN, maka kiranya dari sekarang harus dimulai upaya mengurangi tingkat ketergantungan pada PLN.Â
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat rasio elektrifikasi (RE) per Juni 2019 sebesar 98,81. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan antara jumlah rumah tangga berlistrik dan seluruh rumah tangga. Artinya 98,81% rumah tangga di Indonesia menggantungkan energi listriknya pada PLN, sehingga apabila PLN bermasalah dalam menyalurkan energi listriknya bisa dibayangkan dampaknya.
Hari ini penggunaan listrik di segmen rumah tangga bukan hanya untuk penerangan, namun juga menghidupkan perangkat elektronik lainnya. Mulai dari televisi, AC, handphone, rice cooker, kompor listrik, internet, pompa air, dan masih banyak peralatan lainnya yang menggunakan listrik sebagai sumber penggeraknya.Â
Celakanya peralatan-peralatan ini sudah sangat banyak membantu kita dalam kehidupan sehari-hari sehingga sangat susah apabila lepas darinya. Kalau listrik hanya untuk penerangan saja, bisa saja kita menggantinya dengan lampu tempel, petromax, obor dan sejenisnya seperti era lampau. Namun karena penggunaan listrik sudah sedemikian meluas maka menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap energi ini.
Ketergantungan yang tinggi terhadap energi listrik berbanding lurus dengan ketergantungan yang tinggi terhadap PLN. Saat ini PLN bisa dikatakan sebagai pemasok tunggal energi listrik yang dipasok ke seluruh rumah tangga di seantero negeri. Oleh karenanya perlu dikembangkan upaya alternatif penggunaan listrik Non PLN, dalam hal ini swasembada listrik rumah tangga (RT) bisa dikembangkan.
Swasembada listrik rumah tangga yang memungkinkan saat ini adalah yang pertama dengan menggunakan solar cell atau panel surya dan kedua menggunakan genset yang berbahan bakar gas bumi. Apakah genset yang berbahan bakar solar atau premium bisa? supply BBM untuk genset model ini tentu tidak bisa berkesinambungan karena harus dibawa dengan drum atau jerigen dari SPBU terdekat, berbeda dengan panel surya yang mengandalkan sinar matahari dan genset gas yang mengandalkan pasokan gas bumi yang tetap mengalir.
Alternatif pertama menggunakan solar cell adalah solusi yang bisa digunakan oleh semua rumah tangga di Indonesia. Permasalahan solar cell yang menjadi penghambat penggunaannya adalah harga dan life timenya. Namun permasalahan ini dari waktu ke waktu berhasil diatasi sedikit demi sedikit, sehingga semakin ke depan harga solar cell semakin turun dengan life time yang meningkat.Â
Beberapa tahun yang lalu harga solar cell mencapai US$ 1.500/kilowatt peak (kWp), namun sekarang harga panel surya menjadi sekitar US$ 1.000/kilowatt peak. Kalau dikurskan dengan rupiah maka dibutukan biaya untuk instalasi panel surya di rumah sekitar 15 juta rupiah untuk kapasitas 1000 Watt.
Selanjutnya pemilik panel surya tinggal melakukan perawatan yang baik dan mungkin perbaikan selama beroperasinya panel surya tersebut. Pada titik ini sebuah rumah tangga telah berhasil mencapai swasembada listrik. Apalagi kalau kemudian produksi listrik panel surya ini berlebih, maka ini bisa dijual ke PLN, tinggal masalah teknis dan komersialnya disepakati.
Alternatif kedua adalah menggunakan genset berbahan bakar gas bumi. Namun opsi ini hanya memungkinkan jika rumah tangga tersebut terhubung dengan pipa gas bumi yang pasokannya selalu mengalir seperti air PAM. Jumlah rumah tangga yang saat ini teraliri gas bumi adalah sekitar 450.000 RT.
Bandingkan dengan tarif listrik PLN yang sekitar Rp. 1.400 per kWh, tentu menggunakan genset untuk menghasilkan listrik lebih murah separuhnya. Oleh karenanya opsi genset berbahan bakar gas bumi untuk rumah tangga sangat bisa diimplementasikan dimana sebuah RT cukup membayar gas bumi yg digunakan dan penghematan atas biaya listrik bisa digunakan untuk memaintenance genset.
Sebenarnya kemandirian energi listrik RT akan sangat tinggi reliability nya jika suatu RT bisa menggabungkan penggunaan panel Surya dan genset berbahan bakar gas. Pada kondisi ini suatu RT bisa sepenuhnya dikatakan mandiri dan tidak perlu menggantungkan diri pada listrik PLN. Bahkan PLN lah nanti yang akan membutuhkan RT jenis ini sebagai sumber pasokan listriknya ketika produksi listrik RT tersebut berlebih.
MRR, Bks-06/08/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H