Siang itu jalanan cukup padat dari Lenteng Agung menuju Pasar Minggu. Jam sudah menunjukan pukul 13.45 WIB saat kami masih terjebak macet di bawah jembatan layang tol perempatan Pasar Minggu untuk sekedar putar balik melintasi rel kereta api sebelum memasuki gerbang tol di depan PT Antam. Perut sudah menagih haknya mendapatkan asupan makanan sementara perjalanan menuju rumah masih lama.
Seketika itu mata saya mencari-cari kanan kiri siapa tahu ada pedagang tahu asin sumedang yang biasanya menjadi penyelamat saat terjebak kemacetan. Pedagang tahu ternyata tidak berhasil saya jumpai, namun di saat yang sama terlihat banyak gerobak bertuliskan "kue rangi" yang berjejer di sepanjang bahu jalan. Kalau tidak salah jumlahnya lebih dari delapan gerobak penjual kue rangi. Saya biasanya menyebut kue rangi itu dengan rangin, ada juga yang menyebut kue pancong. Tidak ada tahu kue rangi pun boleh lah, benak saya langsung memutuskan. Kaca jendela saya buka dan salah satu penjual mendekat sambil membawa kue rangi yang sudah dibungkus plastik mika. Kata penjual harganya 10 ribu rupiah ketika menyerahkan kue tersebut pada saya.
Para penjual kue rangi yang notabene pedagang kaki lima (PKL) ternyata memanfaatkan kemacetan dibawah jembatan layang hingga putaran balik melewati rel kereta api. Jadi keberadaan PKL seperti para penjual kue rangi sangat membantu orang-orang kelaparan yang terjebak macet. Kebetulan keberadaan mereka yang berjualan di bahu jalan juga tidak mengganggu lalu lintas. Jadi hubungan yang terjadi lebih tepat dikatakan simbiosis mutualisme.
Iseng-iseng saya coba cek sebenarnya ada berapa sih total PKL di seluruh Indonesian. Cukup tercengang ketika Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) menunjukkan data jumlah PKL seluruh Indonesia sebanyak 25,1 juta orang. Wow, jumlah yang begitu dahsyat dengan potensi ekonomi yang tidak bisa dianggap kecil. Padahal PKL selama ini seringkali menjadi objek penertiban dari Satpol PP karena dianggap mengganggu jalan, ketertiban, dan lalu lintas.
Kalau ada 25,1 juta orang berprofesi sebagai PkL dan tiap orang harus menghidupi keluarga yang kira-kira terdiri atas istri/suami dan dua orang anak, maka kebayang ada lebih dari 100 juta jiwa yang menggantungkan hidup dari PKL. PKL ini biasanya berjualan di bahu jalan, badan jalan, trotoar, taman, jembatan penyeberangan dan sepanjang jalan dimana orang berlalu lalang. Sarana jualan mereka biasanya mudah dibongkar pasang atau dipindahkan seperti tenda, gerobak, sepeda, mobil, atau sering juga ngelapak di atas tanah dengan alas terpal. Ada PKL yang berjualan siang hari seperti penjual rangi dan banyak juga yang malam hari seperti penjual pecel lele.
Pemberdayaan PKL
Keberadaan PKL yang begitu banyak jumlahnya semestinya jangan di anggap sebagai penganggu atau hama sehingga harus dibasmi. Selama ini para PKL tidak pernah merengek-rengek minta diberi fasilitas atau bantuan kredit dari pemerintah. Saking penginnya bekerja mencari nafkah yang halal, para PKL rela berpanas ria di jalanan terkena polusi dan kadang rawan terkena kecelakaan lalu lintas.
Pemerintah mestinya berterimakasih pada para PKL yang telah menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri, sehingga tugas pemerintah sebagai wakil negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya menjadi berkurang. Para PKL itu tidak meminta macam-macam kok, mereka cuma meminta jaminan rasa aman serta diperbolehkan berjualan di tempat mereka berusaha saat ini, tidak lebih. Coba bayangkan kalau PKL selalu dikejar-kejar dan tidak boleh berdagang, mungkin jutaan orang akan menganggur dan bisa dibayangkan masalah sosial dan kriminalitas yang pasti akan meningkat.
Pemerintah semestinya tinggal membina dan memberikan pelatihan pada para PKL sehingga mereka bisa menerapkan manajemen modern. Di samping itu selama ini para PKL yang notabene kebanyakan para pedagang kecil mempunyai masalah akses pada permodalan. Pemerintah seyogyanya bisa memberikan solusi sehingga akses akan permodalan bisa dinikmati PKL bukan hanya para pengusaha di sektor formal. Tentu akses permodalan harus disertai pendampingan pengelolaannya sehingga tidak menjadi mubazir nantinya jika mendapat penambahan modal.
Penataan PKL
Selama ini yang menjadi sorotan atas PKL adalah keberadaannya yang semrawut, tidak teratur, sehingga disamping mengganggu pemandangan terkadang juga mengganggu lalu lintas. Kalau sudah jalanan menjadi macet karena PKL, maka pengguna lalu lintas baik roda dua sampai roda empat secara otomatis mengumpat bersumpah serapah sampai langit ketujuh. Pun pejalan kaki juga terkadang merasa terganggu karena beberapa PKL memakan sebagian trotoar.
Namun lihatlah, meskipun banyak orang bersumpah serapah atas keberadaannya, orang-orang yang berlalu lalang masih saja berhenti sejenak untuk melihat-lihat barang dagangan PKL yang tak jarang diikuti transaksi jual beli antara keduanya. Di manapun PKL berada, dia adalah magnet yang mempunyai daya tarik bagi orang-orang yang melintas dan merupakan sumber kerumunan dan keramaian. Banyak orang yang merasa nyawan untuk menawar, membeli barang dan makanan di kaki lima.
PKL menawarkan semua makanan, barang dan jasa yang mungkin tidak ditawarkan oleh toko-toko modern maupun mal-mal. Terkadang kalau dari sisi makanan, mereka adalah etalase makanan dan kuliner Nusantara namun dihadirkan oleh para PKL bukan oleh chef terkenal di restauran mahal. Kalau para PKL makanan model begini bisa ditata dengan baik, bukan tidak mungkin malah bisa menjadi daya tarik wisata tersendiri.
Oleh karenanya, pemerintah seyogyanya mulai menata dengan baik para PKL tersebut yang sudah jelas sumbangsihnya bagi perekonomian sektor informal. Penataan terintegrasi mulai dari masalah tempat berjualan, waktu berjualan, kebersihan, kerapian, pengaturan lalu lintasnya, dan lain-lainnya mutlak diperlukan. Boleh kita belajar dari negara lain seperti Singapura, Thailand maupun Amerika tentang pengelolaan PKL nya.
Semestinya sudah tidak ada lagi main kucing-kucingan antara PKL dan satpol PP, namun sebaliknya PKL merasa aman dengan kehadiran satpol PP. Saya sangat tidak setuju jika pemerintah asal gusur PKL seenaknya tanpa memikirkan solusi bagi mereka. Sekalinya PKL direlokasi, mereka ditempatkan di daerah pinggiran dimana lalu lintas orang sepi. Tugas pemerintah ya menata, bukan menghilangkan pekerjaan sebagai PKL. Di situlah seninya, mengatur ketertiban dalam keramaian lalu lalang orang dan kendaraan. Apakah mungkin? Pasti mungkin selama pemerintah mau dan bijaksana dalam mengimplementasikan penataan PKL yang berkeadilan. Kalau pemerintah memang serius menjalankan pengaturan PKL sehingga semua pihak diuntungkan, maka kita tahu bahwa pemerintah sedang berpihak pada wong cilik dengan ekonomi kerakyatannya.
MRR, Jkt-21/07/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H