Kiblat bagi seorang muslim menunjukkan arah yang jadi rujukan ketika mendirikan sholat. Arah kiblat ini adalah arah dari suatu lokasi atau tempat ke Kabah yang berada di kota Mekkah negara Arab Saudi dengan jarak yang terdekat.
Jadi arah kiblat bisa menunjukkan ke arah barat, barat laut, utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, maupun barat daya tergantung sedang berada di lokasi mana kita sedang sholat dan posisinya terhadap Kabah.
Begitu pentingnya masalah kiblat sampai-sampai seringkali terjadi penyesuaian arah kiblat bagi suatu masjid. Pernah saya tahu ada suatu masjid sudah diukur arah kiblatnya saat pembangunannya, namun beberapa tahun kemudian ketika diukur ulang posisi kiblat yg lebih akurat maka arah kiblatnya bergeser.
Baca juga: Di Suriname Ada 2 Kiblat Masjid, Barat dan Timur, Mengapa?
Saya tidak tahu mengapa hal seperti ini bisa terjadi. Biasanya pengurus masjid menyiasatinya dengan menarik garis shaf baru dengan menyesuaikan arah kiblat yang dianggap benar. Hal ini akan menyebabkan ada ruang masjid yang tidak bisa dioptimalkan untuk sholat.
Berdasarkan data, arah kiblat di Indonesia berkisar 290 hingga 295 derajat sesuai lokasi masing-masing daerah. Bagi orang Indonesia lebih gampangnya adalah menghadap ke barat lantas agak menyerong sedikit ke kanan beberapa derajat, tidak sampai barat laut (serong 45 derajat dari arah barat).
Hal inilah yang seringkali dipraktikkan oleh banyak orang di Indonesia, saat akan sholat mereka menghadap ke depan (anggap barat) lalu serong sedikit ke kanan. Karena dipraktikkan sehari lima kali, maka menghadap ke kiblat dengan cara tersebut lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan.
Baca juga: Masjid Al-Aqsa, Kiblat Pertama Umat Muslim
Seringkali saya masih menjumpai hal seperti ini pada saat sholat berjamaah di masjid. Padahal kalau kita lihat secara seksama di peta dunia, maka arah yang mereka tuju pada saat "menghadap kiblat" sebenarnya mungkin daerah Moskow Rusia, bukan Kabah di Mekkah.
Saya hanya ingin menunjukkan betapa kebiasaan itu sangat berpengaruh pada aktivitas kita sehari-hari. Untung kebiasaan menyerongkan diri saat menghadap kiblat adalah dalam konteks ibadah sholat, aktivitas yang mulia dan dengan tujuan baik. Coba bayangkan kita punya kebiasaan buruk seperti berkata-kata kotor. Pada saat terjatuh atau mendapatkan kejadian yang tidak diharapkan, secara refleks orang tersebut mungkin akan mengeluarkan seluruh isi kebun binatang.
Bahkan dulu saya pernah diceritakan bahwa ada orang yang semasa hidupnya punya kebiasaan buruk berkata-kata kotor, pada saat dia koma atau tidak sadar di ruang perawatan rumah sakit maka yang terucap dari mulutnya bukanlah asma Allah atau istighfar, namun justru kata-kata kotor yang biasa dia ucapkan.
Baca juga: Musala Kami Bukan Salah Kiblat, tapi...
Namun coba kita punya banyak kebiasaan baik, seperti selalu bersyukur baik dalam suka, duka, senang, maupun susah. Apapun keadaannya hati tetap tenang, dan tidak ada yang membuat kita menjalani hidup dengan segala keterbatasannya dengan rasa iri, dengki, maupun was-was. Kebiasaan baik akan sangat berbeda memengaruhi hidup daripada kebiasaan buruk.
Begitu dalam kebiasaan yang kita jalani akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan. Kebiasaan-kebiasaan ini akan mengendap dan secara refleks akan dijalankan oleh kita dari alam bawah sadar. Tentu jangan sampai kita akan mengakhiri kehidupan di dunia pada saat sedang menjalani kebiasaan buruk.
Maka perbanyaklah kebiasaan-kebiasaan baik dan tinggalkanlah yang buruk-buruk sehingga saat malaikat maut datang, kita menyambutnya dalam keadaan baik.
"Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya" (HR Muslim no 2878)
MRR, Pbg-03/06/2019