1 liter Pertamax (Ron 92) dicampur dengan 1 liter premium (Ron 88) maka akan menghasilkan 2 liter pertalite (Ron 90). Kira-kira begitu cara yang gampang untuk mendapatkan BBM jenis pertalite dengan mencampurkan pertamax dengan premium. Bagimana dengan harganya? Satu liter Pertamax berharga Rp. 10.400,- dicampur satu liter premium berharga Rp. 6.550,- menghasilkan 2 liter pertalite dengan harga Rp. 16.950,- atau setara Rp. 8.475,- per liter. Bandingkan dengan harga pertamax di SPBU yang dibanderol Rp. 7.800,- atau lebih murah Rp. 675,- dari harga pencampuran tersebut.
Mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 191 tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak maka pertalite masuk kategori BBM umum sehingga harganya memperhatikan keekonomian, tidak seperti BBM jenis tertentu maupun BBM khusus penugasan yang harganya dipatok oleh pemerintah.
Sehingga menjadi pertanyaan besar, apakah dengan harga Rp. 7.800,- untuk satu liter pertalite Pertamina sudah untung? Atau jangan-jangan jual rugi. Padahal kalau menggunakan formulasi harga yang ditetapkan pemerintah dan kurs dolar saat ini maka harga keekonomian premium saja berada di kisaran angka RP. 8.000,-.
Secara logika harga keekonomian pertalite seharusnya di atas premium atau di atas Rp. 8.000, minimal sama dengan harga pencampuran pertamax dan premium dengan volume yang sama seperti di atas.
Filosofi awal diluncurkannya pertalite oleh pertamina adalah agar masyarakat beralih penggunaan dari premium (oktan 88) yang disubsidi ke pertalite (oktan 90) sehingga beban subsidi yang ditanggung Pertamina jauh berkurang. Makannya saat awal-awal diluncurkan harga pertalite tidak jauh dari premium dengan harapan masih bisa dijangkau masyarakat yang ingin beralih jenis BBM. Jadi jelas sedari awal pertalite tidak dirancang menjadi seperti premium yang harganya dipatok pemerintah dimana ketika terjadi selisih antara harga keekonomian dengan harga ketetapan pemerintah maka Pertamina yang harus menanggung bebannya.
Masihkah ada subsidi?
Meskipun sedari awal pemerintahan Presiden Jokowi ingin mengalihkan subsidi BBM ke pembangunan infrastruktur, namun sampai hari ini pemerintah masih mensubsidi untuk Jenis BBM Tertentu yang meliputi minyak tanah dan solar. Sementara untuk premium sudah tidak ada lagi subsidi oleh pemerintah. Namun demikian premium yang masuk dalam Jenis BBM Khusus Penugasan sebenarnya disubsidi oleh BUMN yang bernama Pertamina kalau harga yang ditetapkan oleh pemerintah berada di bawah keekonomiannya.
Sebenarnya saya setuju dengan pencabutan subsidi BBM, mengapa? Karena seringkali subsidi tidak tepat sasaran, dan kita tidak menjadi bijaksana dalam penggunaan energi khususnya BBM. Lebih baik subsidi tersebut dialihkan untuk biaya kesehatan di mana BPJS masih kekurangan dana hingga 9 triliun rupiah atau subsidi bidang pendidikan sehingga bisa secepatnya meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
Kalau kita lihat fenomena kenaikan BBM yang selama ini terjadi di Indonesia pasti kita tahu bahwa orang Indonesia cepat sekali beradaptasi. Biasanya sehari setelah kenaikan BBM jalan tol menjadi sepi. Pekan berikutnya mulai lebih ramai hingga sebulan setelah kenaikan BBM jalan tol menjadi normal lagi lalu lintasnya seperti sebelum kenaikan BBM. Artinya pencabutan subsidi pada akhirnya tidak terlalu berpengaruh pada masyarakat selama dialihkan pada hal yang lebih bermanfaat. Pencabutan subsidi lebih bermasalah secara politik saja bukan secara nyata pada kehidupan masyarakat yang kemudian akan menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Kembalikan Pertalite ke ruhnya
Kebijakan pemerintah untuk tetap mengendalikan harga premium dalam Jenis BBM Khusus Penugasan patut kita hargai, karena memang ini pilihan politik yang diambil. Namun memperlakukan pertalite seperti premium menjadi kurang tepat mengingat filosofi hadirnya pertalite agar mengurangi subsidi premium yang dibebankan pada Pertamina. Tentu masyarakat sangat paham bahwa Dirut Pertamina tidak akan berani menaikan harga pertalite sebelum lampu hijau diberikan pemerintah.
Kondisi ini tentu menghambat perkembangan Pertamina sebagai BUMN yang dulu pernah dijanjikan oleh Pak Jokowi untuk dapat mengalahkan Petronas. Kalau pemerintah belum mau mencabut subsisdi BBM, maka anggarkan saja dalam APBN, jangan Pertamina kemudian menanggung beban subsidi terutama premium. Berilah keleluasaan pertamina mengatur harga BBM umumnya seperti pertalite sehingga bisa bersaing dengan pemain swasta lain. Shell menjual BBM setara pertalite (Shell Regular Ron 90) dengan harga Rp. 10.500,- dan banyak masyarakat yang membelinya. Mengapa pertalite tidak boleh dijual dengan harga sama atau mendekati sama? Tentu muncul banyak pertanyaan atas keanehan tersebut.
MRR, CBN-13/11/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H