Hari sudah malam ketika sepeda motor yang kami naiki terasa tidak stabil di bagian depan. Dalam hati saya menduga kalau ban depan kempes. Rasa penasaran membuat saya menghentikan sepeda motor dan mengecek kondisi ban depan.Â
Ternyata dugaan saya benar, ban depan motor kempes padahal baru dipompa sejam yang lalu. Pikiran saya langsung menyimpulkan bahwa ini bocor dan harus segera mencari tukang tambal ban.
Sepeda motor tetap saya naiki bersama si anak sulung saya sembari mencari tambal ban.
Setelah kira-kira 500 meter berkendara, ketemulah kami dengan tukang tambal ban. Saat itu ada satu pasien yang hanya sedang tambah angin ketika kami datang. Langsung saya tanyakan apakah bisa  menambal ban kami yang bocor dan langsung si Bapak tukang tambal ban mengiyakan. Alhamdulillah, problem ban bocor bisa tertangani.
Baru 3 menit memegang sepeda motor saya, pasien ban bocor berikutnya datang. Seorang pria dengan satu orang yang kemungkinan istrinya beserta dua anak kecil naik sepeda motor matic. Si Pria menghampiri si Tukang tambal ban dan menanyakan apakah masih lama dalam menambal ban punya saya. Jawaban si Tukang tambal ban cukup mengejutkan saya.Â
"Di depan ada tukang tambal ban mas, sebelah kanan jalan tidak jauh dari sini, kesana saja," kata si Tukang tambal ban. Si Pria bertanya "nanti tutup pak". "Tidak mungkin tutup, selalu buka kok" jawab si Tukang tambal ban. Si Pria pun bergegas membawa motornya ke tempat yang dimaksud si Tukang tambal ban sembari menitipkan istri dan anaknya tetap di situ.
Selesai mengecek ban, baru diketahui jika ban dalam sepeda motor saya bocor di bagian dopnya. Karena dopnya sudah pernah ditambal maka si Tukang tambal ban tidak bisa memperbaikinya.Â
Saya pun meminta diganti ban baru namun sayang persediaan yang dia punya habis. Kemudian dia menawarkan untuk membelikan di tukang tambal ban temannya yang tadi disarankan pada si Pria. Saya berikan uang, dan si Tukang tambal ban bergegas jalan ke tempat temannya.
Lima menit berselang si Tukang tambal ban datang sembari menenteng sebuah ban dalam. Dia katakan bahwa ban dalam baru juga habis di tempat temannya, adanya yang bekas namun masih baik dan harganya dua puluh ribu rupiah. Saya tidak mempermasalahkan dan meminta dia untuk segera memasangnya. Saat si Tukang tambal ban bekerja saya pun berbincang-bincang dengannya.Â
"Pak, sampeyan kok tadi menolak rejeki. Ada orang datang mau nambal ban malah disarankan pergi ke tukang tambal ban lainnya. Biasanya itu orang berbuat bagaimana caranya agar konsumennya tidak pergi, kan tinggal ngomong sebentar pasti si Pria mau menunggu," kata saya padanya dengan serius. Si Tukang tambal ban menjawab "saya tadi tahu kalau si pria dia buru-buru, sementara saya sedang memegang kerjaan ini, pasti tidak bisa cepat, jadi saya sarankan ke tukang tambal ban depan".
"Berarti sampeyan tidak takut kehilangan rejeki ya" cakap saya padanya. "Ora mas, namanya juga brayan urip. Lagian tukang tambal ban depan itu juga teman saya. Jadi ya begitulah namanya brayan urip" cetus si Tukang tambal ban.Â
"Bener juga sih pak, kalau sampeyan tidak mau brayan urip dengan tukang tambal ban lainnya, maka saat persediaan ban sampeyan habis kaya saat ini maka sampeyan tidak bisa ambil atau beli ke dia ya. Ujung-ujungnya konsumen sampeyan kaya saya ini yang sengsara ya" timpal saya.
 Percakapan berhenti ketika pekerjaan selesai dan saya bayar jasanya sembari berlalu pergi.
Si Tukang tambal ban telah mengingatkan kembali konsep brayan urip pada saya. Setelah saya browsing-browsing, diketahuilah brayan urip adalah berbagi untuk hidup, hidup rukun tanpa memandang latar belakang agama golongan ras.Â
Intinya adalah kita tidak boleh egois namun harus mau berbagi dan tetap hidup rukun dengan sesama. Si Tukang tambal ban bukanlah orang kaya dan berkecukupan, namun hatinya sangat mulia dan mau berbagi dengan kawan-kawannya bukan malah bersaing serta saling menjatuhkan.
Seringkali saya lihat dan temui suatu praktek dalam lingkungan, komunitas yang merupakan kebalikan dari brayan urip. Untuk urusan kerjaan, hal yang berat, tidak mengenakkan kita maunya berbagi dengan orang lain. Namun urusan uang, rejeki, kesenangan, kemudahan, ilmu, seringkali kita tidak mau berbagi.Â
Ilmu dan trik suatu kerjaan kalau bisa disimpan sendiri mending disimpan saja, daripada diturunkan pada orang lain termasuk anak buah malah nanti jadi saingan. Hidup itu hanya urusan saya dapat apa, kalau tidak menguntungkan buat saya maka buat apa saya menjalankannya. Tentu lingkungan yang seperti ini tidak kondusif bagi kita karena yang ada hanya rasa saling curiga, sikut-sikutan, tidak mau berbagi yang akhirnya hilangnya kerukunan.
Brayan urip memang sebuah konsepsi sederhana tentang laku kehidupan. Meskipun demikian pemaknaan yang dalam atas filosofi yang terkandung di dalamnya tidak lantas membuat kita mudah menerapkannya. Menjadi tantangan tersendiri bagaimana mengejawantahkan konsep brayan urip dalam kehidupan sehari-hari yang akhir-akhir ini menjadi semakin individualistis, menjauh dari kebersamaan dan cenderung hedonistik.
MRR, Pbg-24/09/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H