Perlombaan menuju pucuk pimpinan negeri ini semakin ramai saja. Setelah secara resmi hanya dua pasangan calon presiden-wakil presiden yaitu Jokowi -- K.H. Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno maka bisa dipastikan bahwa kompetisi akan semakin sengit hingga tahun 2019.Â
Menuju Pilpres 2019, banyak kejadian yang menarik dan menjadi bumbu-bumbu penyedap dalam pacuan tersebut. Mulai dari pilihan atas calon wakil presiden masing-masing kandidat yang mengundang pertanyaan khalayak luas, sampai behine the scene yang diungkapkan oleh salah satu calon wapres yang gagal maju.
Cerita di balik layar atas gagalnya Mafud MD sebagai cawapres Jokowi diungkapkan oleh yang bersangkutan pada saat ILC TV-One 14 Agustus 2018. Dalam acara tersebut diungkapkan bagaimana elite PBNU berhasil menyorongkan nama K.H. Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi sekaligus menutup peluang Mahfud MD.Â
Pengakuan yang blak-blakan dari seorang Mahfud MD tentu patut diapresiasi meski mendapat tanggapan yang beragam baik pro dan kontra dari kubu koalisi pemerintah maupun oposisi.
Dua hari berselang, 16 Agustus 2018, Prabowo dan Sandiaga Uno mengunjungi pengurus PBNU dan diterima oleh ketua umumnya K.H. Said Agil Siradj.
Tidak bisa disangkal kalau kunjungan ini bermakna politik, paling tidak agar suara NU tidak semuanya lari ke Jokowi meskipun Rais Aam NU K.H. Ma'ruf Amin menjadi cawapresnya. Apalagi setelah pertemuan Said Agil Siradj menyatakan bahwa Prabowo akan diberikan kartu NU (Nahdlatul Ulama), maka bisa dipastikan bahwa dalam pacuan Pilpres 2019 NU menempatkan anggotanya di kedua pasang calon.
Politik NU
Khittah NU 1926 yang digulirkan dalam Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo dimana mengamanatkan agar NU tidak boleh berpolitik praktis, maka secara organisasi NU tidak terlibat dalam dukung mendukung terhadap partai politik maupun pasangan capres-cawapres. Pun terhadap PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) secara resmi PBNU tidak pernah mendukung meski kita tahu PKB didirikan oleh para pengurus NU. Kalau ada upaya dukung mendukung pastilah hal tersebut akan diatasnamakan pribadi bukan organisasi.
Tapi beginilah canggihnya elit PBNU dalam berpolitik. Meskipun secara organisasi tidak berpolitik praktis, namun NU selalu bisa mewarnai perpolitikan Indonesia dan memperoleh banyak manfaat terutama untuk jamaahnya atau kaum nahdliyyin. Dalam semua Pilpres setelah era reformasi, NU selalu bisa menempatkan anggota atau kadernya dalam ajang tersebut.
Tentu kita masih ingat bagaimana dulu saat Pilpres 2014 kemesraan antara Ketum PBNU K.H. Said Agil Siradj dengan Prabowo Subianto.
Bahkan Said Agil Siradj menyatakan secara terbuka pilihan politiknya. Dikutip dari detik.com, "Tapi kalau ditanya, sampeyan mau pilih siapa, ya saya pilih Pak Prabowo. Itu hak politik saya," tutur Said Aqil usai perayaan hari ulang tahun NU ke 91 di Kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2014).
Waktu berlalu, Prabowo kalah dan Jokowi menjadi Presiden. Meskipun pilihan politik dari "elite NU" berbeda, namun dengan jumlah anggota yang besar maka mau tidak mau Jokowi selaku presiden harus memperhatikan dan membuat organisasi NU merapat ke pemerintah.Â
Tak kurang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional pada 2015 lalu, kemudian Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk membina usaha mikro ke bawah yang tak terjangkau dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau yang kerap disebut golongan ultra mikro dengan nilai 1,5 triliun rupiah adalah bentuk-bentuk penghargaan terhadap NU agar selalu dekat pemerintah.
Jumlah anggota sebagai modal
NU sebagai organisasi islam kemasyarakatan terbesar di Indonesia sangatlah diperhatikan dan diperhitungkan dalam perpolitikan Indonesia. Dari berbagai sumber maka jumlah anggota NU terentang dari 60 -- 143 juta orang. Tidak pernah ada angka yang pasti mengenai jumlah anggota NU. Kalau anggota NU hanya diukur dari pemegang Kartu Anggota NU maka pasti jumlahnya menjadi turun drastis, pun demikian penulis belum pernah mendapat informasi resmi mengenai jumlah pemegang kartu NU.
Mungkin bagi beberapa elit NU, membiarkan jumlah anggota NU tidak dihitung dari jumlah pemegang kartu anggota NU lebih menguntungkan daripada menggunakan parameter kartu anggota.
Dengan cara ini, maka menjadi sah saja kalau banyak orang mengklaim anggota NU mencapai 60 juta orang atau lebih, dan hal ini menjadi alat bargaining yang efektif ketika berhadapan dengan penguasa atau kekuatan politik lainnya. Toh di masyarakat sudah terstigma bahwa anggota NU itu jumlahnya paling banyak diantara organisasi kemasyarakatan lainnya dan lebih dari 60 juta orang.
Sebenarnya untuk mengukur seberapa dalam anggota NU terlibat dalam urusan politik praktis cukup gampang caranya. Perolehan suara PKB, partai yang secara informal dibidani kelahirannya oleh NU, bisa "merepresentasikan" suara kaum Nahdliyyin.
Selama empat kali mengikuti pemilu (199, 2004, 2009, 2014), perolehan suara PKB terbesar adalah sebanyak 13.336.982 suara yang terjadi di pemilu tahun 1999. Jika kita anggap bahwa separuh dari warga NU memilih PKB, maka diasumsikan bahwa warga NU yang mempunyai hak pilih dalam pesta demokrasi adalah sebanyak 26.672.964 orang, angka yang cukup diperhitungkan jumlahnya.
NU lah pemenangnya
Drama kegagalan Mahfud MD menjadi cawapres Jokowi semakin menunjukkan canggihnya politik NU dijalankan. Kalau Jokowi -- K.H. Ma'ruf Amin menang, maka Elit NU bisa menepuk dada dan berkata pada Jokowi bahwa kemenangan ini karena NU dan seluruh anggotanya solid mendukung Rais Aam-nya sebagai cawapres Jokowi.
Sebaliknya ketika Jokowi -- K.H. Ma'ruf Amin kalah, maka Elit NU tinggal mengatakan pada kubu Prabowo -- Sandiaga Uno bahwa kemenangan ini karena mereka sengaja memajukan K.H. Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, bukan Mahfud MD yang elektabilitasnya lebih tinggi dan lebih menjanjikan untuk menang.
Andaikan Jokowi atau Prabowo yang menang saat pilpres 2019, maka bagi NU tidak ada masalah siapapun pemenangnya. Jokowi menang, NU punya K.H. Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi.
Prabowo menang, NU punya jawaban untuk merapat, terlebih Prabowo akan menjadi anggota NU menyusul Sandi yang sudah mempunyai kartu anggota NU terlebih dahulu. Jadi bisa dipastikan bahwa Pilpres 2019 pemenangnya adalah NU.
Sekali lagi politik tingkat tinggi NU telah membuktikan idiom bahwa NU tidak ke mana-mana tapi ada di mana-mana. Semoga para Elit NU tetap istiqomah memperjuangkan dan melindungi kemaslahatan anggotanya.
MRR, Cbn-20/08/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H