Kami mahasiswa UGM saat itu dari semua fakultas berjalan kaki dari Bulaksumur menuju alun-alun utara. Sepanjang jalan masyarakat Yogyakarta menyediakan makanan dan minuman gratis untuk semua peserta aksi damai Pisowanan Agung. Pisowanan Agung diakhiri dengan Maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam VIII yang mendukung gerakan reformasi.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa tuntutan, seperti:
- Adili Soeharto dan kroni-kroninya,
- Laksanakan amandemen UUD 1945,
- Hapuskan Dwi Fungsi ABRI,
- Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya,
- Tegakkan supremasi hukum,
- Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Dari semua agenda reformasi tersebut sebenarnya yang paling menjadi ruhnya adalah melengserkan rezim Soeharto yang saat itu dianggap sebagai musuh utamanya.
Tanggal 21 Mei 1998, presiden Soeharto memutuskan mundur dari jabatannya dan seketika pula BJ Habibie diambil sumpahnya sebagai presiden Republik Indonesia. Mulailah dimulainya era baru dalam demokrasi Indonesia yaitu orde reformasi.
Nasib Orde Reformasi
Perjalanan reformasi telah 20 tahun lamanya sejak mundurnya Soeharto sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Beberapa agenda telah tercapai seperti turunnya Soeharto, dihapusnya Dwi fungsi ABRI dan adanya otonomi daerah.Â
Namun agenda besar untuk membawa Indonesia menuju lebih baik dalam hal kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan menjadi hal yang pantas untuk dikritisi bersama.
Tumbangnya Soeharto sebagai musuh bersama tidak lantas digantikan dengan kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan sebagai musuh bersama. Pelaku reformasi telah berhasil menumbangkan rezim namun masih gagal mengangkat kesejahteraan rakyat sebagi suatu tujuan bersama.
Keran demokrasi yang tiba-tiba terbuka setelah 32 tahun dikekang ditandai dengan lahirnya puluhan partai politik, bandingkan dengan sebelumnya yang cuma tiga yaitu PPP, PDI dan Golongan Karya.Â
Para pelaku reformasi pun berbondong-bondong masuk ke dalam partai politik, paling jelek sebagi simpatisan. Mungkin tujuan awalnya mulia untuk tetap membawa agenda reformasi dalam salah satu pilar Trias politica, namun saat masuk dalam partai politik banyak di antaranya yang mengalami kegagalan.
Kegagalan mewujudkan agenda reformasi secara menyeluruh, karena kemudian para pelaku reformasi menjadi para politisi yang cenderung memikirkan diri dan kelompoknya sendiri. Rasa-rasanya kegagalan menemukan musuh bersama layaknya tahun 1998 telah turut menghantarkan partai politik yang kemudian mengaku reformis gagal dalam menawarkan ide-idenya.