Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilarang Menawar!

15 Maret 2018   16:12 Diperbarui: 15 Maret 2018   16:22 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.provoke-online.com

Sebelum istilah blusukan dipopulerkan oleh pak Jokowi, sebenarnya dari sejak dulu saya sudah senang blusukan lho. Karena memang hobi saya main dan keliling-keliling gak jelas kemana saja kaki atau sepeda melangkah semenjak masih remaja hingga sekarang. Kebetulan saya tidak hobi belajar, satu-satunya masalah pelajaran yang saya hobi cuma mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Salah satu blusukan yang saya suka adalah blusukan ke dalam pasar baik pasar tradisional maupun modern. 

Dulu orang membedakan antara pasar tradisional dan modern dari indikasi becek dan kotornya, sehingga pasar tradisional identik dengan becek dan kumuh sedangkan pasar modern kebalikannya. Namun sekarang banyak pasar tradisional yang kemudian bertransformasi menjadi lebih bersih dan tertata layaknya pasar modern namun dengan tetap menyandang status sebagai pasar tradisional.

Mengingat hobi blusukan ke pasar, maka saya hapal dimana harus mencari atau membeli barang, dari sayur mayur, ikan air laut maupun tawar, bawang merah, bawang putih hingga cabe rawit. Salah satu persamaan yang abadi antara pasar tradisional dan modern adalah keduanya membuka ruang pembeli untuk menawar. Jadi jangan heran ketika melihat ibu-ibu dengan dandanan parlente turun dari Mercedes Benz atau BMW namun masih menawar seikat kangkung seharga dua ribu rupiah di dalam pasar.

Bagi sebagian orang terutama wanita menawar adalah syarat wajib ketika berbelanja ke pasar. Mau harga barangnya seribu, dua ribu atau puluhan ribu pasti ditawar juga. Rasanya tidak afdol dan tidak puas ketika belum bisa mendapat barang lebih murah dari yang ditawarkan pedagang. Contoh gampang adalah harga kangkung yang Rp. 2.000,- untuk 3 ikat. Seringkali saya lihat orang menawar 3 ikat kangkung itu Rp. 1.000,-, kalau si pedagang tidak melepas maka pembeli minta agar dua ribu rupiah dapat 4 ikat. Kadang tawar-menawar soal kangkung yang dihargai hanya dua ribu rupiah saja bisa sedemikian alotnya.

Kalau kita lihat, para pedagang yang berjualan di pasar kebanyakan merupakan orang-orang kecil, bukan orang besar dan kaya yang sudah tidak butuh uang. Namun kadang dari kita begitu antusias untuk menawar barang dagangan mereka, padahal barang dagangan itu adalah sumber nafkahnya sehari-hari. Barangkali mereka melepas barang itu dengan harga yang kita minta karena terpaksa, daripada barang tidak laku atau menjadi busuk padahal modalnya saja tidak dapat dengan harga segitu. Sementara bagi kita mengeluarkan uang sejumlah harga wajar yang mereka tawarkan tidak berasa sama sekali dan tidak membuat jatuh miskin.

Suatu fakta menarik adalah dengan barang dan harga yang sama, kita akan menawar saat membelinya di pasar sementara saat kita berbelanja barang tersebut di supermarket dengan harga yang sama atau kadang lebih tinggi tetap saja langsung kita ambil dan bayar di kasir tanpa menawar sama sekali. 

Padahal coba perhatikan apakah ada tanda larangan "Dilarang Menawar" di dalam toko supermarket sehingga kita tidak menawar dan menjadi seperti seekor ayam sayur yang tidak punya kekuatan dan keberanian menawar lagi. Kadangkala keberanian dan ketegaan kita muncul saat menghadapi orang kecil namun hal sebaliknya berlaku ketika bertemu dengan orang besar, maka menjadi pertanyaan besar sudah adilkah kita pada orang lain?

Ada kisah mengenai Jarir bin Abdullah Al-Bajali, seorang dari golongan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam. Ia adalah sosok sahabat yang menjunjung tinggi kejujuran dan selalu menepati janji.

Pernah suatu hari ia menyuruh budaknya untuk mencarikannya kuda terbaik. Akhirnya, budak itu menemukan kuda yang diinginkan majikannya. Ia pun bertanya kepada si penjual, "Berapa harga kuda ini?"

"Empat ratus dirham," jawab pedagang itu. "Baiklah, akan aku beri tahukan kepada majikanku agar ia membelinya," kata budak tersebut. Ia pun menuntun kuda tawarannya untuk diperlihatkan kepada sang majikan.

Melihat kuda yang gagah tersebut, sang majikan menaksirnya dengan harga 800 dirham berdasarkan harga pasar. Ia pun menanyakan harga yang ditawarkan si penjual pada budaknya. "Ia ingin menjual kudanya seharga 400 dirham," jawab si budak.

Mendengar harga tersebut, Al-Bajali langsung pergi menemui penjual kuda itu. Ia berkata kepada si penjual, "Kau katakan kepada budakku harga kuda ini adalah 400 dirham. Maukah engkau menjualnya seharga 500 dirham?" Pedagang kuda itu merasa heran, "Apakah saya tidak salah dengar?" pikirnya. Melihat si penjual terdiam, Al-Bajali menawar lagi, "Bagaimana jika 600 dirham?"

Tentu saja keheranannya makin bertambah. Sungguh ia tidak tahu harus berkata apa saat itu. Melihat penjual itu masih diam, Al-Bajali menaikkan lagi tawarannya, "Kalau begitu, juallah dengan harga 700 atau 800 dirham!"

Al-Bajali melanjutkan, "Wahai penjual, aku sudah berjanji kepada Rasulullah SAW untuk bersikap jujur kepada setiap muslim. Kudamu itu harganya sekitar 800 dirham. Jika aku membeli dengan harga kurang dari itu, aku khawatir akan mengkhianati janjiku kepada Rasulullah SAW."

Begitulah kisah dari sahabat Jarir yang mungkin berkebalikan dengan kebanyakan dari kita termasuk saya sendiri. Semakin mengetahui bahwa si Pedagang tidak tahu kalau barang dagangannya sangat bernilai dari yang ditawarkan, semakin senang kita dan terus berusaha menawar lebih rendah lagi. 

Di lain waktu ada seseorang yang menawarkan tanah, barang atau kendaraannya kepada kita dengan harga yang sangat murah karena sedang dikejar kebutuhan yang sangat mendesak, dan kita pun seringkali masih menawarnya lebih rendah lagi dari harga wajarnya. Bukankah kita harus menolong sesama manusia bukan malah mencari keuntungan dari kesusahan mereka? Oleh karenanya yuk mari kita lebih wajar dalam menawar barang yang memang perlu ditawar, jangan menawar untuk barang dan kepada orang yang sangat pantas untuk tidak ditawar.

MRR, Jkt-15/03/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun