Mohon tunggu...
M Firmansyah
M Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Akhir Tahun 2020: Belajar dari Pandemi Covid-19, Kembali Menjadi Manusia

24 Desember 2020   10:55 Diperbarui: 28 Desember 2020   08:40 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerimis terus-terusan menjelang ganti tahun 2019 ke 2020, karena rintik air tak henti maka ku hampiri penjual jas hujan, ku keluarkan uang sepuluh ribu rupiah dan benar saja, jam 11 bundaran HI mulai tergenang setinggi sol sepatu, Anies datang mengucapkan ucapan tahun baru 2020 dihadapan massa yang masih bertahan sampai pukul 01 dini hari. 

Aku sampai di rumah jam 03 menjelang subuh, turun dari halte pos pengumben, arus air menyeretku, kalau tak ada pagar besi mungkin saja aku terbawa arus air ke kali dan gorong yg sudah membludak air, rupanya itulah awal banjir di tahun baru, banyak mal tenggelam, bahkan tutup sampai sebulan lebih. 

Jakarta berangsur-angsur pulih setelah masuk februari 2020, bak keluar dari mulut macan masuk ke mulut buaya, wabah korona datang meluluhlantakan ekonomi, sosial, budaya bahkan sampai peribadatan, saat itu kita masih gamang dalam menghadapi situasi yang benar-benar belum pernah di alami, semua benar-benar gagap maka mestinya kita semua bisa memakluminya, tapi polarisasi di masyarakat membuat kita semua saling menyalahkan, tak jarang opini-opini dan komentar tokoh bukan membawa ketenangan malah jadi kegaduhan yang semakin ruwet dan mencemaskan. 

Di kanan kiri kita menyaksikan beberapa keluarga sulit mencari penghasilan, bisnis melambat disusul dengan kesulitan pasokan masker dan handsanitezer sebagai protokol kesehatan dari terjangan virus yang mengancam kapan saja. 

Mulailah kita semua masuk pada pembatasan sosial semacam semi lockdown, kerja dari rumah, ibadah juga dari rumah, angkutan umum dibatasi, ekonomi seperti berhenti, event dan acara yang kerap ku hadari di pose pon, orang tua mulai kelimpungan karena anaknya sekolah dari rumah, lalu semua beradaftasi dengan belajar jarak jauh karena sekolah mulai di tutup dari kegiatan belajar mengajar, para guru menyiasatinya dengan  hal-hal baru, 

mereka mulai membiasakan segalanya dengan pendidikan yang serba digital, tibalah kita sampai pada kesimpulan bahwa selama ini kita kurang memaksimalkan pendidikan jarak jauh yang sedari dulu infrastrukturnya cukup tersedia terutama di kota-kota besar, masalah mulai muncul di daerah-daerah yang belum tersedia jaringan internet yang mumpuni, 

belum lagi masalah ketersediaan gadget bagi orang tua yang tidak memiliki perangkat tersebut, alhasil pendidikan jadi tidak merata, ancaman kehilangan generasi yang cerdas di tengah berkah bonus demografi menjadi masalah yang cukup serius, banyak dari kita melupakan pendidikan dari rumah adalah hal krusial sementara langkah untuk  pemerataan pendidikan masih timpang. Terlepas dari masalah tersebut tugas tenaga pendidikanlah memberi masukan dan jalan keluar dari permasalahan pendidikan agar berkah bonus demografi dapat maksimal dan menjadi sumbangan untuk pembangunan sumber daya manusia yang unggul menuju generasi emas Indonesia 2045.

Pagi itu langit jernih jelang sehari Ramadhan datang, mesjid-mesjid tak semeriah tahun-tahun sebelumnya, shaf di beri tanda cross sebagai tanda jaga jarak, jumatan di tiadakan, buka puasa bersama tak terselenggara, meskipun taraweh tetap ada, jumlahnya dibatasi, bawa sajadah sendiri dan tak lupa pakai masker, inilah suasana yang belum pernah dilihat sebelumnya, sebagian rutinitas ramadhan benar-benar dilakukan di rumah saja, sampai lebaran datang, silaturahim juga tak biasa, semua menjaga jarak dan menjaga diri, semua dilalui dengan adaftasi kebiasaan baru hal tersebut mulai menjadi hal wajar, pelajaran berharga untuk kita yang terbiasa komunal dan guyub. 

Hampir setahun kita semua di karantina, pelanggaran kerumunan masih saja ada, apalagi agenda pilkada serentak harus tetap berjalan, demonstrasi besar juga warnai suntuknya masa karantina, demo bersekala besar seperti penolakan RUU HIP dan omnibuslaw sempat buat kecemasan akan meledaknya jumlah orang-orang positif covid19, dari pristiwa tersebut banyak demonstran yang ditangkap karena anarkis dan mulai terjadi pembakaran halte transjakarta, 

puncaknya massa besar ditandai dengan penyambutan kepulangan Rizieq shihab, ia dijemput oleh massa yang membeludak, sempat memacetkan aktifitas di bandara, kerugian atas penjemputan itu tak sedikit, sampai-sampai berimbas dipecatnya dua kapolda dan pemanggilan dua gubernur, seakan di atas angin Rizieq nekat dan menantang dengan modal dukungan simpatisan fanatiknya ia santai menyelenggarakan Maulid dan resefsi pernikahan putrinya, 

ia juga mencibir aparat pada pidato nya di perayaan maulid tersebut, dengan itu akhirnya ia tersandung kasus hukum pasal penghasutan, polisi layangkan surat panggilan, saat polisi serahkan surat pemanggilan ke petamburan, polisi dihadang laskar dengan cemooh dan nada pengusiran, polisi layangkan panggilan kedua, rizieq masih belum juga penuhi panggilan, sampailah pada pristiwa penembakan enam laskar FPI yang sampai saat ini masih kontroversial, smua pihak punya versinya masing-masing. akhirnya rizieq menyerahkan diri untuk di periksa, 10 jam diperiksa lalu rizieq di tahan, ia keluar dengan baju tahanan orange dan tangan di borgol rizieq ditahan sampa 20 hari kedepan. 

Tuhan dengan mudahnya meninggikan untuk kemudian di hempaskan, cuma manusia tak mau belajar, setiap yang ditabur kelak akan dituai, menabur caci maki menuai laporan ke polisi, kesombongan seorang tokoh saat dikultuskan dengan berjubelnya mobilisasi massa hanya semacam fatamorgana, seakan terlihat besar, menimbulkan sikap jumawa setelah lewat waktunya, lunturlah kekuatannya, arogansi membuahkan antipati. 

Cerita Persekusi 

Ini cerita tentang persekusi yang ku alami di tahun ini, siang itu kakak ku menunjukan WA group yang aku tak ada di dalamnya, ia tunjukan tangkapan layar Facebook ku yang berisi kritisi ku tentang ulama yang gemar mencaci, di FB aku memang sering protes dengan keras kondisi umat islam yang semakin intoleran belakangan ini, aku menyebutnya preman bersurban yang menjadi alasan mereka tersinggung, padahal istilah tersebut sudah ada jauh sebelumnya, lalu kakak ku bilang mereka akan mencariku jika ku tak berhenti mengkritik, kupikir itu cuma baper saja, tak mungkinlah mereka akan berani seperti itu, 

rupanya di WA grup itu banyak sekali para pendukung fanatik ulama yang bersangkutan, yang ku heran grup WA itu grup alumni sekolah SD ku, hujatan dan cacian kepada ku di grup itu sangat mencemaskan, aku seperti buronan yang dicari polisi padahal aku cuma beropini kritis kepada gerakan ormas islam yang kerap bersikap intoleransi hanya saja  karena mayoritas. Mereka mengatasnamakan Forum jawara yang siap jaga ulama, 

ku pikir ulama kan banyak sekali kebetulan saja ulama yang ku ikuti bukan ulama yang  mereka kultuskan, benar saja, sehabis isya mereka datang, mereka bertemu aku dan menanyakan maksud postinganku, kukira aku akan di keroyok seperti cerita persekusi yang ada di medsos, ternyata tidak se "ngeri" itu, sebenarnya aku mau saja jelaskan maksud tulisanku di postingan itu, tapi abang-abangku dengan bahasa tubuh mereka seakan ingin mengatakan kepadaku "sudahlah jangan diperpanjang, hal itu gak ada manfaatnya, lagi pula ibu sedang sakit dan ia tak perlu tau hal ini" 

itulah yang kutangkap dari mereka meski mereka tidak mengatakan nya, maka saat diminta buat surat pernyataan dengan materai 6000 aku legowo saja sambil senyum simpul, awalnya redaksi isi pernyataan itu kubuat dengan singkat, karena kupikir itu kan cuma opini pribadi lalu mengapa dan  kenapa aku harus dipersekusi seperti itu, tak perlu ditanya lagi, tapi setelah kububuhkan materai dan kutanda tangani, sepertinya mereka tidak "sreg" dengan isi pernyataan tersebut, akhirnya kuganti lagi dengan redaksi yang mereka inginkan, aku sempat tertawa kecil, isi pernyataan versi mereka, 

aku dibilang menyakiti umat islam, aku mau tertawa tapi kok rasanya getir, padahal aku kritisi ulama penebar fitnah dan cacimaki di setiap ceramahnya dan jangan tertipu dengan preman bersurban, buatku itu aneh, apalagi yang kudengar sosmedku dipantau jika aku mengkritisi kelompok tertentu, itu terlihat dari percakapan WA grup mereka, maka itu tiga minggu aku pause FB ku, sosmedku cuma berisi hal-hal datar yang tidak menantang daya critical thingking, saat idola yang mereka kultuska ditahan polisi atas kasus-kasusnya, aku bisa sedikit bernafas, aku tidak merasa paling benar, tapi sepertinya tindakan persekusi kalian kepadaku keliru, karena kita sesama muslim wajib mengingatkan kebaikan, kebenaran dan kesabaran, tapi sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, tantangan kedepan adalah kita eratkan ukhuwah islamiyah, wathoniyah dan basyariyah, perbedaan itu hal biasa, kita memilih demokrasi karena kita sadar perbedaan itu rahmat bukan laknat, semoga kejadian ini tak terjadi lagi di kemudian hari. 

Pelajaran dari pandemik Covid19. 

Manusia-manusia robot yang hanya bekerja dan tak punya waktu melihat kanan kiri untuk sekedar ber empati dipaksa untuk reset sejenak, merenungi pandemik ini, kita semua belajar bahwa setiap perubahan harus dihadapi dengan sigap, pendidikan jarak jauh dan bekerja dari rumah adalah budaya baru yang mau tak mau atau suka tak suka harus dijalankan, bisa jadi ketergantungan pada internet dan segala hal serba digital di hari kemudian menjadi kebutuhan utama, disamping itu sikap menolong dan berdonasi adalah upaya gotong royong kita semua agar kita bersama-sama dapat melalui cobaan ini, 

di awal pandemik aku menjual barang berharga yang kumiliki untuk beli beras yang kan disalurkan ke orang-orang yang membutuhkan,karena diawal pandemik bansos memang belum datang, aku pun belajar dari kedermawanan ibuku yang ikhlas menjual mobilnya karena ia mendengar tetangganya yang memiliki pesantren sedang membangun dan pembangunan nya terhenti karena dampak pandemik, ia relakan itu karena menurutnya mobil yang ia miliki sudah tak dibutuhkan lagi, berkah dari mobil tersebut adalah menolong orang yang akan ke rumah sakit, mengantar orang umroh, melamar anak orang sampai walimah dengan lancar, hingga berguna buat orang-orang tua yang meminjamnya untuk sekedar hadir di acara wisuda anak mereka, kini tibalah mobil itu dijual untuk investasi akhirat ibuku, sungguh itu pelajaran yang inspiratif, "jangan sedih dengan yang hilang dan jangan  bangga dengan yg di dapat, toh semua itu akan sirna dan tak abadi, keren banget ibuku ini, memang benar saja, di era disrupsi ini rasanya semua cepat sekali berubah dan seakan tak ada yang kekal kecuali perubahan itu sendiri, nikmati saja selagi masih bisa, dan proses menjadi manusia yang tidak tergantung apapun ternyata telah mengembalikan kita kembali benar-benar menjadi manusia. 

Janganlah menuhankan manusia, karena manhsia tak sempurna, di era pandemik ini, kita diajari nilai-nilai baru dan perspektif baru dalam ibadah, lihatlah tahun ini ibadah haji saja di stop padahal harapan orang untuk berhaji adalah sesuatu yang telah di idamkan selama bertahun-tahun,  oiya di era pandemik sempat viral puisi renungan tentang bubarnya agama, puisi itu bukan karya Gus mus sastrawan nyentrik yang puisinya menjadi Bom di isi kepala kaum intoleran dan fanatik sempit segelintir muslim. Berikut puisinya :

BUBARNYA AGAMA

Oleh : A. Amiruddin

Makkah sepi 

Madinah sunyi

Salaman dihindari  

Corona datang

Seolah-olah membawa pesan

Ritual itu rapuh!  

Ketika Corona datang

Engkau dipaksa mencari Tuhan

Bukan di tembok Kakbah

Bukan di dalam masjid

Bukan di mimbar khutbah

Bukan dalam thawaf

Bukan pada panggilan azan

Bukan dalam shalat jamaah

Bukan dengan jabat tangan  

Melainkan,

Pada keterisolasianmu

Pada mulutmu yang terkunci

Pada hakikat yang tersembunyi  

Corona mengajarimu,

Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian

Tuhan itu bukan (melulu) pada syariat

Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu

Dengan dunia yang berpenyakit  

Corona memurnikan agama

Bahwa tak ada yang boleh tersisa

Kecuali Tuhan itu sendiri!  

Temukan Dia. 

 

Oiya gara-gara aku menyitir puisi ini dan ku share di grup-grup islam garis keras, aku sempat diancam mau dibunuh, padahal itu bukan puisiku, kemudian hidup terus berjalan dan kita mesti hadapi cobaan pandemik ini bersama-sama pula. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun