Mohon tunggu...
Mr Lee
Mr Lee Mohon Tunggu... -

belajar menulis sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Freeport 2021 Berhenti, Indonesia Untung?

28 November 2015   06:09 Diperbarui: 17 Desember 2015   05:29 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Polemik, saling serang, dan saling tuding antarpejabat hanyalah riak kecil di permukaan. Persoalan itu sejatinya seperti gunung es yang hanya terlihat pucuknya. Jika semakin ditelisik maka akan terlihat bahwa masalah utamanya adalah kegagapan para pejabat kita menghadapi asing, atau korporasi asing. Jika persoalannya perusahaan tambang asing, mereka ibarat penggali yang menggali tanah orang lain lalu mengangkutnya. Lha kita sebagai pemilik dapat apa?

Mestinya mereka satu suara, membela kepentingan bangsa, kepentingan nasional dalam soal mengamankan kekayaan alam negeri ini. Jangan lagi pejabat berkata, 'kantongi nasionalis-mu!'

Kasus Freeport, dan banyak kasus lainnya. Selama tahun 1967 sampai saat ini 2015 hingga 2021 nanti, apa yang Indonesia dapat dari eksplorasi tambang hitam itu? Hampir tak ada! Hanya bagian kecil, dan yang lebih banyak adalah akibatnya, diterabasnya hukum, kerusakan lingkungan akibat limbah, rusaknya hutan, kemiskinan rakyat Indonesia dan Papua khususnya, martabat bangsa yang terinjak-injak.

Jelas martabat bangsa ini terinjak-injak. Bagaimana tidak? Secara faktual memang mereka terlindung hukum secara tertlis. Tetapi untuk mendapatkan perlindungan hukum dengan tak patut dan dilihat secara substansial melanggar konstitusi, bahwa kekayaan alam sebanyak-banyaknya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Puluhan tahun jarang sekali para elit yang melakukan kritik terhadap perilaku korporasi hitam itu dan meninjau ulang kontrak atau apapaun namanya. Mereka bebas mengeruk, mengeksploitasi dan membawanya ke negaranya. Sebab, selama ini para elit itu memosisikan diri sebagai subordinasi negara pengebor itu.

Hanya beberapa saja para elit yang mampu melakukan kritik terhadap korporasi asing itu. Yang lain hanya dengar, diam dan ikut apa kata mereka, walaupun itu sangat merugikan Indonesia. Kerusakannya sangat banyak, multi dimensi, diungkap WALHI dan JATAM. (2008)

Jika mereka ingin terus mengeruk memuaskan keserakahan mereka berarti mereka untung besar ribuan triliun.  Jika mereka tak dihentikan mereka akan terus menguras sampai habis dan tak ada lagi sisa barang tambang itu. Oleh karena nafsu ingin menguasai tambang itu Freeport melakukan lobi, menyuap dan mencari celah di tingkat elit. Mereka lupa bahwa mereka selama ini hanya meninggalkan kemiskinan, kubangan raksasa, limbah, kerusakan alam, dan banyak lagi.

Itu kerugiannya bagi Indonesia. Tunggu dulu, masak Indonesia rugi? Kan banyak pekerja Indonesia disana termasuk Presdirnya pribumi. Mereka bekerja untuk orang asing dan bukan untuk Indonesia sebagai pemilik tambang itu. Hal itu seperti pribumi bekerja pada perusahaan asing zaman kolonial Hindia Belanda  dahulu, hanya kini tuannya berbeda, Amerika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun