Tindak kekerasan terhadap perempuan, telah berlangsung lama bahkan hampir sepanjang sejarah kehidupan manusia. Begitupun sama dengan yang terjadi di Indonesia.Â
Berikut beberapa Bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain rudapaksa, pelecehan seksual, pemukulan, perkawinan paksa, perceraian secara sepihak tanpa mempertimbangkan keadilan bagi istri dan anak, eksploitasi perempuan sebagai obyek seksual, dan bentuk-bentuk kesewenang-wenangan lain terhadap kaum perempuan.Â
Kekerasan terhadap perempuan dapat membawa dampak yang luas, karena telah menghilangkan kebebasan korban untuk mendapatkan hak-haknya, serta menimbulkan dan membawa pengaruh psikologis yang luas termasuk dan menghambat kemajuan yang potensial dapat dicapai oleh korban. Pada kasus kekerasan pada anak, dapat mengakibatkan gangguan jiwa yang berkepanjangan sampai dewasa atau trauma.
Lalu, Bagaimana Kekerasan terhadap perempuan di mata Hukum?
 Kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM dan bertentangan dengan dengan falsafah hidup bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Setiap warganegara berhak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan seperti yang tercantum dalam UUD 1945 serta legislasi lainnya.Â
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 telah ditetapkan bahwa angka tindak kekerasan akan diturunkan. Hal ini adalah untuk mewujudkan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.
Sejak tahun 1989, CEDAW (CEDAW adalah Konvensi PBB tentang Penghapusan Semua Diskriminasi Terhadap Perempuan -- juga disebut sebagai Bill of Rights Internasional untuk Perempuan.
Selama beberapa dekade, WRC telah mengoordinasikan produksi Shadow Report, melalui konsultasi dengan 100-an organisasi perempuan dan pembela hak asasi perempuan lainnya di seluruh Inggris. Laporan tersebut memberikan laporan yang akurat dan benar tentang status hak-hak perempuan di Inggris dan diserahkan kepada badan pemantau (Komite) ke CEDAW.Â
Komite CEDAW menggunakan Laporan Bayangan sebagai bukti dalam pemeriksaan mereka terhadap Pemerintah Inggris) telah membuat rekomendasi bahwa semua Negara yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, harus memasukkan dalam laporan mereka masalah kekerasan terhadap perempuan.Â
Rekomendasi No. 19 secara tegas mengarahkan perhatian negara-negara yang meratifikasi Konvensi Perempuan agar dapat menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, sebagai bagian dari kewajiban legalnya.
Pada tahun 1993, PBB mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan, atau sering disebut sebagai Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan.Â
Terobosan tersebut kemudian ditindaklanjuti lagi pada Konferensi Dunia PBB IV tentang Perempuan, yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995, sehungga komitmen masyarakat internasional semakin mendapatkan penegasan untuk menyikapi segala bentuk kekerasan yang dialami perempuan.Â
Dalam konferensi ini kekerasan terhadap perempuan ditetapkan sebagai salah satu dari 12 bidang kepedulian masyarakat dunia dan sebagai hambatan dalam mencapai "kesetaraan, pembangunan dan perdamaian".
- Faktor yang melatar belakangi Kekerasan pada Perempuan dan Anak marak
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sangat penting untuk diselesaikan. Seringkali, korban kekerasan tidak berani untuk menyuarakan apa yang mereka alami, baik itu kekerasan secara fisik, mental, maupun seksual. Banyak dari para korban ini mengalami kesulitan bahkan tidak berani untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami baik ke pihak keluarga ataupun ke pihak berwajib.
Faktor yang melatar belakangi adanya tindak kekerasan pada perempuan dan anak seringkali disebabkan oleh adanya disfungsi dalam keluarga. Keluarga yang tidak rukun atau tidak harmonis sangat rentan terjadi tindak kekerasan.
Faktor berikutnya adalah tontonan yang kurang mendidik, seringkali kartun yang kadang terlihat lucu, namun di dalamnya terdapat aksi kekerasan. Contoh lain dari disfungsi teknologi adalah penggunaan gawai atau telpon genggam, gawai dapat membuka peluang untuk selingkuh bagi orang tua dan membuka peluang untuk anak masuk ke pergaulan bebas. Intinya harus perlu adanya keseimbangan dalam memberi kebebasan satu sama lain di dalam keluarga.
Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam beberapa keadaan. Berikut adalah beberapa skenario di mana seorang anak dapat menjadi korban:
- kekerasan dalam rumah tangga,
Anak-anak merupakan bagian dari keluarga sehingga apabila ada kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orangtua, anak sangat rentan menjadi korban. Baik kekerasan secara fisik, emosional, atau bahkan seksual.
- penyalahgunaan alkohol dan narkoba
Ketergantungan terhadap penyalahgunaan alkohol dan narkoba adalah salah satu penyebab utama pelecehan dan penganiayaan anak yang mencakup pelecehan fisik dan pengabaian yang disengaja. Orangtua yang menyalahgunakan alkohol dan narkoba ini biasanya lebih mungkin melakukan kekerasan pada anak-anak berusia 5 tahun ke bawah.
- penyakit mental yang tidak diobati
Penyakit mental, seperti depresi atau penyakit pikiran lainnya dapat menjadi penyebab utama orangtua tidak bisa mengasuh anak dengan baik sehingga rentan terjadi kekerasan. Hal ini karena biasanya seorang Mama atau Papa dengan kondisi psikologis tidak stabil bisa menyakiti atau menganiaya anak-anak.
- kurangnya keterampilan mengasuh anak
Sebagian besar orangtua secara alami berbakat saat merawat anak-anak mereka, tetapi hanya sedikit yang mungkin dapat mengelola kebutuhan fisik dan emosional mereka secara memadai. Banyak Mama dan Papa sering menyamakan atau mendisiplinkan anak-anak dengan kekerasan.
- stres dan kurangnya dukungan
Banyak anak menghadapi penganiayaan atau kekerasan secara psikologis ketika pengasuh atau orangtua mereka sedang stres. Oangtua yang sedang menghadapi situasi penuh tekanan biasanya merasa sulit untuk berurusan dengan kebutuhan emosional anak. Penyebab stres ini beragam, seperti perceraian, masalah hubungan, masalah keuangan, dan masalah terkait pekerjaan.
- Dampak Fisik dan Non-Fisik
Dampak Fisik biasanya akan terlihat secara kasat mata seperti adanya luka, memar, lebam, patah tulang, cacat dan kesakitan hingga kematian. Sementara dampak Non-Fisik biasanya tidak terlihat, namun berdampak pada mental dan psikologi. Adanya perasaan rendah diri, malu, merasa terhina, mimpi buruk, stress, depresi, dan gangguan dalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H