Penyidik Satreskrim Polres Bogor resmi menetapkan SM (52) sebagai tersangka penistaan agama atau dijerat pasal 156a KUHP.
Penetapan tersangka dilakukan sebelum hasil observasi kejiwaan SM yang dilakukan tim dokter bentukan RS Polri keluar dan hasil Visum et Repertum Psikiatrikum dikirim.
Walaupun terdapat pengecualian di dalam pasal 44 KUHP yang menyebutkan (R. Soesilo, 1995: 60):
- Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah 'akal tidak boleh dihukum.
- Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna 'akalnya atau karena sakit berubah 'akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia dirumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
- Yang ditentukan dalam ayat diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Menurut R. Soesilo, dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristiwa ini, ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses-perbal.
Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psychiater).
Jika hakim berpendapat, bahwa orang itu betul tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya, maka orang itu tidak dijatuhi hukuman (dibebaskan dari segala tuntutan pidana).
Tetapi sebagai tindakan untuk mencegah bahaya, baik bagi orangnya sendiri, maupun untuk keselamatan masyarakat, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa (R. Soesilo, 1995: 61).
Polisi juga tidak dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena tak memenuhi persyaratan yang diatur dalam KUHP dan KUHAP.
Pasal 109 Ayat (2) KUHAP menyebutkan (Martiman, 1990: 80):
"Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya."
Sementara itu di dalam KUHP, terdapat hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena (R. Soesilo, 1995: 89-92):
-  Nebis in idem atau  (Pasal 76 KUHP).
- Tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP).
- Perkara pidana telah kedaluwarsa (Pasal 78 KUHP).