Sumpah Palapa yang dikemukakan Mahapatih Gajah Mada yang kemudian setelah Majapahit berhasil menyatukan daerah-daerah di luar Jawa Dwipa menjadi Patih Dwipantara atau Nusantara.
Pada jamannya merupakan visi globalisasi Majapahit, yaitu meskipun pusat kerajaan berada di Pulau Jawa (Jawa Dwipa), namun dia bertekad menyatukan seluruh wilayah Nusantara (pulau-pulau yang berada di luar pulau Jawa) dalam satu kesatuan, satu kehendak dan satu jiwa (MPR, 2017: 151).
Meski demikian, sejarah juga mencatat bahwa kejayaan Kerajaan Majapahit yang berumur lebih dari 2 abad harus berakhir karena Majapahit mengalami paradoks history setelah Patih Gajah Mada wafat.
Kerajaan Majapahit mengalami perpecahan (semacam balkanisasi di Eropa Timur di akhir abad XX) dengan ditandai lepasnya kerajaan-kerajaan yang semula berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
Kewaspadaan nasional yang dimiliki Majaphit sebagai negara bangsa (nationale staat) dalam konteks berbangsa dan bernegara waktu itu sangat lemah, sehingga konflik-konflik yang terjadi menyulut perpecahan yang lambat laun mempengaruhi ketahanan nasional dan menuju ke kehancuran total.
Baca juga: Sudah Tahu? Ternyata Inilah Tokoh Pencetus Nama "Indonesia" yang Sekarang Jadi Negara Kita
Di tengah kondisi demikian, dan seiring dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa ke wilayah Nusantara  sejak di sekitar 1521, mulai Spanyol, Portugis, kemudian disusul Belanda dengan VOC-nya di sekitar 1602.
Visi wawasan Nusantara Mahapatih Gajah Mada pada masa Majapahit benar-benar hancur.
Ditambah penjajahan Belanda dan Jepang yang berlangsung sekitar 3 setengah abad, meskipun pada 17 Agustus 1945 Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya.
Namun kenyataannya penjajahan kolonial bisa dikatakan baru berakhir dengan tuntas sejak 27 Desember 1949 (MPR, 2017: 152).
DAFTAR PUSTAKA