Marilah kita berusaha memperhatikan berbagai upaya untuk mengefektifkan hukum pidana.
Kritik yang tajam terhadap daya guna dan hasil guna hukum pidana terus diadakan dengan gencar. Hampir-hampir eksistensi hukum pidana yang dilemmatis itu dikorbankan akan hapus dari muka bumi, diganti dengan tindakan yang lain.
Para ahli hukum pidana, ahli filsafat, ahli sosiologi dan kriminologi banyak yang menjadi ragu-ragu terhadap hukum. (Poernomo, 1993: 197).
Berbagai pertanyaan dilontarkan,apakah hukum pidana dewasa ini masih mempunyai arti, dan apakah hukum pidana masih dapat dikatakan mampu melakukan tugasnya dengan baik ?
Adolphe Prins tahun 1910 dan Gramatica tahun 1945 yang mendirikan gerakan "perlindungan sosial" (La Deffense Sociale) berpendapat bahwa kita harus berjuang untuk menghapuskan hukum pidana secara keseluruhan (Saleh, 1984: 15).Â
Kaum radikalis menghendaki diadakannya "hukum perlindungan sosial" dalam suatu bentuk "social defence code" atau "code of protection".
Pengikut abolusionis cukup banyak karena meragukan kemampuan hukum pidana atau dengan alasan lain bahwa dalam kenyataan "dark number" jumlahnya selalu menunjukan kecenderungan besar mengingat berita di media pers mengenai kejahatan-kejahatan yang mencemaskan.
Akan tetapi bagi mereka yang termasuk golongan intelektual dan status sosial lebih tinggi ternyata banyak yang terhindar dari tangkapan penegak hukum. (Poernomo, 1993: 197).
Leo  Polak sejak tahun 1921 menyatakan bahwa hukum pidana sebagai bagian hukum yang sial karena mengandung tujuan pidana penderitaan yang berwarna absolut (Polak, 1947: 6). Hasil penelitiannya ternyata menyadarkan pada kita betapa uniknya hukum pidana yang kita butuhkan itu.
Pada sisi yang lain banyak para ahli yang mempertahankan peranan hukum pidana agar berfungsi dengan baik.
Untuk meredam pandangan yang radikal, mereka mendirikan gerakan "revisionis" yang menghendaki selalu ada pengamatan terhadap hukum pidana dan pernilaian untuk setiap waktu tertentu memperbaharui hukum pidana. (Poernomo, 1993: 197).