Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Rahmatullah
Muhammad Rizky Rahmatullah Mohon Tunggu... -

Let's make a journey!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

BPJS Kesehatan Sang Pahlawan

15 September 2016   20:22 Diperbarui: 15 September 2016   20:50 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

20 Maret 2016 merupakan Rintangan Terbesar di Kehidupan Saya.

Saya adalah mahasiswa berusia 19 tahun, seorang anak tunggal dari seorang Ibu berstatus janda sejak saya berusia 1 tahun yang menjadi tulang punggung keluarga. Mengapa 20 Maret 2016 merupakan rintangan terbesar di kehidupan saya? Kejadian berawal saat ibu saya melakukan aktivitas di kamar mandi pada pagi hari, beliau terjatuh dan mengalami pendarahan di bagian kepala sehingga langsung di larikan ke sebuah rumah sakit swasta di kota Batam.

Pihak rumah sakit melakukan proses penjaitan luka di bagian kening yang menyebabkan terjadi pendarahan di bagian tersebut. Setelah di jait dan sempat di rawat inap dengan kondisi yang masih cukup baik, pada sore harinya ibu saya mendadak tidak sadarkan diri sehingga tim dokter memutuskan melakukan CT scan bagian kepala untuk mengetahui penyebab kondisi ibu saya yang menurun drastis. Hasil scan pun menyatakan bahwa ibu saya mengalami pecah pembuluh darah di bagian otak yang posisinya sekitar 1-2 cm dari pelipis kanan sehingga otak beliau sudah di penuhi kumpulan darah yang menyebabkan beliau koma.

Di hari berikutnya pukul 01.00 dini hari tim dokter memutuskan bahwa Ibu saya harus menjalani operasi pemasangan selang di otak yang berfungsi untuk mengalirkan darah dari otak untuk di alirkan ke perut bagian usus atau dalam bahasa medis disebut vp shunt. Di sisi lain salah satu rumah sakit swasta di kota Batam (tempat domisili kami) tersebut memiliki kuota terbatas untuk penerimaan pasien BPJS Kesehatan.

Karena kondisi Ibu saya yang membutuhkan tindakan medis dengan sesegera mungkin pada saat itu, sehingga saya mendaftarkan ibu saya sebagai pasien umum. Pukul 01.00 dini hari dimana saya sebagai anak tunggal harus memutuskan apakah pihak keluarga ingin menjalankan tindakan operasi tersebut atau tidak dengan hasil informasi dimana biaya operasi berkisar 60-70 juta belum termasuk biaya ruangan ICU, obat-obatan dll.

Sedangkan ibu saya tidak memiliki uang sebanyak itu di tabungannya dan setelah saya menghubungi keluarga besar sang ibu respon keluarga juga cukup kebingungan. Sehingga saya tidak bisa terlalu cepat mengambil keputusan dan di lain hal Ibu saya harus sesegera mungkin di selamatkan nyawanya.

Waktu terus berjalan hingga pukul 01.30 dini hari dan tim dokter semakin mendesak keputusan saya untuk penyelamatan nyawa sang ibu sedangkan saya harus melakukan deposito sebesar 10 juta rupiah untuk tindakan tersebut. Setelah segala kelumit dan problematika dalam pengambilan keputusan tersebut, sekumpulan sahabat dan rekan ibu saya berkumpul untuk membantu mengumpulkan uang deposit sebesar 10 juta rupiah dan tugas saya saat itu tinggal memutuskan untuk tindakan operasi tersebut.

Tanpa berfikir banyak bagaimana cara saya mencari uang untuk sisa pelunasan dana tindakan tersebut nantinya dan dengan keyakinan saya bahwa saya akan berkorban untuk nyawa sang Ibu meskipun buruknya sampai saya harus mendekam di penjara karena tidak bisa melunasi biaya tersebut maka saya putuskan untuk menyetujui tindakan tersebut. Operasi berjalan lancar, selang telah terpasang untuk mengalirkan darah dari otak ke usus meski kondisi ibu saya masih koma dan tidak sadar.

Permasalahan belum usai karena dana yang harus di bayar terus bertambah dalam perawatan sang ibu di hari berikutnya. Dokterpun memanggil saya untuk menjelaskan permasalahan di otak sang Ibu dan dokter menyatakan bahwa pada pembuluh darah yang pecah terjadi pembengkakan atau dalam bahasa medis disebut aneurisma. 

Dokter juga berkata bahwa pada kasus ini memiliki kemungkinan pemulihan yang sangat kecil dan rawan akan kematian. Kelumit permasalahan bertambah karena harus ada operasi lanjutan yaitu kliping (penjepitan pembuluh darah) yang hanya bisa di lakukan tim dokter Rumah Sakit Siloam atau Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Jakarta karena fasilitas yang lebih memadai. Harus di lakukan operasi tersebut karena jika tidak di lakukan sesegera mungkin akan ada kemungkinan besar terjadi pecah pembuluh darah di titik lain yang akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup Ibu saya.

Setelah mendapatkan keterangan dari dokter dan saya mencoba berdiskusi dengan kerabat dekat Ibu saya dan merekapun bingung harus bagaimana karena keputusan ada di pihak keluarga dan keluarga kandung Ibu saya belum juga datang di hari kedua. Akhirnya di hari ketiga keluarga kandung Ibu saya dari Palembang dan Jakarta mulai berdatangan dan kami pun melakukan diskusi lebih mendalam tentang masalah dana yang harus di bayar dan juga operasi lanjutan yang hanya bisa di lakukan di Jakarta sehingga kami harus membawa Ibu dengan kondisi koma dan hanya bisa di tempuh lewat jalur udara dan pastinya membutuhkan dana yang juga tidak sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun