Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Ardiwinata
Muhammad Rizky Ardiwinata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Psikologi

Saya merupakan mahasiswa psikologi yang berminat dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lansia di Hadapan Megathrust

29 Desember 2024   16:21 Diperbarui: 29 Desember 2024   16:37 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lansia dievakuasi oleh TNI dan BPBD

Pada tanggal 16 Desember 2024, tepatnya pada pukul 10:50, Sumatera Barat kembali diguncang gempa dengan kekuatan 5,0 SR, mengingatkan bahwasanya daerah ini merupakan daerah yang rentan terdampak oleh gempa. Berbicara terkait gempa di daerah ini, tentu tak bisa kita lupakan terkait gempa megathrust Mentawai. Gempa megathrust adalah peristiwa seismik berkekuatan tinggi, biasanya lebih besar dari 8,0, yang terjadi di sepanjang garis patahan besar pada batas lempeng tektonik (Schäfer & Wenzel, 2019) dalam hal ini di segmen Mentawai-Siberut. Dampak yang diakibatkan oleh gempa megathrust dapat menghilangkan banyak nyawa serta kerusakan infrastruktur (Suhartono & Melinda, 2024). Oleh karenanya peran pemerintah untuk melakukan penanggulangan bencana untuk memitigasi dampak yang dapat ditimbulkan oleh gempa megathrust menjadi hal yang penting.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat merilis artikel bertajuk “Tujuh Mitigasi Menghadapi Ancaman Nyata Megathrust” yang berisi tujuh langkah mitigasi yang ditujukan pada masyarakat untuk menjadi arahan dalam menghadapi gempa megathrust. Dari tujuh langkah yang diberikan oleh BPBD Sumatera Barat, tidak ada satu langkah pun yang berfokus pada langkah yang dapat membantu individu lanjut usia (lansia) memitigasi dampak gempa megathrust. Padahal lansia merupakan populasi yang rentan terkena dampak bencana alam dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda baik dari sisi kesehatan fisik dan psikis maupun menjadi korban jiwa (Jia et al., 2010; Muhammad et al., 2024; Wang & He, 2023). Penulis percaya dampak yang ditimbulkan oleh gempa megathrust pada lansia bisa terjadi karena pengalaman lansia menghadapi gempa sebelumnya, keterbatasan fisik lansia, serta informasi yang sulit diakses oleh lansia.

Lansia lebih rentan terkena depresi dibandingkan dengan kelompok usia muda akibat pengalaman masa lalu menghadapi bencana yang sama. Pada tanggal 30 September 2009 salah satu gempa besar yang pernah dialami Sumatera Barat, dengan kekuatan 7,9 SR menyebabkan 1.195 korban meninggal dunia, 2.501.798 penyintas terdampak baik terluka maupun kehilangan tempat tinggal dengan total kerugian mencapai US$ 2,2 Miliar (Zein et al., 2014). Peristiwa ini merupakan hal yang traumatis karena selain kematian dari orang-orang yang berharga bagi lansia, kehidupan pasca bencana akan semakin buruk bagi lansia, khususnya yang hidup tanpa dibiayai oleh anaknya, ketika dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda. Hal ini dikarenakan para lansia akan lebih sulit untuk bangkit untuk mencari uang dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda. Kehilangan pekerjaan dan juga akses ke pelayanan kesehatan memperburuk gejala depresi yang dialami individu (Tsuboya et al., 2016). Ketika berita terkait gempa megathrust kembali menjadi topik pembicaraan, hal ini dapat menjadi pemantik dari gejala gangguan psikologis pada lansia.

Pemberitaan terkait potensi gempa megathrust dapat berdampak pada munculnya flashback terkait memori traumatis menghadapi gempa tahun 2009 yang dapat mengganggu kualitas hidup lansia. Gempa 30 September 2009 menimbulkan banyak korban jiwa maupun kerugian material, sehingga pemerintah berupaya untuk melakukan penanggulangan bencana yang akan dihadapi ke depannya seperti gempa megathrust. Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi bencana adalah dengan menggalakkan kesadaran pada masyarakat akan potensi gempa megathrust yang menanti melalui pemberitaan di media massa. Namun hal ini bisa saja berbalik menyerang para lansia. Gempa 30 September 2009 merupakan pengalaman memilukan bagi masyarakat Sumatera Barat, tak terkecuali bagi para lansia. Pengalaman traumatis ini berpotensi menimbulkan PTSD bagi para lansia, pernyataan ini didukung oleh penelitian oleh Downs et al. (2017) yang menemukan bahwa sekitar 20,1% populasi Jawa dan Sumatera mengalami PTSD. Angka ini bukanlah angka yang kecil sehingga tidak bisa diabaikan. Pemberitaan terkait potensi gempa megathrust serta narasi yang dibentuk seperti:

“Pasalnya, gempa ini tidak bisa diprediksi kapan dan di mana terjadinya, sedangkan kata Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) gempa megathrust hanya tinggal menunggu waktu”

yang dikutip dari salah satu media online ataupun gambar yang menunjukkan dampak yang dapat ditimbulkan oleh gempa megathrust, menimbulkan kekhawatiran bagi para lansia dengan PTSD berpotensi menimbulkan flashback. Menurut DSM-5-TR individu bisa mengalami keadaan disosiatif, atau lebih dikenal dengan flashback, ketika individu mengalami sepotong pengalaman traumatis masa lalu mengakibatkan individu berperilaku seolah-olah pengalaman traumatis masa lalu itu terjadi saat ini. Hal ini tentu bisa berdampak pada kualitas hidup lansia dimana lansia bisa mengalami peningkatan detak jantung yang tinggi, mengalami bayangan visual ketika ia mengalami gempa 30 September 2009, bahkan menimbulkan hilangnya kesadaran akan lingkungan sekitar.

Selain pengalaman masa lalu, keterbatasan fisik yang dialami lansia juga dapat menjadi alasan kenapa lansia menjadi kelompok yang paling rentan terkena dampak sesaat setelah gempa megathrust terjadi. Lansia merupakan kelompok usia yang mengalami penurunan fungsi pergerakan akibat usia, dimana hampir 35% populasi kelompok usia ini mengalami gangguan ini (Freiberger et al., 2020). Hal ini tentu dapat berdampak besar ketika gempa megathrust terjadi, lansia akan kesulitan untuk melakukan evakuasi bencana dikarenakan kesulitan mereka dalam berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini diperparah apabila lansia tinggal di keramaian dimana ketika bencana terjadi masyarakat akan keluar secara bersamaan menimbulkan kekacauan di jalur evakuasi, hal ini bisa menyebabkan lansia untuk sulit mengevakuasi diri dan bahkan ada kemungkinan untuk terinjak di jalur evakuasi di tengah kekacauan yang terjadi.

Tak hanya ketika gempa megathrust terjadi, sesudah gempa ini berlalu pun lansia akan menjadi kelompok rentan yang terdampak kualitas hidupnya. Ketika masyarakat berhasil mengevakuasi diri dari gempa megathrust, masyarakat akan dikumpulkan di kamp pengungsian. Di kamp pengungsian, tak seperti di rumahnya, lansia tidak memiliki akses ke fasilitas yang dibutuhkannya seperti toilet yang memadai. Salah satu masalah yang umum terjadi pada lansia adalah inkontinensia urin dimana produksi urin pada lansia yang tidak terkontrol (Regina et al., 2024). Dengan masalah inkontinensia urin dan kurangnya toilet yang memadai tentu akan menjadikan kualitas hidup lansia menjadi buruk.

Lansia menjadi kelompok usia rentan terdampak gempa megathrust bisa terjadi akibat kurangnya kemampuan lansia dalam mengakses informasi terkait megathrust melalui smartphone. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan memberikan peringatan akan terjadinya bencana melalui sirene, televisi, smartphone, ataupun media lainnya. Di antara media yang bisa menjadi bentuk peringatan yang diberikan, smartphone merupakan gawai yang paling efektif dalam penyaluran informasi peringatan darurat dikarenakan smartphone menjadi gawai yang dapat dibawa kemana saja dengan mudah. Jika dibandingkan dengan kelompok usia dewasa muda ataupun remaja, lansia kurang mampu menggunakan teknologi yang bisa mengakses informasi digital seperti smartphone ataupun komputer. Meski lansia bisa belajar menggunakannya, lansia bisa saja merasa penggunaan smartphone tidak dapat membantu kebutuhan sehari-harinya sehingga waktu yang digunakan untuk belajar smartphone menjadi suatu hal yang sia-sia. Hal ini didukung oleh penelitian Lu et al. (2024) dimana mereka menemukan lansia tidak menemukan relevansi dari kemampuan penggunaan gawai digital di kehidupannya sehari-hari. Tak hanya itu peneliti menemukan juga bahwasanya keterbatasan fisik dan kognitif juga menjadikan mereka sulit untuk menggunakan gawai digital. Sehingga ketidakmampuan lansia dalam menggunakan smartphone menjadikan lansia rentan tidak menerima informasi peringatan bencana ini.

Selain melalui smartphone terdapat pula media penyaluran informasi peringatan dini dapat disebarkan melalui media konvensional seperti sirene, hal ini juga tidak serta merta menyelesaikan masalah kemudahan lansia dalam mengakses informasi. Hal ini disebabkan karena lansia bisa saja tidak mampu mendengar sirene peringatan dikarenakan sirene peringatan yang jauh dari lokasi lansia berada ataupun lansia yang tidak bisa mendengar dengan baik dikarenakan memiliki gangguan pendengaran. Hal ini sesuai data di lapangan dimana menurut World Health Organization (WHO) lebih dari 25% populasi lansia terdampak dari gangguan pendengaran. Hal ini dapat menyebabkan lansia memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi peringatan darurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun