Laut adalah bagian dari bumi yang memiliki kapasitas lebih banyak ketimbang dengan daratan. bahkan lautan menyumbangkan banyak manfaat untuk kehidupan, kemajuan teknologi dan zaman serta untuk perekonomian dunia. Dalam perkembangannya, hukum laut internasional telah melalui banyak hal untuk sampai pada titik di mana tersusunnya aturan demi aturan untuk menjaga hak-hak  dan kelstarian laut di samping dengan terus mendukung kemajuan dan perkembangan zaman. salah satu hasil dari usaha tersebut adalah dengan terciptanya UNCLOS.
UNCLOS dapat lahir dan menjadi landasan hukum bagi beberapa negara dalam menyikapi berbagai macam masalah yang berkenan dengan laut karena sebelumnya di masa perkembangan hukum laut tradisional yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh Hugo De Groot dan para ahli lainnya yan g kemudian bertransformasi menjadi hukum laut modern dengan beberapa alasan seperti penduduk dunia semakin bergantung pada laut sebagai sumber kekayaan alam, karena pengetahuan dan teknologi terus maju dan berkembang serta karena negara-negara merdeka mulai bangkit yang mana mereka ingin melakukan perubahan dalam tata hukum laut yang ada sebelumnya yang selalu menguntungkan negara maritim maju. Di samping itu alasan lain atas berubahnya hukum laut tradisional menjadi hukum laut modern adalah karena lahirnya konsep-konsep baru seperti landas kontinen,jalur perikanan, ZEE,dan negara kepulauan.
Dari beberapa alasan tersebut akhirnya mendorong negara-negara PBB untuk melakukan konferensi dengan berekenan dengan hukum laut PBB tahun 1958 (I) 1960 (II) , 1973 - 1982 (III), hingga pada akhirnya berhasil merumuskan perkembangan-perkembangan baru yang kemudian tercantum dalam konvensi hukum laut PBB pada tahun 1958,1982 Â yang dikenal dengan UNCLOS.
UNCLOS adalah sebuah treaty yang lahir dari hasil konferensi-konferensi atau dari pertemuan bangsa-bangsa yang difasilitasi oleh perserikatan bangsa bangsa. pada tahun 1958 konferensi hukum laut yang pertama dilaksanakan di jenewa, yang kemudian menghasilkan 4 konvensi, yaitu tentang laut teritorial dan zona tambahan, tentang laut lepas, tentang perikanan dan perlindungan kekayaan hayati laut lepas dan tentang landas kontinen. Dirasa tidak menghasilkan apa yang diinginkan dari adanya pertemuan tersebut maka diputuskan adanya konferensi hukum laut lanjutan yang dilaksanakan pada tahun 1960 yang masih dilaksanakan di jenewa yang kemudian dinamakan dengan konferensi  Hukum Laut II namun sayangnya pada konferensi ini tidak menghasilkan suatu kesepakatan yaitu tentang rezim selat, tentang pendefinisian landas kontinen secara pasti dan perjuangan Indonesia terhadap wawasan nusantara.
Dikarenakan tidak menghasilkan suatu kesepakatan dalam konferensi ke dua, akhirnya dilaksanakanlah konferensi ke tiga yang dilaksanakan pada tahun 1982 yang sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1973 yang mana pertemuan terakhir dilaksanakan di Teluk Montego (Monteo Bay), Negara jamaica yang menghasilkan 1 konvensi yang terdiri dari XVII ab, 320 pasal dengan 9 annex atau lampiran. UNCLOS ke III tahun 1982 Â ini resmi diberlakukan sejak 10 desember 1982 sejak ditanda tangani oleh 119 negara termasuk Indonesia di Montego, Jamaika. sedangkan pada tanggal 16 November 1994 mulai berlaku efektif menjadi hukum Positif Internasional setelah ditandatangani oleh Negara Guyana sebagai negara terakhir yang menandatangani dokumen atau perjanjian tersebut sebagai negara penandatangan ke-60.
Dalam konferensi hukum laut ke III rupanya Negara Republik Indonesia memiliki peran aktif berupa kepulauan yang diusulkan oleh Indonesia melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957 dan diterimanya azan konsensus dalam merumuskan konvensi yang merupakan cerminan dari azas "Musyawarah untuk mufakat".
Pada saat ini UNCLOS II tahun 1982 tahun 1982 telah menjadi salah satu hukum internasional positif. sedangkan bagi indonesia  Indonesia Unclos III tahun 1982 juga telah mengikat sejak indonesia meratifikasi UNCLOS dengan UU no.17 Tahun 1985. oleh karena itu muncul atau timbul hak dan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS. konsekuensi dari hal tersebut  adalah dengan lahirnya UU no.6 Tahun 1996 tentang perairan indonesia, sebagai pengganti dari UU no.4/Prp/Tahun 1960 tetang perairan indonesia.
Konvensi ini memiliki arti yang sangat penting bagi Indonesia karena konsep Negara Kepulauan yang telah diperjuangkan oleh Indonesia selama 2 tahun secara terus menerus berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat Internasional. Pengakuan resmi secara internasional tersebut akhirnya mewujudkan satu kesatuan wilayah yang sesuai dengan deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang tidak lagi hanya sebatas klaim sepihak dari pemerintahan Indonesia saja. Menurut UNCLOS 1982, Negara Kepulauan adalah suatu negara yang mana seluru isinya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan juga dapat meliputi pulau-pulau lain. Negara Kepulauan juga dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar dari kepulauan tersebut.Â
Salah satu ketentuan konvensi tersebut adalah berkenaan dengan Zona ekonomi eksklusif Indonesia yang berada di perairan Natuna Utara yang seringkali mendapatkan masalah dari nakalnya kalap-kapal dari cina yang berani melakukan kegiatan eksploitasi tanpa izin di wilayah tersebut. Bukan hanya sampai di sana, selain tidak mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan apa pun di atas laut Natuna, bahkan mereka bersikukuh mengklaim secara sepihak atas hak eksploitasi di sana. Klaim yang bahkan tidak mendapatkan pengakuan sama sekali oleh hukum internasional hingga sampai saat ini.Â
Indonesia sendiri telah memiliki dasar hukum yang kuat dalam mempertahankan kedaulatannya di atas perairan Natuna. Indonesia telah menolah secara tegas atas klaim historis Tiongkok terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) do perairan Natuna. Indonesia mendapatkan 3 poin penting dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri, yaitu pertama, klaim akan historis Tiongkok atau China bahwasannya sudah sejak dulu nelayan China telah lama beraktivitas di perairan tersebut yang bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum, dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Indonesia juga menolak istilah ‘relevant waters’ yang diklaim Tiongkok karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Kedua, Indonesia mendesak Tiongkok untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982. Ketiga, berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan Tiongkok sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apapun tentang delimitasi batas maritim.Â