Kasus korupsi masih menjadi polemik dan kasus yang marak terjadi di Sistem Kepemimpinan Indonesia. Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, DPR, DPRD, PNS, bahkan Pemerintahan yang harusnya menjadi yang pertama untuk menegakkan hukum justru masih terdapat oknum -- oknum yang melakukan tindakan korupsi yang sangat merugikan masyarakat.Â
Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2020 yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara dengan skor 37 dari 100. Skor ini menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan membutuhkan upaya pemberantasan yang serius dan komprehensif. Upaya pencegahan korupsi telah banyak dilakukan untuk mengurangi korupsi di Indonesia, namun belum membuahkan hasil yang signifikan. Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya melibatkan penegakan hukum, tetapi juga pencegahan dan edukasi. Â Â
Salah satu aspek penting dalam edukasi pencegahan korupsi adalah Sifat Seorang pemimpin dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh calon -- calon penerus bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Gaya kepemimpinan yang baik akan memperbaiki cara atau karakteristik seorang pemimpin dalam mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi, dan mengendalikan bawahan atau anggota organisasi agar bekerja secara efektif dan efisien. Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi budaya, iklim, dan perilaku organisasi, termasuk dalam hal integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan demikian, dampak -- dampak dari gaya kepemimpinan tersebut akan membawa perubahan yang nyata terhadap kasus korupsi dengan memberikan kesadaran dalam diri masing -- masing pemimpin dan bawahannya bahwa korupsi adalah hal yang sangat merugikan bangsa dan negara serta masyarakatnya. Â
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi secara optimal, sekaligus menjaga nilai-nilai moral, etika, dan hukum. Pemimpin yang baik juga harus mampu menginspirasi, memberdayakan, dan mengembangkan potensi bawahan atau anggota organisasi, serta mendorong partisipasi, kolaborasi, dan inovasi. Selain itu, Pemimpin yang baik harus bersifat adaptif, fleksibel, dan responsif terhadap perubahan dan tantangan yang dihadapi organisasi. Dengan seorang pemimpin memiliki watak -- watak seperti itu, maka para bawahan nya akan meniru watak yang dicerminkan oleh pemimpin nya. Â
Salah satu tokoh yang dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang baik adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengkubuwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo yang lahir pada tahun 1892. Ia memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas Kudiarmadji dan kemudian berganti nama menjadi Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Namun, ia menanggalkan gelar dan kedudukan kebangsawannya dan memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa. Ia menjadi guru dari aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Bahagia. Ia juga dikenal sebagai filsuf, penulis, dan pendidik yang banyak memberikan sumbangsih bagi bangsa Indonesia.Â
Salah satu ilmu dan ajaran terkenal yang disebarkan oleh Ki Ageng Suryomentarem adalah Kawruh Begja atau Ilmu bahagia. Pada ajaran ini, terdapat konsep 6 " Sa " yang diperkenalkan oleh Ki Ageng SuryomentaremÂ
- Sa-butuhne ( Sebutuhnya ) : artinya kita harus hidup sederhana dan hemat, tanpa menghambur-hamburkan harta atau memboroskan waktu. Kita harus membedakan antara kebutuhan dan keinginan, antara penting dan tidak penting, antara mendesak dan tidak mendesak. Kita harus memprioritaskan hal-hal yang bermanfaat dan berguna, tanpa tergoda oleh hal-hal yang sia-sia dan mubazir. Dengan begitu, kita akan merasa cukup dan puas dalam hidup.
- Sa-perlune ( Seperlunya ) : artinya kita harus berbuat sesuai dengan tujuan dan maksud yang kita inginkan, tanpa menyimpang atau mengada-ada. Kita harus memiliki rencana dan strategi yang jelas dan terarah, tanpa asal-asalan atau sembarangan. Kita harus berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh dan tekun, tanpa malas atau menyerah. Kita harus mengukur dan mengevaluasi hasil dan dampak yang kita capai, tanpa sombong atau puas diri. Dengan begitu, kita akan merasa berhasil dan berkembang dalam hidup. Â
- Sa-cukupe ( secukupnya )Â : artinya kita harus mengenal dan menghargai kemampuan dan keterbatasan yang kita miliki, tanpa membanding-bandingkan atau merendahkan diri. Kita harus belajar dan berlatih untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi dan bakat yang kita punya, tanpa meniru atau mencontek orang lain. Kita harus berani dan percaya diri untuk menunjukkan dan mengekspresikan diri kita, tanpa takut atau ragu. Kita harus bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan kepribadian dan karakter kita, tanpa palsu atau hipokrit. Dengan begitu, kita akan merasa unik dan berharga dalam hidup.
- Sa-benere ( sebenarnya ) :Â artinya kita harus mengakui dan menghadapi kenyataan dan kebenaran yang ada, tanpa berbohong atau menipu. Kita harus jujur dan transparan dalam ucapan dan perbuatan kita, tanpa dusta atau manipulasi. Kita harus kritis dan objektif dalam pandangan dan pendapat kita, tanpa prasangka atau fanatisme. Kita harus terbuka dan toleran dalam sikap dan perilaku kita, tanpa munafik atau diskriminasi. Dengan begitu, kita akan merasa jernih dan damai dalam hidup. Â
- Sa-mesthine ( semestinya ) : artinya kita harus menjalankan dan memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang kita emban, tanpa mengelak atau menunda-nunda. Kita harus taat dan patuh kepada aturan dan norma yang berlaku, tanpa melanggar atau menentang. Kita harus hormat dan sopan kepada orang yang lebih tua dan berpengalaman, tanpa sombong atau kurang ajar. Kita harus peduli dan tolong-menolong kepada orang yang lebih muda dan membutuhkan, tanpa acuh atau egois. Dengan begitu, kita akan merasa terhormat dan bermanfaat dalam hidup.
- Sak penake ( seenaknya ) : artinya kita harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada, tanpa memaksakan kehendak atau menuntut hak. Kita harus menerima apa adanya, tanpa mengeluh atau meratapi nasib. Kita harus bersyukur atas apa yang kita miliki, tanpa iri atau dengki. Kita harus berdamai dengan diri sendiri, tanpa merasa bersalah atau minder. Dengan begitu, kita akan merasa nyaman dan tenang dalam hidup. Â
6 " Sa " dalam konsep ini memberikan salah satu kunci dalam menggapai hidup yang bahagia, yaitu mengendalikan keinginan kehidupan. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan keinginan yang ada pada dirinya jika keinginan itu sudah melanggar salah satu dari 6 " Sa " yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentarem. Dengan kemampuan pengendalian diri, seorang pemimpin dan bawahan nya akan dapat terhindar dari keinginan melakukan tindak korupsi. Â Â
Selain Konsep 6 " Sa ", Ki Ageng Suryomentarem juga memperkenalkan konsep " Mulur, Mungkret ". Konsep " Mulur, Mungkret " menjabarkan tentang gejolak pergerakan keinginan manusia dan dampak nya kepada kebahagiaan hidup seseorang. Pada konsep ini, Ki Ageng Suryomentarem menjelaskan bahwa keinginan pada diri manusia bersifat " Mulur " dan  " Mungkret " yang makna nya keinginan manusia akan meningkat atau menyusut tergantung dengan kondisi yang sedang dialami.Â
Keinginan manusia akan mulur apabila sudah mencapai keberhasilan dalam hidup, seperti jabatan, kekuasaan, atau kepuasan. Pada kondisi ini, seseorang akan cenderung mulur atau meningkatkan keinginan nya secara serakah. Namun, keinginan manusia akan mungket ketika dirinya berada dalam kegagalan dalam mencapai atau menggapai sesuatu, maka keinginan seseorang cenderung akan mungkret atau menyusut dan menurun. Â
Pada konsep " Mulur, Mungkret ", Ki Ageng Suryomentarem mengajarkan bahwa semua hal adalah fana, sementara, dan dapat hilang sewaktu -- waktu. Seorang pemimpin, harus bisa menganggap bahwa jabatan dan kekuasaan yang dimiliki nya adalah sebuah hal yang sementara, sehingga dapat menghindarkan seorang pemimpin dari sifat serakah dan mengambil suatu hal yang bukan hak nya. Seorang pemimpin yang bisa mengimplementasikan ajaran " Mulur, Mungket " akan dapat mengontrol diri untuk selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki dan menghindarkan nya dari keburukan - keburukan seperti korupsiÂ
Ki Ageng Suryomentarem juga mengajarkan tentang Mawas Diri, yaitu metode untuk mengolah rasa sebagai cara melatih diri untuk memimalh -- milah rasa yang ada pada diri sendiri. Ajaran mawas diri bertujuan untuk mengenal dan memahami diri sendiri sebagai jalan untuk mampu berpikir dan mengambil tindakan secara benar, sehingga dapat mencapai gelar " Menungso tanpo tenger " yaitu manusia tanpa ciri yang bahagia.Â
Dalam ajaran mawas diri yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentarem, terhadap 3 tahapan yang harus dilalui yaitu nyowong karep, memandu karep, dan membebaskan karepÂ
- Nyowong karep berarti mengamati keinginan-keinginan yang ada dalam diri. Tahap ini bertujuan untuk mengenali dan menyadari apa saja yang menjadi motivasi, tujuan, harapan, dan cita-cita seseorang. Tahap ini juga bertujuan untuk mengetahui apa saja yang menjadi hambatan, rintangan, masalah, dan konflik yang dihadapi seseorang. Nyowong Karep akan menumbuhkan  sikap jujur, terbuka, dan kritis terhadap diri sendiri, dan juga menumbuhkan kemampuan untuk membedakan antara keinginan yang positif dan negatif, serta antara keinginan yang realistis dan tidak realistis.
- Memandu karep berarti mengarahkan keinginan-keinginan tersebut sesuai dengan jalan alamiyah dan bertingkah laku benar. Memandu Karep bertujuan untuk menentukan prioritas, strategi, dan tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai keinginan-keinginan yang positif dan realistis. Selain itu, Memandu Karep juga bertujuan untuk menghindari atau mengatasi keinginan-keinginan yang negatif dan tidak realistis. Memandu Karep akan menumbuhkan sikap bijaksana, rasional, dan logis dalam mengambil keputusan. Selain itu, akan menciptakan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi, dan lingkungan yang ada.
- Membebaskan karep berarti melepaskan diri dari ketergantungan pada keinginan-keinginan yang timbul pada diri. Dengan dapat Membebaskan Karep, seseorang akan mencapai keadaan jiwa yang tenang, damai, dan bahagia, mencapai keadaan jiwa yang tidak terikat, tidak terpengaruh, dan tidak terganggu oleh keinginan-keinginan yang bersifat duniawi. Membebaskan Karep akan menumbuhkan sifat rendah hati, syukur, dan sabar dalam menerima hasil. Membebaskan Karep membutuhkan kemampuan untuk melepaskan diri dari ego, nafsu, dan emosi yang negatif. Â
Seorang Pemimpin yang dapat melalui 3 tahap untuk mencapai Mawas diri yaitu Nyowong Karep, Memandu Karep, dan Membebaskan Karep akan mampu menjadi pemimpin yang bijaksana, selalu bersyukur, memutuskan sesuatu secara benar dan takut untuk melakukan tindakan yang merugikan, serta menjadi pemimpin yang dapat mencegah adanya keburukan dan kecurangan yang terjadi pada sistem yang dipimpinnya.
Selain Konsep -- Konsep yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram tersebut, terdapat ajaran atau wejangan lain dari Ki Ageng Suryomentarem seperti Sifat -- sifat buruk yang harus di hindari dan di waspadai. Setidaknya terdapat 4 sifat buruk yang harus dihindari dan dihilangkan dari pribadi seseorang menurut Ki Ageng Suryomentarem yaitu Meri ( Iri Hati ), Pambegan ( Sombong, Angkuh ), Getun ( Kecewa pada keadaan yang telah terjadi ), Sumelang ( Khawatir, Was - was pada suatu hal dan keadaan yang belum terjadi )
- Meri ( Iri Hati )Â adalah sifat iri hati atau cemburu terhadap orang lain yang memiliki sesuatu yang lebih baik, seperti kekayaan, kecantikan, kekuasaan, atau keutamaan. Sifat ini menunjukkan bahwa seseorang merasa rendah diri dan tidak bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Sifat ini juga menimbulkan rasa benci, dengki, dan permusuhan dengan orang yang diiri. Sifat ini dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik seseorang, serta merusak hubungan sosial.
- Pambegan ( Sombong, Angkuh ) adalah sifat sombong atau angkuh terhadap diri sendiri atau kelompoknya yang merasa lebih unggul, lebih benar, atau lebih mulia dari orang lain. Sifat ini menunjukkan bahwa seseorang tidak memiliki kerendahan hati dan tidak menghormati perbedaan dan keragaman. Sifat ini juga menimbulkan rasa congkak, arogan, dan kasar dengan orang yang dianggap lebih rendah. Sifat ini dapat menutup diri dari pembelajaran dan kritik, serta menimbulkan konflik dan permusuhan.
- Getun ( Kecewa pada keadaan yang telah terjadi )Â adalah sifat menyesal atau menyesali sesuatu yang telah terjadi di masa lalu, baik karena kesalahan, kegagalan, atau kehilangan. Sifat ini menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat menerima kenyataan dan tidak dapat memaafkan diri sendiri atau orang lain. Sifat ini juga menimbulkan rasa bersalah, sedih, dan putus asa dengan masa depan. Sifat ini dapat menghambat perkembangan dan kemajuan diri, serta mengurangi kualitas hidup.
- Sumelang ( Khawatir, Was - was pada suatu hal dan keadaan yang belum terjadi ) adalah sifat khawatir atau cemas terhadap sesuatu yang belum terjadi di masa depan, baik karena resiko, ancaman, atau ketidakpastian. Sifat ini menunjukkan bahwa seseorang tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak memiliki harapan yang baik. Sifat ini juga menimbulkan rasa takut, gelisah, dan stres dengan masa depan. Sifat ini dapat mengganggu konsentrasi dan produktivitas, serta menurunkan kesehatan mental dan fisik
Memiliki salah satu dari sifat - sifat buruk menurut Ki Ageng Suryomentarem tersbut dapat mengakibatkan seseorang menyimpan rasa luka yang dapat membuat nya kehilangan kepercayaan terhadap sesuatu dan dapat menyebabkan celaka yang berkelanjutan pada diri nya sendiri, seperti gangguan pada mental dan fisik.Â
Seorang pemimpin tidak boleh memiliki sifat-sifat buruk tersebut menurut Ki Ageng Suryomentaram dalam memimpin suatu sistem, karena sifat-sifat tersebut dapat merugikan diri sendiri, bawahan, dan masyarakat.
- Sifat Meri ( Iri Hati ) dapat membuat seorang pemimpin tidak mampu menghargai dan mengakui prestasi dan kontribusi bawahan atau orang lain, sehingga dapat menurunkan motivasi, loyalitas, dan kerjasama mereka. Sifat ini juga dapat membuat seorang pemimpin melakukan tindakan yang tidak etis, seperti mencuri, menipu, atau merusak hak dan harta orang lain, sehingga dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan sosial. Â
- Sifat Pambegan ( Sombong, Angkuh ) dapat membuat seorang pemimpin tidak mampu menerima kritik, saran, atau masukan dari bawahan atau orang lain, sehingga dapat menghambat perkembangan dan kemajuan diri dan organisasi. Sifat ini juga dapat membuat seorang pemimpin melakukan tindakan yang tidak bijaksana, seperti memaksakan kehendak, menyalahgunakan wewenang, atau mengabaikan kepentingan bersama, sehingga dapat menimbulkan konflik dan permusuhan.
- Sifat Getun ( Kecewa pada hal dan keadaan yang belum terjadi ) dapat membuat seorang pemimpin tidak mampu belajar dari kesalahan, kegagalan, atau kehilangan di masa lalu, sehingga dapat mengurangi kinerja, produktivitas, dan kreativitas diri dan organisasi. Sifat ini juga dapat membuat seorang pemimpin melakukan tindakan yang tidak produktif, seperti menyalahkan diri sendiri atau orang lain, menyerah, atau mengisolasi diri, sehingga dapat mengurangi kualitas hidup. Â
- Sifat Sumelang ( Khawatir, Was - was pada suatu hal dan keadaan yang belum terjadi )Â dapat membuat seorang pemimpin tidak mampu menghadapi resiko, ancaman, atau ketidakpastian di masa depan, sehingga dapat mengurangi kepercayaan diri, harapan, dan optimisme diri dan organisasi. Sifat ini juga dapat membuat seorang pemimpin melakukan tindakan yang tidak rasional, seperti menghindari, menunda, atau mengambil keputusan yang buruk, sehingga dapat mengurangi peluang dan potensi.
Menurut Ki Ageng Suryomentarem, Pemimpin harus bisa menghilangkan sifat - sifat buruk tersebut agar bisa menjadi pemimpin yang baik dan menjadi cerminan yang baik bagi bawahannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar dapat terhindar dari sifat - sifat buruk tersebut adalah dengan menerapkan konsep Mawas Diri, yaitu Nyowong Karep, Memandu Karep, dan Membebaskan Karep Sehingga, seorang Pemimpin dapat mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi secara optimal, sekaligus menjaga nilai-nilai moral, etika, dan hukum, salah satu nya mencegah dan menghentikan kasus korupsi yang terjadi di sistem yang ia pimpin.
Selain Mawas Diri, Ki Ageng Suryomentarem juga mengajarkan untuk Meminimalkan atau Nolkan " Sesal, Kuatir ", yaitu meminimalkan rasa penyesalan yang ada dalam diri, karena Ki Ageng Suryomentarem mengajarkan bahwa tidak mungkin seseorang susah selama lebih dari tiga hari atau senang lebih dari tiga hari, karena hidup selalu berganti antara susah dan senang. Oleh karena itu, seseorang harus bersikap sewajarnya, tidak berlebihan atau berkekurangan, dan bersyukur atas apa yang dimiliki. Ki Ageng Suryomentaram mengatakan:
"Salumahing bumi, sakurebing langit punika boten wonten barang ingkang pantes dipun padosi kanti mati-matian, utawi dipun ceri-ceri dipun tampik kanti mati-matian."
( Di atas bumi, di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari secara mati-matian, ataupun dihindari atau ditolak secara mati-matian. )
Selain meminimalkan rasa sesal, Ki Ageng Suryomentarem juga mengajarkan untuk meminimalkan rasa kekhawatiran yang ada pada diri . Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian. Oleh karena itu, seseorang harus bersiap menghadapi segala kemungkinan, dan tidak takut mati. Ki Ageng Suryomentaram mengatakan:
"Maringipun boten wonten ingkang saged dipun pasthiaken, kajaba pati. Pati punika ugi boten wonten ingkang saged dipun pasthiaken, kajaba Gusti. Gusti punika ugi boten wonten ingkang saged dipun pasthiaken, kajaba diri dhewe."
( Dalam hidup ini tidak ada yang bisa dipastikan, kecuali mati. Mati pun juga tidak ada yang bisa dipastikan, kecuali Tuhan. Tuhan pun juga tidak ada yang bisa dipastikan, kecuali diri sendiri. )
Selain itu, Ki Ageng Suryomentarem juga mengajarkan " Meruhi Gagasane Dewe ", yaitu Ajaran untuk mengajak manusia untuk melakukan introspeksi dan refleksi terhadap diri sendiri, baik dalam hal fisik, mental, maupun spiritual. Ajaran ini juga mengajak manusia untuk mengenali potensi, kelebihan, kekurangan, keinginan, dan tujuan hidupnya. Ajaran ini bertujuan untuk membantu manusia mencapai kebahagiaan yang sejati, yaitu hidup sewajarnya, tidak berlebihan dan tidak berkekurangan.
Ki Ageng Suryomentaram mengatakan:
"Meruhi gagagsane dewe punika kawruh ingkang paling ageng, kawruh ingkang paling suci, kawruh ingkang paling bungah. Meruhi gagagsane dewe punika kawruh ingkang paling kathah, kawruh ingkang paling nista, kawruh ingkang paling susah."
( Mengetahui keadaan diri sendiri adalah ilmu yang paling agung, ilmu yang paling suci, ilmu yang paling bahagia. Mengetahui keadaan diri sendiri adalah ilmu yang paling banyak, ilmu yang paling hina, ilmu yang paling susah. )
Seorang pemimpin harus memiliki "Meruhi Gagasane Dewe" karena hal ini dapat membantu seorang pemimpin untuk menjadi lebih efektif, efisien, dan etis dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Â Mengetahui keadaan diri pada seorang pemimpin dapat membuat seorang pemimpin lebih efektif, efisien, dan etis dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu, mengendalikan dan melepaskan kekhawatiran diri seorang pemimpin dapat menjaga kesehatan mental dan fisiknya, serta menghindari stres, depresi, dan konflik. Hal ini juga dapat membantu seorang pemimpin untuk menjaga nilai-nilai moral, etika, dan hukum, serta menghindari korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan mengenai rasionalitas " efektif " ( akal budi, rasa, dan naluri ) dan rasionalitas "akomodatif " Â Â
Rasionalitas reflektif ( akal budi, rasa, dan naluri ) adalah rasionalitas yang tidak hanya berdasarkan pada logika, tetapi juga pada rasa atau afeksi. Rasionalitas ini menggabungkan antara akal dan hati, antara pikiran dan perasaan, antara ilmu dan iman. Rasionalitas ini mencerminkan sikap kritis, kreatif, dan komprehensif dalam memahami dan menyelesaikan masalah hidup. Â Rasionalitas ini juga mencerminkan sikap terbuka, toleran, dan empatik dalam berhubungan dengan sesama manusia
Rasionalitas akomodatif adalah rasionalitas yang tidak hanya berdasarkan pada prinsip, tetapi juga pada situasi. Rasionalitas ini menggabungkan antara ideal dan real, antara norma dan konteks, antara hukum dan kemanusiaan. Rasionalitas ini mencerminkan sikap bijaksana, rasional, dan logis dalam mengambil keputusan dan tindakan. Â Rasionalitas ini juga mencerminkan sikap adaptif, fleksibel, dan responsif dalam menghadapi perubahan dan tantanganÂ
Wejangan mengenai Rasionalitas Reflektif dan Rasionalitas Akomodatif mengajarkan mengenai dua sisi kawruh jiwa, yaitu ilmu tentang kebahagiaan. Pemimpin harus bisa mengimplementasikan rasionalitas " Reflektif " dan rasionalitas " Akomodatif " agar saling melengkapi sifat kepemimpinan dalam memutuskan suatu hal secara benar, efektif, dan efisien.
Pada buku " Kawruh Jiwa " yang ditulis oleh Ki Ageng Suryomentareng, terdapat sebuah bagian yang berisi wejangan " Pangawinkan Pribadi ". Wejangan Ki Agung Suryomentarang " Pangawinkan Pribadi " adalah sebuah konsep yang mengajarkan tentang pentingnya memahami diri sendiri sebagai jalan menuju kebahagiaan dan kebenaran. Pangawinkan Pribadi berarti pengertian terhadap rasanya sendiri, karena jiwa adalah rasa. Dengan melakukan Pangawinkan Pribadi, seseorang dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya, serta mengendalikan keinginan dan emosinya yang dapat mengganggu keseimbangan jiwa.
Wejangan ini memiliki tujuan untuk mengendalikan keinginan yang ada dalam diri seorang pemimpin agar tetap sesuai dengan konsep 6 " Sa " yaitu, Sa-Butuhne ( Sebutuhnya ), Sa-Perlune ( Seperlunya ), Sa-Cukupe ( Secukupnya ), Sa-Benere ( Sebenarnya ), Sa-Mesthine ( Semestinya ), dan Sa-Penake ( Seenaknya ). Dalam " Pangawinkan Pribadi ", terdapat konsep "Semat, Derajat, Kramat" Â yang mengajarkan tentang tiga hal yang sering menjadi tujuan hidup manusia, yaitu kekayaan dan kesenangan (semat), keluhuran dan kemuliaan (derajat), serta kekuasaan dan kepercayaan (kramat).Â
Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa ketiga hal tersebut tidak dapat memberikan kebahagiaan sejati, melainkan hanya sementara dan bersifat relatif. Kebahagiaan sejati hanya dapat diperoleh dengan memahami diri sendiri secara tepat, benar, dan jujur, yaitu dengan melakukan Pangawinkan Pribadi. Dalam diri seorang pemimpin, konsep "Semat, Derajat, Kramat" dapat menjadi pedoman untuk menghindari kesombongan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan.Â
Seorang pemimpin yang baik harus menyadari bahwa semat ( Kekayaan dan Kesenangan ), derajat ( Keluhuran dan Kemuliaan ), dan kramat ( Kekuasaan dan Kepercayaan ) yang ia miliki bukanlah miliknya sendiri, melainkan titipan dari Tuhan yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali. Seorang pemimpin yang baik juga harus menghargai dan menghormati semat, derajat, dan kramat orang lain, serta tidak merendahkan atau menghina mereka. Seorang pemimpin yang baik harus bersikap rendah hati, adil, dan bijaksana dalam menggunakan semat, derajat, dan kramat yang ia miliki untuk kesejahteraan dan kemajuan sistem yang dipimpin nya, bawahan nya, dan yang paling utama adalah tanggung jawab terbesar nya yaitu rakyat.
Seorang pemimpin yang mengejar semat, derajat, dan keramat akan menghalalkan segala cara untuk mendapat hal -- hal tersebut, sehingga akan menjadi pemimpin yang rawan korupsi, arogan, dan otoriter. Pemimpin yang tidak bisa mengimplementasikan Pangiwinkan Pribadi, akan Menuhankan Semat, Derajat, dan Keramat dan akan terus mempertahankannya dengan segala cara, termasuk dengan mengorbankan rakyat, merasa paling hebat, paling mulia, dan paling berkuasa, serta tidak mau mendengar kritik atau saran dari orang lain.
Salah satu penyebab maraknya korupsi di Indonesia adalah masih banyak orang - orang yang menuhankan Semat, Derajat, dan Kramat sehingga menghalalkan korupsi sebagai cara untuk mendapatkan kekayaan sebanyak - banyaknya dalam waktu sesingkat - singkatnya, meskipun hal tersebut sangat merugikan seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus selalu mengingat wejangan Ki Ageng Suryomentaram "Aja Dumeh" yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Seorang pemimpin harus selalu berusaha untuk melakukan Pangawinkan Pribadi, yaitu memahami dirinya sendiri dengan tepat, benar, dan jujur, sehingga ia dapat menjadi pemimpin yang baik, yang mampu membawa rakyatnya menuju kebahagiaan sejati
Kawruh Jiwa mengajarkan cara memahami diri sendiri (meruhi awakipun piyambak) secara tepat, benar, dan jujur, sehingga dengan sendirinya juga dapat memahami atau mengerti orang lain dan lingkungannya, tanpa bergantu pada tempat, keadaan, ataupun waktu ( Mboten Gumantung Papan, Wekdal Lan Kawontenan ). Kawruh Jiwa berdasar pada pengalaman, hasil pemikiran, dan logika dari Ki Agung Suryomentarem, bukan berdasar pada hal - hal klenik Jawa ataupun hal mistis atau ghaib dan takhayul. Kawruh Jiwa memiliki beberapa persamaan dengan Trait Theories of Leadership.Â
Trait theories of leadership adalah teori yang berusaha menjelaskan kepemimpinan berdasarkan karakteristik atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh pemimpin. Teori ini berasumsi bahwa sifat-sifat seperti Adaptabilitas dan fleksibilitas, Asertivitas, Keberanian dan keteguhan, dan Kreativitas dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja pemimpin dalam berbagai situasi. Teori ini juga menganggap bahwa sifat-sifat kepemimpinan dapat dipelajari dan dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman, dan latihan.
Baik Kawruh Jiwa dan Trait Theories of Leadership, keduanya berasal dari hipotesa bahwa Gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh karakteristik atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh pemimpin. Keduanya juga berusaha mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sifat-sifat yang membedakan pemimpin dari pengikut, atau pemimpin yang sukses dari yang gagal.Â
Namun, terdapat sebuah perbedaan mendasar antara Kawruh Jiwa " "mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan" oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan Trait Theories of Leadership
- Kawruh Jiwa "Mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan" adalah sebuah konsep filosofis yang berasal dari kebudayaan Jawa, yang berarti "tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan". Konsep ini menggambarkan sikap hidup yang mandiri, tenang, dan bijaksana, yang tidak mudah terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal. Konsep ini juga mencerminkan pandangan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat manusia, yang merupakan bagian dari kawruh jiwa atau ilmu pengetahuan diri.
- Trait Theories of Leadership adalah sebuah paradigma ilmiah yang berasal dari Barat, yang berusaha menjelaskan fenomena kepemimpinan secara empiris, rasional, dan objektif. Paradigma ini menghasilkan berbagai penelitian dan teori yang berbeda-beda, yang mencoba mengukur dan menguji validitas sifat-sifat kepemimpinan. Paradigma ini juga mencakup berbagai kritik dan kontroversi yang menantang asumsi-asumsi dan metodologi yang digunakan.
Perbedaan yang mendasar ini terdapat pada metodologi yang digunakan oleh Ki Agung Suryomentarang, yaitu menggunakan pengalaman dan pemikiran filosofis tentang diri manusia dan sifat baik buruknya. Sementara Trait Theories of Leadership menggunakan teori - teori yang tercipta dari sebuah fenomena kepemimpinan.
Ajaran - ajaran Ki Agung Suryomentarem adalah warisan spiritual yang sangat berharga, yang dapat memberikan inspirasi dan pencerahan bagi siapa saja yang ingin mencari kebahagiaan sejati. Seorang pemimpin yang mampu menerapkan semua ilmu yang diajarkan seperti konsep 6 " Sa " yaitu, Sa-Butuhne ( Sebutuhnya ), Sa-Perlune ( Seperlunya ), Sa-Cukupe ( Secukupnya ), Sa-Benere ( Sebenarnya ), Sa-Mesthine ( Semestinya ), dan Sa-Penake ( Seenaknya ), Konsep " Mulur, Mungkret ", Konsep Mawas Diri " nyowong karep, memandu karep, dan membebaskan karep " dan mampu menghilangkan sifat buruk Meri ( Iri Hati ), Pambegan ( Sombong, Angkuh ), Getun ( Kecewa pada keadaan yang telah terjadi ), Sumelang ( Khawatir, Was - was pada suatu hal dan keadaan yang belum terjadi ) akan menjadikan pemimpin tersebut sebagai pemimpin yang baik, berintegritas, rendah hati, dan tidak akan mengambil pilihan yang hanya menguntungkan diri nya sendiri, sehingga dapat mencegah banyak nya kasus kepemimpinan yang terjadi, seperti korupsi
Sumber :
BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf (uin-suka.ac.id)Â
Afif, Afthonul, Matahari dari Mataram, Menyelami Spiritalitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (Depok: Penerbit Kepik, 2012)Â
Mantyasih, Ki Ageng, Kawruh Begja Sawetah; Jabaran Ilmu Keberuntungan Ki Ageng Suryomentaram (Semarang: Dahara Prize, 2013).Â
Rusdy, Sri Teddy, Epistemologi Ki Ageng Suryomentaram, Tandhesan Kawruh Bab Kawruh (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014)Â
Abd. Muid N., Mulawarman Hannase, Abdullah Safei, Tasawuf Qurani Jawi Ki Ageng Suryomentaram Studi Kawruh Jiwa
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H