Mohon tunggu...
Muhammad Rifki Kurniawan
Muhammad Rifki Kurniawan Mohon Tunggu... Insinyur - Artificial Intelligence Engineer

Artificial Intelligence Engineer di Nodeflux, startup Vision AI di Indonesia. Tertarik dalam eksplorasi dan diskursus mengenai Artificial Intelligence, Machine Learning dan Computer Vision.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Siapa yang Menciptakan Hoaks dan Apa Motivasinya?

16 Oktober 2017   19:07 Diperbarui: 17 Oktober 2017   07:14 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hoax sebetulnya bukan merupakan sebuah fenomena baru. Namun, istilah ini menjadi populer sejak berkembangnya era digital seperti saat ini. Era digital membuat pernyebaran informasi menjadi lebih cepat dengan persebaran yang lebih masif, sehingga perkembangan hoax sebagai bagian dari informasi juga berjalan sebanding dengannya. Pada tulisan saya sebelumnya telah dibahas mengapa hoax bisa menyebar dengan cepat dan viral berdasarkan faktor manusia dalam mencerna informasi dan tingkah lakunya. 

Hasil penelitian beberapa peneliti menunjukkan bahwa kecepatan informasi, kurang perhatian dalam mencerna informasi, dan kemampuan mencerna informasi dapat menjadi faktor percepatan penyebaran berita palsu. Sehingga dapat dikatakan kemampuan kognitif dan emosional menjadi faktor utamanya. Namun, benarkah faktor tersebut merupakan penyebab terbesar masif dan viralnya penyebaran berita palsu? Lalu mengapa negara dengan sistem pendidikan yang baik, angka literasi yang tinggi dengan 5 dari 10 kampus terbaik di dunia berada seperti Amerika Serikat tetap bisa menjadi korban virus berita palsu.

Dalam penelitian tentang pemilihan presiden AS tahun 2016, Hunt Allcott dari New York University dan Matthew Gentzkow, Profesor Ekonomi Stanford University, mendapatkan bahwa terdapat 156 berita yang teridentifikasi sebagai berita palsu, yang uniknya berita ini bisa mencapai jumlah share lebih tinggi daripada berita-berita lain pada situs web jurnalis mainstream. Dari 156 berita, dapat dikategorikan 115 pro-Trump dan 41 lainnya pro-Clinton. Yang mencenangkan adalah berita ini telah diklik sebanyak 760 juta kali, dengan pencapaian share hingga 37.6 juta kali. 

Sehingga dapat dikatakan bahwa berita palsu tidak kalah populernya dengan berita mainstream lain. Dari sisi eknomi, pencapaian ini merupakan cara baru yang cukup menguntungkan dalam menciptakan uang. Satu klik dengan jumlah kunjungan yang besar dapat memberikan keuntungan besar pada pemilik situs web. Selain itu, banyak kunjungan pada suatu situs web dapat menciptakan lahan periklanan yang potensial. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menciptakan hoax dan  dan apa motivasinya? Mencari keuntungan finansial ataukah kepentingan politik?

Forward-Looking Threat Research, sebuah tim peneliti yang memperhatikan masa depan internet dan evolusinya, dalam penelitiannya menyatakan bahwa kedua faktor, ekonomi dan kepentingan politik, berperan dalam memotivasi pemilik situs web berita palsu dalam mencipatakan beritanya. Dari penelitiannya, didapatkan bahwa mayoritas berita palsu memiliki konten bermuatan politik yang bertujuan untuk kepentingan politik atau disebut propaganda politik. Meskipun ada beberapa berita yang tidak mengangkat politik sebagai objek beritanya secara langsung, beberapa berita bertujuan mengarahkan pembaca dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan isu politik. Mereka bekerja dengan merubah presepsi publik "cognitive hacking" guna merubah keputusan politiknya.

Dalam pemilihan umum presiden AS misalnya, invetigasi oleh BuzzFeed dan The Guardian mendapati bahwa terdapat lebih dari 100 situs web berita palsu yang dikendalikan oleh remaja-remaja dari kota kecil Vales, Macedonia. Beberapa situs web yang lain, seperti NationalReport.net, USAToday.com.co, and WashingtonPost.com.co mengklaim mereka mempekerjakan 20-25 penulis untuk artikel-artikelnya. Paul Horner, pemilik situs web berita palsu NationalReport.net, melakukan pekerjaannya ketika pemilihan presiden 2016 lalu yang sebagian besar artikelnya berisi dukungan terhadap Trump. 

Namun, tidak semua situs web benar-benar termotivasi atas dasar politik, beberapa yang lain bertujuan untuk mencari keuntungan semata. Salah satu yang benar-benar bertujuan politik adalah seperti Endingthefed.com, salah satu situs web berita palsu memiliki kepentingan politik atas persamaan ideologi. Mereka mengklaim dibuat memang bertujuan mendukung Trump agar menang dalam pemilihan presiden 2016.

Sementara, secara finansial bisnis berita palsu merupakan cara baru mencari uang yang sangat potensial. Infowars.com, salah satu situs web berita palsu tentang teori konspirasi bisa meraup viewer dan visitor yang sama besar dengan Chicago Tribune dengan hanya membuat berita palsu. Mereka bisa mendapatkan uang dari bisnis iklan pada situs webnya, meskipun pada situs webnya berita palsu dihargai lebih murah dari situs web populer lainnya. Seperti juga yang dilakukan oleh beberapa remaja di kota Vales yang memproduksi berita palsu, baik pro-Trump maupun pro-Clinton, untuk tujuan meraup keuntungan hingga puluhan ribu dolar. 

Hunt Allcott dan Matthew Gentzkow menemukan bahwa mereka tidak memiliki tujuan politik apapun terhadap konten yang dibuat, semua dilakukan karena keuntungan finansial. Seperti juga yang dilakukan oleh Paul Horner, dia bukan merupakan pendukung Trump, yang dilakukan hanyalah mencari keuntungan. Sehingga dapat dikatakan antara Endingthefed.com dan NationalReport.netmemiliki tujuan yang berbeda, meskipun keduanya sama-sama menciptakan berita palsu dan dampaknya sama-sama buruk terhadap presepsi publik.

Dari dalam negeri, perusahaan pembuat berita palsu dapat kita lihat seperti pada Saracen. Di mana, Saracen merupakan organisasi bisnis pembuat berita palsu. Mereka dibayar untuk membuat konten berita palsu yang kemudia disebar kepada publik. Meskipun sampai saat ini masih belum bisa dimengerti apa motivasi sebenarnya karena masih didalami oleh pihak kepolisian. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa perusahaan seperti Saracen ini bisa jadi tidak hanya satu di Indonesia. Masih banyak lagi perusahaan lain yang bermodus sama yang belum teridentifikasi seperti pada kasus di AS, pun dengan motivasi dan pola yang sama. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pihak di luar Indonesia bisa terlibat dalam bisnis menggiurkan ini. 

Mengingat bahwa dalam dunia internet, tidak ada lagi batas di antara negara, semua serba dekat, bebas, dan terbuka. Sehingga dapat dikatakan, berita palsu bisa menjadi viral tidak hanya karena dangkalnya kemampuan kognitif dan buruknya kecerdasan emosional pembaca, namun juga bisa disebabkan oleh perusahaan-perusahaan pembuat jasa berita palsu seperti Saracen, Endingthefed.com dan NationalReport.netyang tidak hanya menawarkan konten tetapi juga menawarkan pangsar pembaca yang besar dan jaringan yang luas. Maka dari itu, peran pemerintah dan aparat sangat dibutuhkan dalam mengidentifikasi jaringan pembuat berita palsu ini dan menindaknya dengan tegas. 

Selain itu, peran pengusaha baik penyedia jasa media sosial dan juga para pemilik media jurnalis dibutuhkan dalam menciptakan inovasi melawan berita palsu ini. Dan juga yang paling penting adalah seperti yang dikatakan Professor Art Markman dari University of Texas, bahwa hoax dapat dihindari dengan berhati-hati dan meluangkan waktu untuk memikirkan wacana dan opini yang dibawa sebuah informasi. Jadi, tetap yang terpenting adalah kemampuan manusianya dalam mencerna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun