Kita hidup di dunia yang sudah cukup tua. Umurnya fisiknya mungkin sudah milyaran tahun sedangkan umur peradabannya mungkin sudah lebih dari 10 ribu tahun. Silih berganti cerita dunia telah ditorehkan di kanvas dunia. Â Dari sejak nabi Adam sampai Muhammad, atau jaman Emperium Yunani, Romawi, China, Persia atau Islam.
Dunia telah dipenuhi berbagai mozaik cerita. Entah itu cerita kebaikan, atau kejahatan, kemenangan atau kekalahan. Ribuan film dan lagu telah dihasilkan, jutaan kisah telah ditulis. Hanya untuk menceritakan tentang hal yang sama. Apalagi kalau bukan tentang "DUNIA" dan pernak-perniknya. Indah, jelek, sedih dan duka, merajut menjadi satu.
Sebagaimana yang pernah saya tulis di artikel-artikel sebelumnya, bahwa kita selalu memiliki pilihan untuk memerankan lakon apa dalam kehidupan. Seyogyanya, lakon manusia modern bisa lebih baik dari manusia "jadul" atau tempo "doeloe".Â
Mengapa?, tidak lain karena kita telah mengetahui sejarah lengkap mereka. Kita mengetahui apa yang menyebabkan jatuh bangunnya peradaban dan hina mulianya individu yang mengisi dunia.
Itu kalau kita pakai kata "seharusnya", tapi kenyataannya?
Manusia kini ternyata menghadapi komplikasi kehidupan. Menjadi sulit dan serba salah dalam memilih figur termasuk dalam memilih mode peradaban apa yang akan diciptakan. Alih-alih menjadi lebih manusiawi dari "manusia tempo doeloe", manusia kini malah yang banyak terjebak ke dalam ambiguitas kepribadian.Â
Atau dalam bahasa sederhananya, kehilangan jati diri. Ditiup angin Barat ikut ke Barat dan ditiup Angin Timur, lalu ikut ke Timur. Â Bahkan ada yang tidak tahu, angin apa yang harus diikuti. Maaf, itu saya lho..:)
Tuhan sebagai Pencipta dunia jauh-jauh hari telah memberitahukan kondii silih bergantinya jaman ini kepada manusia. Dalam Alquran, Surat Yunus ayat 13-14, Dia berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman.
Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami melihat bagaimana (pula) kamu berbuat."
Lihat , ayat di atas sebenarnya bisa dianggap sebuah "sindiran".Â
Lho, mengapa sindiran?
Tuhan menjelaskan bahwa Ia telah membinasakan para perusak dunia dan pembangkang perintahnya. Siapa mereka?, Â tentu saja yang dimaksud adalah umat-umat seperti Kaum Sodom, Umat Nuh, Emperium Fir'aun, Kaum Saba' atau kaum-kaum pembangkang lainnya.
Namun, ayat 14 seharusnya membuat kita intropeksi. Mengapa?
Tuhan ternyata memberi kesempatan kepada kita untuk juga menunjukkan prestasi apa yang kita torehkan di dunia ini. Tentu saja setelah membaca kisah-kisah para pembangkang Allah.
Tuhan mau melihat, bagaimana pula manusia memperlakukan dunia dan kehidupan di atasnya setelah mereka mencemooh pelaku sejarah masa lalu.
Jangan-jangan....??
Ketika membaca kisah Fir'aun, dan mencemooh kesombongan dan kezalimannya, mentertawakan nasib tragisnya di Laut Merah, namun, tanpa disadari prilaku "Fir'aun" ternyata telah diduplikasi dan dipraktikkan oleh sebagian manusia.
Atau, ketika membaca kisah Qarun, kita menjadikannya bahan dongeng anak sebelum tidur dan berkata, "Nak, dulu ada orang kaya sombong, pelit dan serakah, lalu ditelan bumi, itulah asal muasal harta Qarun...dst,"
Lalu, dengan sengaja atau tidak, kita-pun melakoni tingkah yang sama. Bahkan, bisa lebih parah dari Qarun..!!! Kita menjadi sombong, jauh dari Tuhan, pelit dan rakus.
Atau, ketika membaca kisah perjuangan para penegak kebenaran, kita memuji mereka, berduyun-duyun antri di loket hanya untuk menonton film mereka.Â
Kita seakan-akan menjadikan mereka sebagai model pribadi yang harus ditiru anak-anak kita, namun hanya sebatas itu saja. Tidak lebih dari itu, karena kita pun tersenyum kecut dan sebegitu takutnya jika benar-benar menjadi seperti mereka. Kita takut menjadi orang baik !!!,:)
Untuk konteks Indonesia, ada ratusan kisah epik dan kepahlawanan di negeri ini. Dari Sabang sampai Meurake, beribu pahlawan telah menghiasi buku-buku sejarah negeri ini. Lalu, apakah kita masih kesulitan untuk memilih tipikal pahlawan seperti apa yang bisa kita "patri-kan" ke dalam diri kita? Wong, memasang bendera merah putih saja kita kadang enggan dan lupa? :)
Ayat di atas sangat tepat dibawa ke konteks Indonesia.
Kita pekikkan "hancurkan penjajah", kita benci penjajah karena membuat terpasung, miskin dan terkebelakang. Lalu ketika kemerdekaan telah dicapai, jangan-jangan....?
Sejarah Indonesia pernah mencatat tentang era Reformasi setelah sebelumnya "mencemooh dan mentertawakan" Orde Baru. Lalu, Tuhan ingin melihat dan bertanya, apa pula yang kalian lakukan di Era Reformasi ini, lebih baik atau burukkah? Jangan-jangan......?
Kalau mau test sederhana, ini dia... Â
Kita punya sejarah kelam tentang asap dan penanggulangannya. Kita kesal, jengkel dan bahkan mencemooh dan menghujat pelaku dan biang kerok di belakangnya. Nah, kita akan lihat tahun depan?. Akankah terulang kembali?. Jangan-jangan... Â
Banyak pemisalan dan studi kasus yang bisa kita kaitkan dengan ayat 13-14 surat Yunus di atas. Namun, saya kok semakin dekat pada kesimpulan, bahwa manusia memang susah sekali belajar dari masa lalu. Â Manusia masa kini terlihat lebih senang "mengoleksi" cerita sejarah ketimbang mempraktikkannya. Beritahu saya, jika salah ya...
Tapi, sudahlah,
Yuk, torehkan saja sejarah kita sendiri dan, Let The World Tell Your Story.Â
Biarkan dunia menceritakan kisahmu. Walaupun, dunia mungkin hanya mampu menukil sedikit saja dari kisah hidupmu untuk dikisahkan pada generasi setelah kita.
Atau mungkin saja dunia malah menuliskannya dengan tinta sangat halus dan berkata  "MAAF BRO, KAMU TIDAK BISA KUCERITAKAN KARENA MEMANG TIDAK PUNYA KISAH MENARIK UNTUK DICERITAKAN, SORRY, COBA LIHAT SAJA CATATAN LANGIT, MUDAH-MUDAHAN DI SANA ADA".
Apakah kisah kita juga ada tertulis dengan tinda emas di catatan langit ?, Jangan-jangan?...Tidak ada...!!!
Merdeka, Merdeka, Merdeka...!!!!,
Jangan terlalu serius membaca tulisan ini ya:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H