Mohon tunggu...
Muchsin Ridlo
Muchsin Ridlo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nge-Bully Jaman Doeloe

12 April 2019   14:08 Diperbarui: 12 April 2019   14:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beranda efbe penuh dengan berita kasus perundungan (bahasa sesuai EYD-nya bullying). Menjadi menarik manakala para netizen berlomba-lomba mengungkapkan simpatinya. Tandanya kan orang kita punya rasa simpati dan empati yang cukup tinggi, meskipun didalamnya terselip kata-kata yang tidak kalah kejamnya dengan dugaan kekerasan yang dilakukan kepada korban.

Masih kah definisi nakal ini menjadi sama dengan nakalnya anak jaman saya, jaman doeloe? Jaman anak 90an?

Semenjak dibangku sekolah kita sudah mahfum bingit. Bahwa, saat pengumpulan rapor pasca liburan adalah momen menegangkan, dimana tantangan untuk mencuri tahu nama orangtua adalah hal cukup mencekam selama guru belum menginstruksikan mengumpulkan rapor.

Ada yang rela berupaya berakting macam Reza Rahardian untuk menyembunyikan fakta bahwa rapornya tersimpan manis di lempitan buku-buku yang ada di dalam tasnya. Ada juga yang rela tidak istirahat ke kantin, hanya karena ingin menjaga rapornya tidak ada yang ngintip.

Betapa bahagianya, saat ada 'korban' yang lengah. Rapornya bocor, nama ortunya bocor, terutama nama buapaknya bocor. Saat itu terjadi, maka kelas akan menjadi begitu riuh. 

"OOOooo...anak.e Jono!"

"He, Pardi!"

"Pancene, No Karnooo!!"

Nama-nama yang sudah terlanjur ter ekspose ke dunia liar dan luar, menjadi bulan-bulanan korban. Dan lucunya, semua orang di kelas akan terimbas kebocoran yang sama. Hanya, anak-anak yang spesial dan dilindungi oleh anak-anak penghuni belakang yang tidak terlalu sering mendapatkan panggilan nama bapaknya. Spesial, karena anak-anak tersebut menjadi sumber inspirasi tatkala ujian berlangsung. Bisa kelimpungan anak-anak penghuni bangku belakang, jika yang biasanya menjadi sumber inspirasi jawaban ujian ngambek karena sering dibully dengan memanggil nama buapaknya.

Ini hanya sebagian contoh kecil kenakalan atau bully-an yang saya juga rasa B saja alias biasa saja. Lumrah. Kala itu mungkin. Dampak dimasa depan mungkin, saat beranjak SMP, SMA bahkan menjadi bagian orang dewasa di masyarakat kita masih sering gojlok-gojlokan nama buapaknya. Biasanya justru itu tanda keakraban yg semakin baik dan nyebelin kadang-kadang.

Ada perasaan membuncah dan menghilangkan kepenatan saat gojlok-gojlokan nama orangtua kami semasa SD sampai SMA. Namun, kejadian tersebut belum sampai membuat orang-orang menulis petisi, "Stop Pemanggilan Nama-nama Bapak Temanmu". Iya meskipun kadang-kadang ada juga yg sampai adu jotos karena sedang uji kekuatan pasca gojlok-gojlokan dan kebetulan lagi baper.

Ini hanya salah satu contoh nge-Bully yang dilakukan berjamaah dan tersistematis. Bagaimana cerita anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun