Seorang nahkoda dan beberapa awaknya sedang berada di atas kapal yang memiliki dua tiang utama serta tujuh buah layar; tiga di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang. Saat ini, mereka berada di tengah amukan lautan. Hujan turun sangat deras, angin datang dengan kencang, petir menyambar secepat kilat, mereka seirama seakan menyediakan panggung untuk air laut berdendang membentuk berpuluh-puluh gelombang ombak besar.
"Kapten! Kalau seperti ini Kapal Pinisi takkan bertahan!" teriak Khair, ia seorang awak senior di kapal ini.
"Sudahlah! Gulung layar kapal itu secepatnya, kita harus bertahan!" balas sang nahkoda!
Khair berusaha segesit mungkin menggulung tiga layar kapal yang terletak di bagian depan kapal. Meski sedang sakit, ia tak perlu lima menit untuk membuat ketiga layar tersebut tergulung sempurna. Sayangnya, layar kapal bagian tengah dan belakang belum tergulung seluruhnya.
Khair segera berjalan menuju ke bagian tengah dan belakang kapal. Ia mengambil langkah cepat namun juga berhati-hati, salah langkah saja ia bisa terpeleset dan berakhir jatuh di tengah samudera.
"Aqsa, ada apa? Kenapa lama sekali kau menggulung layar?" tanyanya pada Aqsa, salah seorang awak yang pernah menjabat sebagai nahkoda kapal kecil di kampungnya.
"Anu-anu pak Khair, ini macet layarnya," jawabnya gugup, wajar saja ia gugup, sebelum bekerja di kapal ini ia mengundurkan diri sebagai nahkoda karena tak mampu menyelesaikan perjalanan sepanjang satu tahun perjalanan.
"Aduh, sini! Dasar anak baru! Makanya jangan kebanyakan aksi, pahami dan baca juga panduan kerjanya! Supaya aksi di lapangan bisa sebagus latihan!," tegas Khair.
"Siap pak, maaf," Aqsa hanya mampu mengikuti arahannya seniornya.
Setelah gulungan layar di bagian tengah selesai. Khair meminta Aqsa berjaga di bagian depan kapal, takutnya ada karang laut yang mencuat namun tidak disadari oleh nahkoda kapal. Aqsa pun menuruti permintaan Khair untuk keselamatan mereka, sedangkan Khair menuju ke bagian belakang kapal dimana ada Syahrul, anak baru yang berkebalikan dengan Aqsa; sering membaca panduan kerja, namun sangat jarang melakukan praktek sehingga bisa dikatakan nol aksi.
"Syahrul! Bukan begitu cara gulungnya! Kamu akan merobek layar kalau seperti itu!" Teriak Khair dari jauh saat ia mulai melihat Syahrul yang menggulung secara asal-asalan layar di bagian belakang kapal.
"Tapi pak, sesuai buku panduan begini caranya," jawab Syahrul dengan tetap memerhatikan layar kapal.
"Iya! Itu kalau situasinya angin tidak seperti sekarang, kalau seperti sekarang, kau tarik seperti itu, bukannya tergulung, kau akan membuat kita kehilangan layar belakang!" jelas Khair sembari mendekati Syahrul.
Kini mereka berdua masing-masing siap menggulung satu layar kapal. Khair meminta Syahrul memerhatikannya dengan cermat.
"Nah, seperti itu, perlahan tapi cepat,"
"Baik pak, seperti ini ya pak,"
"Iya tetap begitu," Khair mengarahkan Syahrul dengan baik.
Ketujuh layar kapal akhirnya tergulung sempurna. Saat Khair ingin masuk ke dalam kapal untuk mengawasi dari menara kapal, suatu kejadian tak disangka-sangka terjadi.
Srakkk!!!
Jangkar yang mereka pasang putus, tali dengan diameter sebesar botol air mineral besar tersebut putus. Tali yang tersisa di kapal bergerak secara liar dan menghantam badan Syahrul. Bayangkan Tali yang menahan jangkar dan menstabilkan posisi kapal menghantam tubuhmu secara liar; sakit, perih, memarah. Syahrul sempat kehilangan keseimbangan, untungnya ia tak sampai jatuh ke lautan samudera itu.
"Sial! Kau tak apa Syahrul?" tanya Khair sembari memastikan badan Syahrul tak mengalami luka luar lainnya kecuali badannya yang tampak memerah karena hantaman tali jangkar tersebut.
"Masuklah ke dalam, biar aku bantu," mereka berjalan perlahan memasuki dalam kapal, Khair memapah Syahrul menuju ruang perawatan untuk di obati. Dari jauh, Khair melihat pintu perawatan terbuka sedikit.
"mungkin terbuka sendiri karena goncangan kapal," batinnya.
Semakin ia dan Syahrul mendekati ruangan tersebut, semakin terdengar suara aneh, atau tepatnya suara perempuan yang berkata;
"hentikan pak," itulah suara pertama yang didengar Khair, entah Syahrul mendengarnya atau tidak.
"Ini tidak benar pak,"
"Saya bisa melaporkan bapak!"
"Kita hanya teman pak, bukan pasangan!"
Plak! Bunyi telapak tangan seorang perempuan yang menyapa hangat pipi lawan bicaranya menjadi sambutan yang kurang menyenangkan untuk Syahrul dan Khair saat memasuki ruang perawatan. Tanpa pikir panjang, Khair segera membiarkan Syahrul duduk dan dirinya segera menghampiri lawan bicara perempuan tadi.
"Cordoba Bajingan! Gila kau ya! Berani-beraninya melakukan pelecehan seksual di tempat kerja!" Khair mencengkram kuat seragam Cordoba.
"Hahaha! Gila? Bajingan? Hei! Khair, sadar diri kau! Kau juga pasti pernah melakukannya,kan? Sadar atau tidak, kau pasti pernah!" Balas Cordoba sembari menepis kasar cengkraman Khair pada seragamnya.
"Sini kau! Akan kuberi kau pelajaran! Ikut aku!" Perintah Khair pada Cordoba agar mengikutinya dirinya!
Mereka berada di bagian belakang kapal, tak peduli pijakan yang licin, perdebatan-perdebatan yang awalnya kecil membesar menjadi perkelahian besar. Entah sampai kapan mereka berkelahi, sampai salah satu menyerah atau tenggelam di lautan.
Sedangkan pria bernama Husyam sang Nahkoda, duduk dengan santainya di ruangannya tak peduli badai dari luar sana yang menerjangnya dan konflik dari dalam kapalnya yang berkecampuk di hebat.
-Mr.Bam
14 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H