Tulisan ini merupakan luapan rasa cinta,harapan bahkan ratapan kepada takdir. aku coba deskripsikannya menjadi narasi agar semesta pun tahu bahwa ada seorang pecinta konyol yang rela menghabiskan hidupnya untuk seorang wanita di balik tirai misteri.
Mengejarmu Kutemui Luka
untaian kalimat diatas cukup menggambarkan bahwa betapa sulitnya mengejarmu. memilikimu seutuhnya adalah harapanku, meski demikian, aku tak bisa memaksakan kehendak takdir. Sebab, secintanya aku padamu, Takdirmu lah tetap menjadi pemenangnya.
Ratusan hari telah kita lalui bersama, namun, komitmen kita untuk hidup bersama selamanya napaknya menemui jalan terjal.
ya.. Kita adalah dua insan yang berbeda kasta. Aku tahu ini akan menjadi momok bagi semesta, ketika kita memilih melanjutkan kisah. Namun, tenang saja, aku pun tak akan merebutmu tanpa persetujuan takdir.
Benar bahwa aku terluka. Aku terluka dengan harapanku sendiri, aku terluka dengan ekspektasiku yang melangit tanpa menyadari ada kelas diantara kita. Meski dalam relung ada pengharapan,namun aku juga harus merenungi bahwa akan tiba saatnya untuk menemui ratapan.
Sesekali aku memelas di hadapan Takdir, kusertakan namamu juga dan bersujud di Mihrab Nya di malam tanpa bisik, seraya berharap takdir dapat menyatukan kita dengan ketetapan Nya yang hakikih.
Meski demikian, ketetapan Nya ada di luar kendali kita sebagai manusia yang punya keterbatasan. Untuk merebutmu ,Aku sanggup melwan se-isi dunia,namun tidak mungkin melawan takdir.
"Malam ini, aku ditemani secangkir kopi dan alunan musik yang terdengar sendu di kedai kota raja. Sesekali semilir angin malam datang menyapa tubuh. Di malam ini juga aku tak sanggup mendiskripsikan rasa resah dan gelisahku".
Semua masih tentang kamu, seorang wanita yang aku cintai di dunia ini. Jika suatu ketika kita disatukan takdir, semoga saja kita berjodoh. Namun, jika tak berjodoh aku berharap kau bahagia dengan siapa dan dimanapun kau berada.
Kita hanyala korban dari prinsip sosial keluarga, soal cinta, kita adalah pemenangnya. Jika memilikimu seutuhnya harus dibayar dengan luka, maka akan kubayar itu tanpa tawar menawar sedikit pun.
Pada hakekatnya ada kebingungan yang tak menentu, mau seperti apa aku agar bisa dekat denganmu. Jadi angin? Percuma, tak bisa kamu lihat. Jadi air? Percuma, tak bisa kamu genggam. Menjadi sosok nyata cukup membatasiku untuk mencintaimu.Â
Dan kini aku hanya bisa diam ditemani secangkir kopi, sebatang rokok dan berusaha memendam rindu di malam ini. Meski ada yang murung di relung hati, namun aku tumpahkan semuai itu lewat syair untukmu.
Ada satu hal yang harus kau ketahu Nona, "Aku masih disini, merawat rindu di sudut kota yang sunyi ini, suka duka yang kita jalani hari-hari kemarin, masih menjadi topik terhangat dalam bincangku dengan sunyi.Â
"Duhai Takdir, Engkau telah mengetahu batasanku, Engkau juga tahu akan ketulusan hati ini, jangan biarkan kami terhukum atas cinta kami. Bawalah kami dalam bahtera yang Kau Kehendaki".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H