Kasus yang di Jambi menjadi contoh gagal paham terkait kebebasan beragama dan toleransi. Lafadz Allah SWT dituliskan di dekat atribut natal.
Padahal jelas masing-masing itu milik dua agama yang berbeda.Sehingga tidak perlu ada penyatuan satu sama lain.
Ini bukanlah yang dimaksud dengan ekspresi kebebasan beragama atau toleransi.
Kita harus bersatu, iya seratus persen setuju. Tapi persatuan itu tidak harus saling meleburkan diri satu sama lain. Terutama terkait akidah dan keyakinan.
Lakum diinukum, wa lii yadiin.
Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Ini sangat jelas sekali lho. Tidak perlu ada penafsiran lanjutan. Tidak perlu harus belajar ke mana-mana. Pikiran bangun tidur saja sudah bisa memahami hal itu.
Ketika ada agama tertentu sedang melaksanakan ritual atau ibadahnya, ya itu perlu dihormati. Penghormatannya tentu dalam bentuk tidak menganggu.
Kalau bisa, membantu menjaga keberlangsungannya agar aman, lancar dan tertib.
Biarkan umat agama itu beribadah dengan khusyuk. Sementara umat yang bukan beragama itu, tidak perlu ikut-ikutan beribadah layaknya umat agama itu.
Apalagi memaksa seseorang atau siapapun untuk menggunakan atribut keagamaan yang bukan milik agama atau keyakinannya. Atribut yang dimaksud, terkait sambutan menjelang perayaan ibadah tertentu.
Inilah yang dinamakan kebebasan beragama dan toleransi. Tak ada pemaksaan apapun. Itulah bebas. Itulah toleransi. Setara.
Lalu bagaimana jika ada yang tetap berbaur. Misalnya menggunakan atribut keagamaan tertentu, ikut masuk ke rumah ibadah tertentu (untuk beribadah) tentu pemahamannya patut dipertanyakan.
Dipertanyakan, apa motifnya.
Berbeda jika kepala daerah atau pemimpin politik lainnya. Yang sering kita dengar, mereka ikut meramaikan ibadah atau hari besar keagamaan tertentu, padahal bukan agamanya sendiri.
Tentu kepala daerah ini niatnya bukan beribadah. Akan tetapi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang berdiri dan mengayomi semua golongan.
Sederhananya, kebebasan beragama atau toleransi itu tidak harus ada unsur ikut-ikutan. Agama itu soal prinsip dan tidak boleh ada hal apapun yang merusak prinsip itu.
Prinsipnya jelas, tidak perlu ikut-ikutan. Ibadah itu sesuatu yang sangat eksklusif. Hanya umat agama tertentu yang boleh melakukan ibadah tertentu itu.
Dengan demikian kita tetap bisa bersatu. Sudah selayaknya perdebatan terkait persatuan kita bergeser.
Tidak harus melulu soal SARA. Jika antar SARA bersatu saling berbaur (dalam hal peribadatan atau ibadah), maka itulah tolok ukur persatuan.
Saya pikir, itu definisi persatuan yang keliru dan tidak lagi relevan. Terutama dalam menghadapi persaingan global yang begitu dahsyat.
Saya harus bilang, keberagaman kita terkait suku, agama, ras dan golongan, merupakan kekuatan bangsa kita. Akan tetapi kekuatan ini sekaligus juga kelemahan kita.
Kita akan lebih mudah pecah, ketika berbicara terkait ini. Kita tidak akan mudah pecah, saat kekayaan alam kita habis dikeruk untuk bangsa lain dengan pintu masuk investasi.
Nah, inilah yang bisa saja dijadikan kompetitor dari bangsa lain, sebagai modal yang super mudah dan super hemat untuk merusak NKRI dengan seketika. Ya, modalnya adalah sentimen agama atau keagamaan.
Kita akan terus menjadi bangsa tertinggal, ketika kita masih saja berdebat soal persatuan model ini. Biarkanlah ibadah menjadi hal yang eksklusif bagi pemeluk agamanya masing-masing.
Sekali lagi, eksklusif dalam arti tidak perlu (aktif ikut-ikutan beribadah) yang bukan ajaran agamanya. Terlebih itu ibadah langsung dengan yang mahakuasa. Tidak lebih.
Dan inklusifitas di luar ibadah, perlu digencarkan. Sebagai contoh, bersatu mencari anak bangsa agar Timnas Indonesia juara AFF. Masuk Piala Dunia. Juara Piala Dunia, ect.
#balada
#24Desember2016
#tulisan ini banyak kekeliruan.
#maafkanlah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI