Dengan kata lain, kampanye calon pemimpin terasa hampa, ambar, abstrak, ect.
Â
Saya melihat janji yang disampaikan sebagian calon tidak membumi. Nyaris semuanya mengawang-ngawang.
Tidak menempel di langit, juga tidak menyentuh tanah. Itulah kesan saya dalam masa kampanye kali ini dan sebelum-sebelumnya.
Saya beberapa kali ikut langsung kampanye pasangan calon tertentu.
Ikut dari tempat dia mengawali harinya, menuju sejumlah titik kampanye.
Kampanye adalah proses penyerapan aspirasi dan pemberian respons atas aspirasi tersebut.
Terkadang yang banyak dalam kampanye itu adalah pengenalan diri kepada warga. Pengenalan sosok dengan salaman dan selfie ria.
Tampak warga puas hanya dengan itu tanpa harus mendengar program dan solusi yang ditawarkan. Biasanya ini kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Kalaupun ada dialog, mereka seakan tidak punya bahan untuk meminta dan berharap. Harapan mereka memang tidak muluk-muluk, tapi 'bulat-bulat.'
Bulat-bulat dalam arti, antara lain permintaan warga terkait kesejahteraan. "Pak, saya berharap kesejahteraan kami ditingkatkan," ujar warga itu.
Dan pasangan calon meresponsnya dengan berjanji akan memerhatikan dan meningkatkan kesejahteraan. Calon itu juga mengungkapkan kesadaran bahwa jurang antara si miskin dan si kaya sangat lebar. Titik sampai di situ tanpa merinci solusinya.
Begitu saja di manapun lokasi kampanyenya. Hanya warga atau audiensnya yang berbeda.
Kalangan kelas menengah atas juga demikian. Meski mereka lebih menekankan pada program, tapi tidak menggali lebih dalam.
Ya, waktunya mungkin relatif singkat, sehingga calon hanya menyampaikan garis besarnya. Terkesan dialog hanya formalitas saja dan ujung-ujungnya juga selfie ria.
Bagi saya, apa itu kesejahteraan? Apa itu? Kata apa itu? Saya selalu terusik dengan kalimat bulat-bulat seperti itu. Sangat terusik dan gerah.
Saya membayangkan, proses kampanye itu adalah penyampaian solusi yang membumi. Mereka datang dengan menawarkan solusi konkret dan terukur kepada warga setempat.
Tapi jarang saya lihat itu. Padahal mereka selalu beralasan sering mengadakan rapat, rapat, rapat dan rapat.
Saya sendiri enek dengan kata rapat itu Rapat saja terus, tapi kok tindaklanjut dari rapat itu seolah bluur alias tidak jelas.
Sebelum mengunjungi suatu tempat, biasanya para calon sudah mengantongi apa yang menjadi aspirasi warga sekitar. Penyerapan aspirasi melalui dialog atau apapun itu, hanya untuk lebih meyakinkan diri saja.
Nah, seharusnya dengan rapat-rapat-rapat itu, menghasilkan langkah-langkah terukur menjawab aspirasi itu. Terukur sasarannya, terukur waktunya, terukur kemungkinannya.
Tanpa merendahkan warga sebagai calon pemilih, seharusnya calon lah yang mampu membumikan janjinya. Karena dia mencalonkan diri, maka dia juga harus siap memberikan solusi rill yang kira-kira mitra kerjanya juga sepakat.
Kalau tidak demikian, jangan-jangan ajang pesta demokrasi ini hanya mengedepankan sentimen primordial. Kita memilih si A atau si B karena hanya faktor kesamaan semata, tanpa melihat apa program konkrit yang ditawarkan calon tersebut.
#balada
#wiken
#sabtu
#26/11/2016
#ditulis di ruang tunggu rumah sakit
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI