Padahal mudah membuktikan, apakah bantahan perwira itu benar atau bohong. Coba satu-satu Propam meminta setiap individu yang ada di dalam itu membuat kronologisnya.
Semakin lengkap kronologisnya, maka drajat kebenarannya semakin tinggi dan sebaliknya. Kemudian kronologis itu dikonfrontasi satu sama lain.
Propam jangan hanya berjanji saja di depan media, akan memeriksa. Namun setelah media lupa, publik lupa, Propam tak pernah membuka hasil kerja mereka.
Ruang-ruang asumsi ini, sampai sekarang tidak bisa dipatahkan Tito sebagai pemegang tongkat komando. Tito harus mampu memastikan Propamnya bekerja.
Jika ternyata memang asumsi, jelaskan secara gamblang, kenapa ini dibilang asumsi. Jelaskan juga secara detil. Kalau bukan asumsi, jelaskan kenapa bukan.
Karena saya menilai, sudah bukan zamannya lagi, polisi hemat bicara. Adakalanya polisi harus mengubah kebiasaan itu agar asumsi atau fitnah tak lagi menerpa lembaga yang dinilai juga mampu menjaga kemanan sosial.
Memang, siapapun kita, apapun profesi kita, ketika main mata, maka kita susah bekerja. Kita yang katanya garang segarang-garangnya pun, tiba-tiba jadi kemayu kalau main mata.
Kita susah mengakuinya lewat lidah. Tapi hati kita tak akan pernah bisa bohong. Maa kadzabal fuaadu maa rooa. Hati tak akan pernah bisa bohong atas apa yang dilihat.
Lalu seandainya ingin berubah, tetap ada kesempatan. Bilang saja sebenarnya faktanya A. Saya terima A. Saya putuskan B.
Konsekuensi logis terkait pengakuan itu pasti ada. Misalnya, turun pangkat, pemecatan, kematian, keluarga diancam, penyiksaan dan segala bentuk yang mana kita tak akan bisa lagi merasakan yang manis itu adalah manis. Pahit adalah pahit. Asam adalah asam dan sebagainya.
Toh, bagaimanapun caranya, di manapun tempatnya, kapanpun waktunya, kematian adalah keniscayaan. Tinggal berharap kepada yang kuasa agar tetap diberi bimbingan.