Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya tak Lagi Melihat Taring Kapolri Tito

3 September 2016   20:49 Diperbarui: 3 September 2016   21:18 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Padahal mudah membuktikan, apakah bantahan perwira itu benar atau bohong. Coba satu-satu Propam meminta setiap individu yang ada di dalam itu membuat kronologisnya.

Semakin lengkap kronologisnya, maka drajat kebenarannya semakin tinggi dan sebaliknya. Kemudian kronologis itu dikonfrontasi satu sama lain.

Propam jangan hanya berjanji saja di depan media, akan memeriksa. Namun setelah media lupa, publik lupa, Propam tak pernah membuka hasil kerja mereka.

Ruang-ruang asumsi ini, sampai sekarang tidak bisa dipatahkan Tito sebagai pemegang tongkat komando. Tito harus mampu memastikan Propamnya bekerja.

Jika ternyata memang asumsi, jelaskan secara gamblang, kenapa ini dibilang asumsi. Jelaskan juga secara detil. Kalau bukan asumsi, jelaskan kenapa bukan.

Karena saya menilai, sudah bukan zamannya lagi, polisi hemat bicara. Adakalanya polisi harus mengubah kebiasaan itu agar asumsi atau fitnah tak lagi menerpa lembaga yang dinilai juga mampu menjaga kemanan sosial.

Memang, siapapun kita, apapun profesi kita, ketika main mata, maka kita susah bekerja. Kita yang katanya garang segarang-garangnya pun, tiba-tiba jadi kemayu kalau main mata.

Kita susah mengakuinya lewat lidah. Tapi hati kita tak akan pernah bisa bohong. Maa kadzabal fuaadu maa rooa. Hati tak akan pernah bisa bohong atas apa yang dilihat.

Lalu seandainya ingin berubah, tetap ada kesempatan. Bilang saja sebenarnya faktanya A. Saya terima A. Saya putuskan B.

Konsekuensi logis terkait pengakuan itu pasti ada. Misalnya, turun pangkat, pemecatan, kematian, keluarga diancam, penyiksaan dan segala bentuk yang mana kita tak akan bisa lagi merasakan yang manis itu adalah manis. Pahit adalah pahit. Asam adalah asam dan sebagainya.

Toh, bagaimanapun caranya, di manapun tempatnya, kapanpun waktunya, kematian adalah keniscayaan. Tinggal berharap kepada yang kuasa agar tetap diberi bimbingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun