Saya termasuk orang yang bereuforia saat Tito Karnavian diangkat sebagai Kapolri. Pasalnya, Tito tampak seorang polisi yang bersih.
Misalkan, dari pengakuan dia tidak menerima upeti saat menjabat Kapolda Papua. Alasannya biar tak ada eweuh pakeuweuh saat menindak pihak yang menyimpang.
Kemudian, dari paparannya terhadap permasalahan. Disertai dengan teori dan istilah asing. Padahal kalau merujuk sumpah pemuda 1928, bahasa atau istilah Indonesia yang diutamakan.
Saya dengarkan baik-baik cara dia menyampaikan gagasan. Sesering itu pula saya takjub. Lagi-lagi karena dia menguasai teori dan menyertakan contoh kasus.
Meski ada juga yang saya tidak puas, karena ada gagasan dia yang sebenarnya bisa dipatahkan. Kalau kita niatnya, hanya senang mematah-matahkan gagasan orang dan sampai di situ saja.Â
Namun, rasa takjub saya kok semakin hari semakin memudar, ya. Tito biasa-biasa saja. Belum ada gebrakan dan terobosan Tito mengurai permasalahan klasik.
Kasus SP3 belasan perusahaan pembakar hutan di Riau contohnya. Betapa saat kebakaran terjadi semua heboh.
Dan sekarang juga heboh. Tapi hebohnya, kok antiklimaks. Ya, polisi tidak bisa memaksakan siapapun dan apapun agar bersalah.
Tapi, kasus ini beda. Polisi seakan-akan tidak bisa mematahkan asumsi liar masyarakat, yaitu kongkalikong dengan kaum berduit.
Foto kebersamaan sejumlah perwira polisi bersama petinggi perusahaan pembakar merebak. Ramai-ramai perwira yang ada di dalam itu membantah.
Pertemuan itu tidak disengaja dan lain-lain. Foto mengandung seribu makna dan sebagainya. Semua orang tahu. Jawaban perwira itu di depan media, tapi rasanya kok, absurd.