Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Nyawa Freddy Budiman Melayang, Jokowi atau Haris Azhar Kontras yang Lalai?

31 Juli 2016   10:35 Diperbarui: 31 Juli 2016   10:50 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Terpidana mati narkoba Freddy Budiman sudah dieksekusi mati pada Jumat, 29 Juli 2016. Namun kematian Freddy bukan berarti perkara terkait Freddy selesai.

Hal itu setelah Koordinator KontraS Haris Azhar mengeluarkan sebuah tulisan yang berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit". Tulisan itu diunggah ke laman Facebook KontraS Indonesia pada Kamis, 28 Juli 2016 pukul 20.22 WIB.

Kesaksian Freddy yang disampaikan kepada Haris membuat sebagian mata publik terbuka lebar. Freddy bisa mengatakan uang miliaran rupiah pernah diberikannya kepada oknum aparat BNN dan Mabes Polri.

Selain itu, Freddy juga mengaku pernah membawa setumpuk barang haram dan mendapatkan pengawalan langsung dari perwira tinggi TNI berpangkat mayor jenderal.

Kesaksian Freddy itu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Akan tetapi yang membuat publik terperangah adalah kemampuan dan keberanian Freddy menyebut angka dan jabatan oknum di sejumlah instansi secara spesifik.

Timbul pertanyaan, mengapa Haris baru mengungkapkan kesaksian beberapa jam saja sebelum Freddy berdiri dan berhadapan dengan regu tembak untuk dieksekusi mati. Freddy dan tiga terpidana mati lainnya dieksekusi pada pukul 00.45 WIB.

Haris mengaku dirinya sudah menghubungi Presiden Jokowi lewat Juru Bicaranya, Johan Budi. Haris menelepon Johan Budi pada Senin, 25 Juli 2016.

Haris mengklaim Johan Budi memberikan perhatian khusus terhadap kesaksian Freddy. Haris tenang dan menunggu kepastian sikap Presiden dari Johan Budi.

Namun Haris tidak kunjung mendapatkan kepastian dan mempublikasikan informasi penting itu. Hingga kemudian, Freddy Budiman akhirnya dieksekusi mati.

Salah siapa?
Haris mengaku mendapatkan kesaksian itu pada 2014 silam. Namun mengapa Haris baru mengabarkan Presiden kurang dari sepekan sebelum eksekusi terhadap Freddy Budiman dilakukan?

Padahal sepekan sebelum eksekusi itu, Presiden tengah memiliki agenda yang padat. Saking padatnya, Jokowi melarang anggota kabinetnya untuk ke luar Jakarta.

Alasannya adalah akan diselenggarakannya rapat kabinet paripurna. Sejumlah menteri pun tidak tahu kapan waktu spesifik rapat itu dilakukan.

Dalam pekan itu juga, Presiden akhirnya mengumumkan reshuffle kabinet jilid II pada Rabu, 27 Juli 2016. Keesokan harinya, Jokowi menghadiri penutupan Rapimnas Partai Golkar.

Dua agenda itu termasuk hal yang penting lantaran terkait dengan nasib Jokowi secara personal di masa yang akan datang. Pertama terkait keberanian Jokowi mendepak pembantunya dan ke dua terkait kesiapan Jokowi terhadap dukungan Golkar agar Jokowi maju lagi sebagai calon presiden pada 2019.

Tentu Jokowi tengah memikirkan itu secara intensif di antara banyak tugas kenegaraan lainnya. Tiba-tiba di sela-sela itu ada KontraS yang membawa pesan penting terkait pentingnya nyawa Freddy membuka borok sejumlah instansi aparat penegak hukum.

Kesaksian Lemah
Haris seolah memberikan dongeng atau kisah Hollywood kepada khalayak. Kesaksian Freddy akan mudah dibantah aparat penegak hukum.

Pertama sumber primernya telah tiada. Tidak mungkin lagi Freddy dimintai keterangan oleh siapapun manusia yang masih hidup. Seandainya pun ada bukti rekaman suara dan video Freddy terkait kesaksian ini, ini akan berlarut.

Aparat pasti akan mempertanyakan keaslian rekaman dan sebagainya. Ada peluang untuk memperlama pengusutan kasus ini sehingga lama-lama bosan dan menguap entah ke mana.

Apalagi ini terkait lembaga negara yang terkadang menyalahartikan jiwa korsa. Padahal jiwa korsa sejati adalah mau mengusut dan membuang para parasit dari dalam instansinya.

Pertanyaannya adalah mengapa Haris menyimpan kesaksian ini begitu lama, yaitu sejak 2014. Mengapa Haris baru membukanya saat kabar eksekusi mati Freddy mulai mengencang dan sebagainya.

Di akhir tulisannya, Haris mengaku tidak menemukan sama sekali identitas pengacara Freddy. Bahkan di internet sekalipun. Padahal banyak beredar foto Freddy didampingi pengacaranya saat persidangan berlangsung.

Dan tidak masuk akal juga kalau Haris tidak menanyakan langsung kepada Freddy saat bertemu. Yang paling tidak masuk akal, masa lembaga sekelas KontraS, kemampuan tracking-nya hanya sampai di situ.

Selain itu sejumlah orang yang terlibat saat Haris berkunjung ke Lapas di Nusakambangan perlu dijaga keberadaanya. Misalkan sosok dari organisasi gereja yang mengundang Haris datang ke Nusakambangan dan mantan Kepala Lapas.

Keberadaan dua orang ini perlu dijaga oleh LPSK atau dibawa ke safe house. Bukan tidak mungkin, keberadaan mereka terancam dan akhirnya malah melempem.

Selain itu, keberadaan CCTV yang menangkap pergerakan atau gerak-gerik Haris saat berada di dalam Lapas harus juga diamankan. Termasuk CCTV di atau di dekat ruang pertemuan Haris dengan Freddy dan Kepala Lapas. Mutlak harus dijaga agar pengadilan tidak susah mencari kebenarannya.

Beredar komentar Haris, ia kecewa dan menyesal memberi tahu Johan Budi. Pertanyaanya apakah Johan dalam hal ini Presiden Jokowi yang lalai atau Haris yang terlambat memberi informasi yang super penting itu?

Lagi-lagi antiklimaks?

#balada
#ditulis dalam mobil di sebuah perjalanan tol Jagorawi
#gueoranggoblok

#Minggu
#31Juli2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun